Jumat, 28 Februari 2014

Perjuangan Birrul Jadi Dokter Buat SBY Menangis...!

Kisah perjuangan Birrul Qodriyah, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam meraih impiannya menjadi dokter pantas diacungi jempol. Terlahir dari orangtua yang "hanya" bekerja sebagai buruh tani, Birrul tak pernah patah arang meraih cita-citanya.

Kisah Birrul yang penuh haru ini sampai membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyeka air matanya dalam acara silaturahim mahasiswa Bidik Misi di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (27/2/2014).

Birrul mewakili ratusan mahasiswa peraih beasiswa Bidik Misi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyampaikan testimoni. Birrul bercerita, sejak kecil dia rajin belajar dan hidup sederhana bersama orangtuanya yang merupakan buruh tani.

"Orangtua saya bukan hanya petani, tapi lebih dari itu, mereka buruh tani. Sekali menanam hanya mendapat uang Rp 5.000," ujarnya dengan suara bergetar.

Birrul muda hidup serba pas-pasan. Beranjak dewasa hingga menjelang lulus jenjang SMA, Birrul mengaku bimbang untuk menyatakan keinginannya menempuh ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Impiannya menjadi dokter selalu dituliskan Birrul dalam sebuah catatan yang ditempel di dinding.

"Orang-orang tertawa, untuk apa anak petani bercita-cita menjadi dokter? Pasti tidak akan bisa," katanya.

Namun, Birrul memberanikan diri menyatakan keinginannya kuliah kedokteran kepada orangtuanya. "Saya bilang saya mau melanjutkan kuliah, tidak ada jawaban apa pun dari bapak ibu. Saya lihat pas subuh, bapak hanya mengayuh sepeda. Saya tahu mereka tidak punya uang," tutur Birrul lirih sambil menahan air mata.

Semenjak itu, Birrul pun bertekad untuk menjadi siswa berprestasi dan mendapatkan beasiswa. Akhirnya, Birrul mendapat bantuan beasiswa Bidik Misi untuk siswa miskin berprestasi. Kini, Birrul tengah menjalani tugas profesi di FK UGM. Birrul berterima kasih.

"Kami tidak akan gunakan beasiswa ini dengan biasa-biasa saja. Kami akan jadi mahasiswa berkualitas dan siap menjadi generasi emas," papar Birrul berapi-api.

Mendengar cerita perempuan bertubuh mungil dan berkerudung itu, Presiden SBY tak kuasa menahan tangis. Setelah Birrul memberikan testimoni, Presiden menyampaikan sambutannya.
"Saat mendengar testimoni dan tayangan itu, saya ikut menitikkan air mata karena itulah yang saya rasakan dulu," ucap SBY.

SBY juga menceritakan pengalamannya. Ia lahir di Pacitan, Jawa Timur, dengan ayah yang bekerja sebagai tentara dengan pangkat kapten. Saat itu, sebut SBY, gaji seorang kapten sangat pas-pasan.
"Sahabat saya rata-rata mereka yang termasuk golongan tidak mampu, hanya sedikit teman-teman saya yang tergolong mampu. Pacitan dulu kota kecil, terisolasi dalam suasana yang penuh dengan ketertinggalan," kata SBY.

SBY mengatakan bahwa dirinya juga bermimpi bisa meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi.
"Alangkah bangganya jadi mahasiswa di UGM, ITS, atau Unair. Kenyataannya teman-teman saya tidak semua bisa mewujudkan mimpi-mimpinya. Mereka banyak yang pandai, yang cerdas, tetapi harus kandas," ujarnya.

SBY memang tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi umum. Dia memutuskan mengikuti jejak sang ayah terjun ke dunia militer.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2014/02/27/1229096/Perjuangan.Birrul.Jadi.Dokter.Buat.SBY.Menangis.
Baca SelengkapnyaPerjuangan Birrul Jadi Dokter Buat SBY Menangis...!

Rabu, 26 Februari 2014

Jangan Main-main dengan Jempol; Saya Korbannya!

Sobat Blog Motivasi, jangan pernah main taruhan dengan anak kecil, apalagi menggunakan aplikasi dunia maya seperti kisah dibawah ini. kisah yang cukup mengelitik hati. Selamat membaca

Beberapa waktu lalu, anak saya genap berusia 4 tahun. Sebenarnya sejak kecil saya sudah dididik oleh orang tua untuk tidak menganggap ulang tahun sebagai sesuatu yang sakral dan perlu dirayakan besar-besaran, mengingat waktu saya kecil dulu keluarga kami memang bukan tergolong keluarga yang mengalami keberuntungan dalam hal finansial *buset, mau bilang kere aja susah banget*

Atas dasar itu, maka saya juga ingin menanamkan pada anak saya hasil didikan kakek-neneknya. Ini bukan masalah pelit, tapi masalah prinsip. Beda loh yah? *ngeles.com*

Pada tahun-tahun sebelumnya, rasanya cukup bagi saya mengajak anak saya makan-makan di luar atau rekreasi ke tempat wisata. Gak ada perayaan yang mengharuskan mengundang teman ataupun kewajiban memberi hadiah spesial. Tapi dasar anak-anak, akibat pergaulan dan mungkin keseringan mendapat undangan ulang tahun dari teman-teman sepermainannya, maka proteslah ia pada hari jadinya yang sekarang. Karena gak ingin dicap sebagai orang tua yang egois, ya pikir saya gak apa-apalah sekali ini saja memanjakan anak dengan tawaran hadiah.

Saat iseng-iseng basa-basi bertanya apa hadiah spesial yang kira-kira ia inginkan? “RANJANG HELLO KITTY..!” pekiknya langsung tanpa kompromi. Mampus dah, terbersit rasa sesal sudah berbasa-basi dengan anak-anak. Padahal saya berharap ia menjawab sepeda, baju, atau apalah kira-kira yang masih sepadan dengan pendapatan karyawan kelas sudra.
Gak kehabisan akal, saya coba tawar-tawaran dulu, mengajaknya bermain dalam sebuah permainan iseng, di mana saya akan menyanggupi permintaannya dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Dengan berlagak Roro Jonggrang pada Bandung Bondowoso, saya memberi syarat padanya, harus mengumpulkan 500 jempol Facebook untuk menukarnya dengan hadiah tertinggi yang ia inginkan. Apakah saya tega? Ah, nggak juga. Saya pikir ini masih dalam batas wajar. Untuk mendapatkan sesuatu, ya harus ada usaha dulu dong. Saya memang menyayangi anak saya dengan cara yang gak mainstream. Lagi pula ia menyanggupi tantangan yang saya tawarkan.

Sebenarnya saya sengaja mengambil standar 500 jempol, mengingat dalam sejarah saya Facebook-an belum pernah sekalipun mendapat 500 jempol dalam sebuah postingan. Paling banyak ya 200-an lah. Jadi saya pun santai-santai saja. Hihihi… *ketawa licik*
Hingga akhirnya terposting-lah foto berikut ini di laman Facebook saya, sehari sebelum ulang tahunnya.
1393320642748744230

Di luar dugaan, postingan ini jadi viral dan membentuk jaringan yang luar biasa cepat persebarannya. Bahkan ada seorang kawan yang iseng membagikan foto ini ke grup facebook Room For Children. Saya menduga andil member di grup inilah hingga postingan itu mendapatkan donasi jempol yang terus beranak-pinak.

Hingga postingan ini saya tulis, jumlah jempol terus mengalir hingga mencapai 1.315, hampir tiga kali lipat dari standar tinggi yang saya tawarkan, padahal hari ulang tahunnya sudah lewat. Saat foto itu saya perlihatkan, anak saya tersenyum puas, dan saya juga ikut tersenyum, tapi lemas.

13933207321272122060

Esok harinya, demi menjaga pencitraan sebagai bapak yang keren, saya menguras isi ATM dengan tangan yang gemetar, dan mengajaknya ziarah ke toko furniture. Hiks..
Dan seperti di foto bawah inilah endingnya.

1393320799677088152 
Sumber : http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/02/25/jangan-main-main-dengan-jempol-saya-korbannya-637705.html
Baca SelengkapnyaJangan Main-main dengan Jempol; Saya Korbannya!

Selasa, 25 Februari 2014

MENGISI LIBURAN DENGAN STUDENT EXCHANGE KE MALAYSIA



Foto: Aryan Danil Mirza. BR (kiri) & Deris  Astriawan (kanan)
Banyak cara yang dilakukan oleh Mahasiswa Unila dalam mengisi liburan semester ganjil ini, salah satunya seperti cara unik yang dilakukan oleh dua Mahasiswa Pendidikan Ekonomi angkatan 2012, Yaitu Aryan Danil Mirza. BR dan Deris astriawan. Keduanya memilih mengisi liburan semester dengan mengikuti Student Exchange Program To Malaysia 2014. Kegiatan yang diinisiasi oleh Universiti Malaya, yang tidak lain merupakan Universitas top nomor satu di Malaysia ini diselenggarakan sebagai wujud pengenalan sistem akademik dan kebudayaan Malaysia.

Awalnya keduanya tidak menyangka dapat lolos dalam seleksi kegiatan berskala Internasional ini. Banyaknya peserta yang mengikuti test ditambah dengan rumitnya alur test yang harus dilewati menjadikan keduanya pesimis mampu lolos dalam proses seleksi tersebut.  Namun Berbekal kemampuan bahasa Inggris dan pengalaman organisasi di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan, akhirnya keduanya dapat terpilih sebagai peserta kegiatan di kuala Lumpur Malaysia ini bersama dengan dua orang mahasiswa Unila lainnya yaitu Ahmad khairudin syam (Gubernur FMIPA) dan Muhammad Akbar (Menkominfotek BEM U). 

Bagi Aryan sejatinya kesempatan ini Sungguh merupakan suatu karunia dan nikmat Allah yang sangat besar. Bagaimana tidak, jikalau satu tahun lalu Ia dibuat Iri bukan kepalang menyaksikan salah seorang mahasiswa Unila angkatan 2011 berangkat untuk Student Exchange ke Australia. Hingga ia berazam dalam dirinya bahwa satu tahun ke depan dirinyalah yang mesti merasakan euforia pengalaman berharga tersebut. Dan Alhamdulillah azam tersebut kini telah terwujud. Maka nikmat tuhan manalagikah yang akan kita dustakan?


Bersama Ketua PPI (Persatuan Pelajar Idonesia)
 Universiti Malaysia (Kaos Orange)
Lain Aryan, lain pula deris. Mahasiswa berkacama satu ini dulu tidak begitu senang mengikuti kegiatan organisasi semasa di sekolahnya. Namun semenjak kuliah di  Unila, maindsetnya berubah 180 derajat hingga kini menjadi seorang aktifis kampus. Dan ternyata pilihannya berbuah manis. Berkat hasil menimba pengalaman berorganisasi tersebutlah yang menghantarkanya kepada kesempatan emas ini.  Namun tetap bagaimana seapik mungkin Ia mesti menyeimbangkan porsi antara kuliah dan organisasi. Dan untungnya kegiatan Student Exchang ke Malaysia ini diselenggarakan bertepatan dengan masa liburan semester ganjil di kampus. Sehingga tidak mengganngu proses perkuliahan.

Selama di Malaysia, keduanya mendapat banyak pelajaran berharga. Di antaranya adalah dalam pengajaran sistem akademik, Ternyata Malayasia telah menerapkan kewajiban penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah mulai dari jenjang dasar, menengah hingga tinggi. Adapun bahasa melayu dilarang digunakan di kelas. Hal inilah yang melatar belakangi banyaknya kata dalam bahasa Malaysia yang merupakan serapan dari bahasa inggris. Selain itu, kita dapat dengan mudah menjumpai di sudut sudut perbelanjaan, sebagian besar Penjaga tokonya yang notabene hanya lulusan sekolah menengah namun mampu fasih berbicara bahasa inggris. Hal yang sangat langka kita jumpai di Negara kita ini.  


