Sobat Blog Hot-Motivasi, masih rajin ngeluh en susaaah banget buat bersyukur? Nih, baca kisah yang satu ini deh. Moga mampu "menampar" kita untuk menjadi si pandai bersyukur, yap! ^__^
Rasanya kita semua tidak kenal dengan orang yang bernama Jean-Dominique Bauby, kecuali Anda perempuan dan berbahasa Perancis atau suka membaca majalah bernama Elle. Ia pemimpin redaksi Elle. Tahun 1996 ia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang “ditulisnya” secara sangat istimewa dan diberinya judul Le Scaphandre et le Papillon (The Bubble and the Butterfly).
Rasanya kita semua tidak kenal dengan orang yang bernama Jean-Dominique Bauby, kecuali Anda perempuan dan berbahasa Perancis atau suka membaca majalah bernama Elle. Ia pemimpin redaksi Elle. Tahun 1996 ia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang “ditulisnya” secara sangat istimewa dan diberinya judul Le Scaphandre et le Papillon (The Bubble and the Butterfly).
Tahun 1995 ia terkena stroke yang
menyebabkan seluruh tubuhnya lumpuh. Ia mengalami apa yang disebut
‘locked-in syndrome’, kelumpuhan total yang disebutnya ’seperti pikiran
di dalam botol’.
Memang ia masih dapat berpikir jernih
tetapi sama sekali tidak bisa berbicara maupun bergerak. Satu-satunya
otot yang masih dapat diperintahnya adalah kelopak mata kirinya. Jadi
itulah caranya berkomunikasi dengan para perawatnya, dokter rumah sakit,
keluarga dan temannya.
Mereka menunjukkan huruf demi huruf dan
si Jean akan berkedip bila huruf yang ditunjukkan adalah yang
dipilihnya. “Bukan main”, kata Anda. Ya,itu juga reaksi semua yang
membaca kisahnya.
Buat kita, kegiatan menulis mungkin
sepele dan menjadi hal yang biasa. Namun, kalau kita disuruh “menulis”
dengan cara si Jean, barangkali kita harus menangis dulu berhari-hari.
Betapa mengagumkan tekad dan semangat
hidup maupun kemauannya untuk tetap menulis dan membagikan kisah
hidupnya yang begitu luar biasa. Ia meninggal 3 hari setelah bukunya
diterbitkan. Jadi, “Berapapun problem dan stress dan beban hidup kita
semua, hampir tidak ada artinya dibandingkan dengan si Jean!”
Apa yang a.l. ditulisnya di memoarnya itu?
“I would be the happiest man in the world if I could just properly swallow the saliva that permanently invades my mouth”.
Bayangkan, menelan ludah pun ia tak
mampu . Jadi kita yang masih bisa makan bakmi, ngga usahlah Bakmi Gajah
Mada, indomie yang Rp 3.500 saja, seharusnya sudah berbahagia 100 kali
lipat dibanding si Jean. Kita bahkan senantiasa mengeluh, setiap hari,
sepanjang tahun. We are the constant whiners.
Apa lagi yang dikerjakan Jean di dalam
kelumpuhan totalnya selain menulis buku? Ia mendirikan suatu asosiasi
penderita ‘locked-in syndrome’ untuk membantu keluarga penderita. Ia
juga menjadi “bintang film” alias memegang peran di dalam suatu film yang dibuat TV
Perancis yang menceritakan kisahnya. Ia merencanakan buku lainnya
setelah ia selesai menulis yang pertama. Pokoknya ia hidup seperti yang
dikehendaki to celebrate life’, to do something good for others. (Untuk ‘merayakan’ kehidupan, untuk melakukan kebaikan bagi orang lain)
Jadi, betapapun kemelutnya keadaan kita
saat ini, mereka yang sedang stress berat, mereka yang sedang berkelahi
baik dengan diri sendiri maupun melawan orang lain atau anggota
keluarga, mereka yang sedang tidak bahagia karena kebutuhan hidupnya
tidak terpenuhi, mereka yang jalannya masih terpincang-pincang karena
baru saja terinjak paku, mereka yang sedang di-PHK, yakin deh kita masih
bisa menelan ludah.
Semoga kita semua tidak terus menjadi whiner, pengeluh abadi, manusia yang sukar puas.
Kata orang bijak, “Think and Thank”, berfikirlah dan kemudian bersyukurlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar