Namanya
Muhammad Fakhry Ghafur, tetapi kami memanggilnya Ade. Dia menempati
urutan keempat pada deretan tujuh anak kami. Ade memasuki masa
pertengahan SD-nya saat saya melanjutkan sekolah di Jakarta.
Dengan
begitu saya tidak dapat menunggui dia dan kakak-adiknya di hari-hari
biasa. Soalnya, saya belajar dari hari Senin hingga Sabtu, non stop.
Pulang ke Bandung Sabtu siang, dan kembali ke Jakarta Minggu malam. Itu
berjalan selama tiga tahun.
Rupanya, bagi anak-anak, kehadiran
seorang ayah sangat penting dalam kehidupan mereka. Ayah adalah kawan
bermain, tempat bertanya dan bercanda, pemberi orientasi bagi masa
depan, dan yang paling penting, dia memberi rasa aman. Karena itu,
ketika seorang ayah tidak hadir di samping anak -anaknya, maka anak-anak
pun kehilangan segalanya. Begitu juga Ade. Jika semula rankingnya
selalu ada di kisaran 3-1, caturwulan-caturwulan berikutnya, dari kelas 4
sampai kelas 6, rankingnya anjlok drastis. Mula-mula ambrol ke angka
17, lalu runtuh lagi ke level 23, dan akhirnya terjun bebas ke angka 35
dari 40 orang murid lebih sedikit.
Beruntung sekali, Ibunya
tangguh, dia benar-benar “Nahkoda Bintang Lima”. Tanpa kehadiran saya,
dia sanggup menjaga enam orang anak-anak kami [waktu itu, dan
selanjutnya tujuh anak], sehingga mereka tidak sampai nakal. Niken,
Urie, Zak, dan Ade, tetap rajin mengaji dan shalat seperti ibunya.
Pada saat Ade mengalami situasi kritis itu, saya pun selesai sekolah,
dan pulang ke Bandung. Sekali pun masih ada kelas 5 dan 6 untuk Ade,
namun rasanya semuanya sudah terlanjut berantakan. Sulit diperbaiki dan
dikembalikan ke treknya semula. Yang bisa dilakukan hanyalah
menyelamatkan “potensi-potensi” yang masih ada pada diri Ade. Untuk itu,
saya harus mengesampingkan dulu seluruh tugas saya yang berkaitan
dengan penyelesaian studi saya, termasuk menulis disertasi.
Menjelang masa akhir sekolahnya di SD, Ade saya tanya, “Mau meneruskan
ke mana, De?” Dengan cepat dia menjawab, “Ke pesantren saja, Pak”.
Saya tahu, tahu persis, alasan dia menjawab seperti itu, sebab di balik
kalimatnya itu, tersimpan kata-kata yang sangat menikam hati saya. Ini:
“Bukankah Ade sudah tidak pantas lagi masuk SMP Pak? Bukankah semua
harapan Ade untuk menjadi seperti Teteh (Niken) dan Abang (Zak, yang
saat itu sudah di SMP, dan kelak ke SMA-5 Bandung) sudah Bapak
hancurkan?”. Saya menangis. Sakit sekali rasanya.
“Pesantren mana De?” tanya saya, dan Ade menjawab dengan kalimat yang semakin menikam hati saya, “Terserah Bapak saja…”
“Ke Jombang saja, ya De, di sana ada Mbah?”
“Terserah Bapak saja…”
“Kalau tidak ke Jombang, ke Ciamis saja, ada pesantren bagus di sana”.
“Terserah Bapak saja…”
Ya Rabbi…., tangis saya dalam hati semakin menjadi-jadi.
Pesantren, bagi Ade, sepertinya sama saja: “Tempat ngaji kumuh, yang
hanya pantas menampung anak-anak yang matematika, fisika, dan biloginya
jeblog.” Maklum, dia belum kenal pesantren sama sekali. Karena itu,
menjelang dia keluar SD, saya mengajak dia dan ibunya, melakukan survey
ke beberapa pesantren di Jawa Barat: Ciamis, Tasikmalaya, Cirebon, dan
Garut. Ade benar-benar sudah pasrah, dan bersedia masuk ke pesantren
mana saja. Tetapi, ibunya sering memberi pertimbangan-pertimbangan
tertentu.
Suatu saat saya diundang ceramah di Pesantren
Muhammadiyah Darul Arqam, Garut. Guru-guru di pesantren ini banyak yang
lulusan IAIN (sekarang UIN) Bandung, yang dulunya menjadi mahasiswa
saya. Ade dan Ibu saya ajak serta. Selesai ceramah, kami berjalan-jalan
sekeliling pesantren.
“Sudah, De, di sini saja, ya mesantrennya?”, tanya saya sambil memandang wajah Ade.
“Terserah Bapak saja…”, jawabnya.
Ketika ibunya saya mintai pendapat, dia sangat setuju Ade melanjutkan
sekolah di Pesantren Darul Arqam, milik Muhammadiyah Garut itu.