Bersama Ketua Majelis Perwakilan Pelajar (semacam Presiden BEM) 
Universiti Malaya (Kemeja Hitam di tengah)
Dari sisi kebudayaan, Secara garis besar malaysia mempunyai 3 etnis, yaitu etnis melayu, cina dan india yang masing masing hidup rukun disatukan semboyan satu malaysia. Sedikit mirip dengan semboyan indonesia bhineka tunggal ika, namun Beginilah multi kulturalnya Malaysia dibangun. Salah satu Hal yang mungkin  sulit kita dapati di Indonesia, yaitu Di Kuala Lumpur Malaysia terdapat kawasan Little India, salah satunya di Brickfields dekat KL sentral. Ketika mengunjungi lokasi ini maka jangan heran jika suguhan yang terdapat di depan mata semua berbau India, mulai dari bangunan di sepanang jalan, Bau Makanan, lagu nyanyian hingga video yang diputarpun semua bernuansa India. Hingga sampai sampai kita akan merasa sedang berada di India, dan bukan Malaysia. Begitu pula halnya kawasan Chinatown, kita akan disuguhi suasana negeri tiongkok lengkap dengan Barongsainya. 

Secara geopolitis, Malaysia merupakan Negara berkembang yang memiliki kekurangan penduduk. Hal ini berbanding terbalik dengan Indonesia yang diprediksi akan mengalami ledakan penduduk dalam jumlah besar pada 2025 nanti. Yang mana bila hal ini tidak ditata dengan baik maka akan menjadi bumerang tersendiri bagi Negara kita. Kita ingat bagaimana pada tahun 1980 s/d 1990an Malaysia mendatangkan Guru guru asal Indonesia dalam jumlah yang masif, turut pula di dalamnya banyak Alumni kampus FKIP Unila kita. Namun kini kita lihat bagaimana Malaysia mampu mengakselarisasikan perkembangan penduduknya hingga rata rata Pemuda Malaysia mengenyam pendidikan tinggi. Dan kini Malaysia banyak mendatangkan pekerja kasar, seperti buruh bangunan, Pelayan warung makan, Petugas kebersihan serta pembantu rumah tangga dari negara Indonesia. Miris memang kenyataannya.

Menara Kembar Petronas (Ikon Negara Malaysia)
Namun dalam sisi, kebebasan berpendapat Malaysia tertinggal satu langkah dibelakang kita. Dapat dikatakan Malaysia saat ini adalah seperti Indonesia pada zaman Orde baru pemerintahan Presiden Soeharto. Mahasiswa tidak memiliki kekuatan untuk unjuk gigi menyuarakan aspirasi rakyat. Untuk demontrasi sekalipun, mahasiswa dibayang bayangi dengan jeruji penjara. Kebebasan berpendapat ditiadakan. Begitupun berita pers banyak yang dibredeli. Hal ini tidak diperoleh dari isi materi kegiatan Studen Exchange tersebut, Akan tetapi dari sharing pendapat dengan Ketua Majelis Perwakilan Pelajar (semacam presiden BEM Universiti Malaya).

Yah memang jika dibandingkan antara Malaysia dan Indonesia pasti terdapat kelebihan dan kekurangan  di masing masing pihak. Begitu pula pengalaman selama mengikuti kegiatan Student exchange tidak selamanya manis seperti. Terdapat juga hal yang kurang menyenangkan, seperti halnya soal cita rasa makanan yang sedikit berbeda dengan kuliner negeri ini. Mahasiswa Asal Indonesia saja disana butuh proses adaptasi lidah selama kurang lebih satu tahun. 

Semoga pengalaman ini dapat menginspirasi kawan kawan Mahasiswa yang lain!
Baca SelengkapnyaMENGISI LIBURAN DENGAN STUDENT EXCHANGE KE MALAYSIA

Kamis, 06 Februari 2014

“BUANG JAUH-JAUH” MATEMATIKA…

Namanya Muhammad Fakhry Ghafur, tetapi kami memanggilnya Ade. Dia menempati urutan keempat pada deretan tujuh anak kami. Ade memasuki masa pertengahan SD-nya saat saya melanjutkan sekolah di Jakarta. 

Dengan begitu saya tidak dapat menunggui dia dan kakak-adiknya di hari-hari biasa. Soalnya, saya belajar dari hari Senin hingga Sabtu, non stop. Pulang ke Bandung Sabtu siang, dan kembali ke Jakarta Minggu malam. Itu berjalan selama tiga tahun.

Rupanya, bagi anak-anak, kehadiran seorang ayah sangat penting dalam kehidupan mereka. Ayah adalah kawan bermain, tempat bertanya dan bercanda, pemberi orientasi bagi masa depan, dan yang paling penting, dia memberi rasa aman. Karena itu, ketika seorang ayah tidak hadir di samping anak -anaknya, maka anak-anak pun kehilangan segalanya. Begitu juga Ade. Jika semula rankingnya selalu ada di kisaran 3-1, caturwulan-caturwulan berikutnya, dari kelas 4 sampai kelas 6, rankingnya anjlok drastis. Mula-mula ambrol ke angka 17, lalu runtuh lagi ke level 23, dan akhirnya terjun bebas ke angka 35 dari 40 orang murid lebih sedikit.

Beruntung sekali, Ibunya tangguh, dia benar-benar “Nahkoda Bintang Lima”. Tanpa kehadiran saya, dia sanggup menjaga enam orang anak-anak kami [waktu itu, dan selanjutnya tujuh anak], sehingga mereka tidak sampai nakal. Niken, Urie, Zak, dan Ade, tetap rajin mengaji dan shalat seperti ibunya.

Pada saat Ade mengalami situasi kritis itu, saya pun selesai sekolah, dan pulang ke Bandung. Sekali pun masih ada kelas 5 dan 6 untuk Ade, namun rasanya semuanya sudah terlanjut berantakan. Sulit diperbaiki dan dikembalikan ke treknya semula. Yang bisa dilakukan hanyalah menyelamatkan “potensi-potensi” yang masih ada pada diri Ade. Untuk itu, saya harus mengesampingkan dulu seluruh tugas saya yang berkaitan dengan penyelesaian studi saya, termasuk menulis disertasi.

Menjelang masa akhir sekolahnya di SD, Ade saya tanya, “Mau meneruskan ke mana, De?” Dengan cepat dia menjawab, “Ke pesantren saja, Pak”.
Saya tahu, tahu persis, alasan dia menjawab seperti itu, sebab di balik kalimatnya itu, tersimpan kata-kata yang sangat menikam hati saya. Ini: “Bukankah Ade sudah tidak pantas lagi masuk SMP Pak? Bukankah semua harapan Ade untuk menjadi seperti Teteh (Niken) dan Abang (Zak, yang saat itu sudah di SMP, dan kelak ke SMA-5 Bandung) sudah Bapak hancurkan?”. Saya menangis. Sakit sekali rasanya.

“Pesantren mana De?” tanya saya, dan Ade menjawab dengan kalimat yang semakin menikam hati saya, “Terserah Bapak saja…”
“Ke Jombang saja, ya De, di sana ada Mbah?”
“Terserah Bapak saja…”
“Kalau tidak ke Jombang, ke Ciamis saja, ada pesantren bagus di sana”.
“Terserah Bapak saja…”
Ya Rabbi…., tangis saya dalam hati semakin menjadi-jadi.

Pesantren, bagi Ade, sepertinya sama saja: “Tempat ngaji kumuh, yang hanya pantas menampung anak-anak yang matematika, fisika, dan biloginya jeblog.” Maklum, dia belum kenal pesantren sama sekali. Karena itu, menjelang dia keluar SD, saya mengajak dia dan ibunya, melakukan survey ke beberapa pesantren di Jawa Barat: Ciamis, Tasikmalaya, Cirebon, dan Garut. Ade benar-benar sudah pasrah, dan bersedia masuk ke pesantren mana saja. Tetapi, ibunya sering memberi pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Suatu saat saya diundang ceramah di Pesantren Muhammadiyah Darul Arqam, Garut. Guru-guru di pesantren ini banyak yang lulusan IAIN (sekarang UIN) Bandung, yang dulunya menjadi mahasiswa saya. Ade dan Ibu saya ajak serta. Selesai ceramah, kami berjalan-jalan sekeliling pesantren.
“Sudah, De, di sini saja, ya mesantrennya?”, tanya saya sambil memandang wajah Ade.
“Terserah Bapak saja…”, jawabnya.

Ketika ibunya saya mintai pendapat, dia sangat setuju Ade melanjutkan sekolah di Pesantren Darul Arqam, milik Muhammadiyah Garut itu.

Tes masuk Pesanren Darul Arqam dilaksanakan sebelum anak-anak SD Kelas 6 lulus dari sekolah mereka. Kelulusan seperti itu, dulu, memang tidak penting, sebab semua murid kelas 6 SD pasti lulus. Kepada para guru Darul Arqam yang sempat saya temui, saya katakan bahwa, Ade hanya bisa membaca al-Qur’an dan bacaan-bacaan shalat. Nulis huruf Arab belum bisa. Salah seorang di antara para guru di situ menjawab sambil tersenyum, “Tidak jadi masalah, Pak, itu tugas kami”.

Beberapa waktu sesudah menjalani tes baca al-Qur’an, praktek shalat, dan nulis Arab, Ade dinyatakan lulus, dan di Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut itulah akhirnya Ade melanjutkan sekolahnya.

Begitu Ade memulai sekolahnya, saya menyuruh dia “membuang jauh-jauh” matematika, fisika, biologi, kimia, dan bahasa Inggris, dan menggantinya dengan bahasa Arab, Ilmu-ilmu Agama seperti Tafsir, Hadits, dan Fikih. Kepadanya saya katakan, “Matematika, fisika, kimia, biologi, dan bahasa Inggris itu penting, tetapi bukan segala-galanya, De. Orang tidak akan mati kalau tidak mengerti itu semua. Masih ada yang lain!”

Kalimat itu saya ulangi berkali-kali setiap saya menengok Ade ke Darul Arqam, dan sesekali pula saya tegaskan kepadanya bahwa, “Kalau kamu hendak menyaingi Teteh dan Abangmu dalam matematika, fisika, biologi, kimia, dan bahasa Inggris, pasti kamu tidak akan bisa De… Karena itu, saingilah mereka dengan menguasai hal-hal yang tidak mereka miliki: Ilmu Agama Islam dan bahasa Arab. Kakak-kakakmu nggak ngerti itu,” tegas saya.

Rupanya Ade mengikuti nasehat saya. Ketika selesai mesantren tiga tahun, dan lulus Tsanawiyah (tingkat SMP) Ade saya tes membaca Kitab Gundul.
“De, kamu bisa membaca ini?” tanya saya sambil menyodorkan kitab “Tafsir Al-Manar” yang gundul itu.
“Bisa, Pak!”, jawabnya yakin.
Ternyata Ade memang bisa membaca kitab gundul itu dengan benar dan lancar.
“Ngerti artinya?” tanya saya pula.
“Ngerti, Pak!”, jawabnya yakin sekali.
Sesudah mendengar dia menjelaskan isi kitab yang dia baca, saya sangat gembira, dan bersorak dalam hati, “Kalau begini, jadi dia!”

Pesantren Darul Arqam ini benar-benar hebat! Dalam waktu tiga tahun saja, ia bisa mendidik Ade yang semula hanya bisa membaca Al-Qur’an dan bacaan-bacaan shalat, menjadi anak yang mampu membaca kitab gundul dengan benar.
Sesudah lulus tingkat Tsanawiyah di Pesantren Darul Arqam, beberapa orang kawan Ade melanjutkan sekolah ke SMA, tetapi Ade saya minta tetap meneruskan di situ. Tentu saja dengan misi yang masih sama, “Buang jauh-jauh matematika, fisika, biologi, kimia, dan bahasa Inggris”.

Ranking Ade di Madrasah Aliyah menggembirakan. Hampir selalu berada di 10 besar, sampai akhirnya, ketika lulus, hinggap di ranking 3. Tentu saja dia melanjutkan sekolahnya ke IAIN. Untuk itu, saya dan ibunya mempersilakan dia memilih sendiri IAIN mana yang dia suka. Dasar “rakus”, Ade ikut tes di 3 tempat: Jurusan Jinayah di IAIN Yogya, Dirasah Islamiah di IAIN Jakarta, dan Mu’amalah di IAIN Bandung. E…, ternyata lulus semua [dulu waktu tes di berbagai IAIN tidak berbarengan, sehingga sangat dimungkinkan ikut tes di beberapa IAIN].

Ketika hendak memilih mana yang akan dimasuki, ibunya menyarankan IAIN Bandung saja: “3 menit dari rumah”, katanya. Tetapi, saya sangat tidak setuju. “Kasian dia nantinya. Kalau nilainya bagus-bagus, pasti dikira karena bapaknya”. Itu alasan saya. Akhirnya, Ade memilih sekolah di Dirasah Islamiah, UIN Jakarta, karena jurusan ini menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam perkuliahannya. Ade suka sekali itu.

Sambil memulai sekolahnya di Dirasah, Ade menunggu hasil seleksi beasiswa ke Libya, yang dia ikuti beberapa waktu yang lalu. Eh, ternyata dia lulus. Ketika dia lapor kepada kami, ibunya dengan enteng menanggapi, “Sudah, di Jakarta saja. Ilmunya kan sama saja…”

Tetapi diam-diam Ade saya provokasi, “De, kalau ilmunya memang sama saja, bahkan di sini mungkin lebih bagus. Tetapi, pengalaman yang nantinya kamu dapatkan, nggak ternilai harganya De!”

Rupanya Ade termakan provokasi saya. Dia tinggalkan Dirasah Islamiyah, dan berangkat ke Libya. Sesudah sekolah 5 tahun di Lybia, Ade pulang. Tahun berikutnya, dia melanjutkan sekolah ke S2 Ulumul Qur’an di PTIQ Jakarta. Dua tahun selesai. Ketika ada penerimaan CPNS untuk dosen bidang Ilmu Agama Islam di IAIN Bandung, tempat saya bekerja, Ade saya minta ikut. Eh, ternyata tidak lolos. Ade pun jadi pengangguran, padahal di usianya yang 25 tahun itu, dia sudah menikah [karena ingin mengikuti Sunnah Rasul).

Tahun berikutnya, dia ikut tes di IAIN lagi, dan lagi-lagi gagal. Karena nganggur, iseng-iseng dia buka internet. Nyari lowongan kerja. Ada, di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Jakarta. Yang dia bidik lowongan menjadi Peneliti Politik Islam Timur Tengah.

Jujur, saya pesimis dengan niatnya. Lipi De…? Mana ada anak lulusan pesantren yang diterima di situ? Seleksinya juga pasti ekstra ketat! Tapi dia nekad saja. Sesudah menempuh tujuh tahap tes, e…, ternyata dia diterima. “Aneh,” kata saya dalam hati, “Di IAIN dua kali tes dia nggak lulus, kok malah diterima di Lipi…?”

Alhamdulillah…, Allah Swt memang Maha Pemurah terhadap hamba-hamba-Nya…
Sekarang Ade bekerja sebagai Peneliti Muda Bidang Politik Islam Timur Tengah di Lipi, Jakarta. Ya pasti gaya. Wong saya aja dulu sangat ingin bisa menjadi peneliti di situ. Tapi keinginan saya itu tidak pernah kesampaian. Lha wong mengirim lamaran saja saya gak berani…

Salam …

_____By Afif Muhammad______________

* Terimakasih dan salam ta’zhim untuk Pak Iyet, Pak Dadang Syarifuddin, serta semua Ustadzat dan Asatidz di PP Darul Arqam Muhammadiyah, Garut. Semoga amal bapak-bapak dan ibu-ibu menjadi jariah yang terus mengalir di dunia sampai akhirat
Baca Selengkapnya“BUANG JAUH-JAUH” MATEMATIKA…