Tes masuk Pesanren Darul Arqam dilaksanakan sebelum anak-anak SD Kelas 6
lulus dari sekolah mereka. Kelulusan seperti itu, dulu, memang tidak
penting, sebab semua murid kelas 6 SD pasti lulus. Kepada para guru
Darul Arqam yang sempat saya temui, saya katakan bahwa, Ade hanya bisa
membaca al-Qur’an dan bacaan-bacaan shalat. Nulis huruf Arab belum bisa.
Salah seorang di antara para guru di situ menjawab sambil tersenyum,
“Tidak jadi masalah, Pak, itu tugas kami”.
Beberapa waktu
sesudah menjalani tes baca al-Qur’an, praktek shalat, dan nulis Arab,
Ade dinyatakan lulus, dan di Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut
itulah akhirnya Ade melanjutkan sekolahnya.
Begitu Ade memulai
sekolahnya, saya menyuruh dia “membuang jauh-jauh” matematika, fisika,
biologi, kimia, dan bahasa Inggris, dan menggantinya dengan bahasa Arab,
Ilmu-ilmu Agama seperti Tafsir, Hadits, dan Fikih. Kepadanya saya
katakan, “Matematika, fisika, kimia, biologi, dan bahasa Inggris itu
penting, tetapi bukan segala-galanya, De. Orang tidak akan mati kalau
tidak mengerti itu semua. Masih ada yang lain!”
Kalimat itu
saya ulangi berkali-kali setiap saya menengok Ade ke Darul Arqam, dan
sesekali pula saya tegaskan kepadanya bahwa, “Kalau kamu hendak
menyaingi Teteh dan Abangmu dalam matematika, fisika, biologi, kimia,
dan bahasa Inggris, pasti kamu tidak akan bisa De… Karena itu, saingilah
mereka dengan menguasai hal-hal yang tidak mereka miliki: Ilmu Agama
Islam dan bahasa Arab. Kakak-kakakmu nggak ngerti itu,” tegas saya.
Rupanya Ade mengikuti nasehat saya. Ketika selesai mesantren tiga
tahun, dan lulus Tsanawiyah (tingkat SMP) Ade saya tes membaca Kitab
Gundul.
“De, kamu bisa membaca ini?” tanya saya sambil menyodorkan kitab “Tafsir Al-Manar” yang gundul itu.
“Bisa, Pak!”, jawabnya yakin.
Ternyata Ade memang bisa membaca kitab gundul itu dengan benar dan lancar.
“Ngerti artinya?” tanya saya pula.
“Ngerti, Pak!”, jawabnya yakin sekali.
Sesudah mendengar dia menjelaskan isi kitab yang dia baca, saya sangat
gembira, dan bersorak dalam hati, “Kalau begini, jadi dia!”
Pesantren Darul Arqam ini benar-benar hebat! Dalam waktu tiga tahun
saja, ia bisa mendidik Ade yang semula hanya bisa membaca Al-Qur’an dan
bacaan-bacaan shalat, menjadi anak yang mampu membaca kitab gundul
dengan benar.
Sesudah lulus tingkat Tsanawiyah di Pesantren Darul
Arqam, beberapa orang kawan Ade melanjutkan sekolah ke SMA, tetapi Ade
saya minta tetap meneruskan di situ. Tentu saja dengan misi yang masih
sama, “Buang jauh-jauh matematika, fisika, biologi, kimia, dan bahasa
Inggris”.
Ranking Ade di Madrasah Aliyah menggembirakan. Hampir
selalu berada di 10 besar, sampai akhirnya, ketika lulus, hinggap di
ranking 3. Tentu saja dia melanjutkan sekolahnya ke IAIN. Untuk itu,
saya dan ibunya mempersilakan dia memilih sendiri IAIN mana yang dia
suka. Dasar “rakus”, Ade ikut tes di 3 tempat: Jurusan Jinayah di IAIN
Yogya, Dirasah Islamiah di IAIN Jakarta, dan Mu’amalah di IAIN Bandung.
E…, ternyata lulus semua [dulu waktu tes di berbagai IAIN tidak
berbarengan, sehingga sangat dimungkinkan ikut tes di beberapa IAIN].
Ketika hendak memilih mana yang akan dimasuki, ibunya menyarankan IAIN
Bandung saja: “3 menit dari rumah”, katanya. Tetapi, saya sangat tidak
setuju. “Kasian dia nantinya. Kalau nilainya bagus-bagus, pasti dikira
karena bapaknya”. Itu alasan saya. Akhirnya, Ade memilih sekolah di
Dirasah Islamiah, UIN Jakarta, karena jurusan ini menggunakan bahasa
Arab sebagai bahasa pengantar dalam perkuliahannya. Ade suka sekali itu.
Sambil memulai sekolahnya di Dirasah, Ade menunggu hasil seleksi
beasiswa ke Libya, yang dia ikuti beberapa waktu yang lalu. Eh, ternyata
dia lulus. Ketika dia lapor kepada kami, ibunya dengan enteng
menanggapi, “Sudah, di Jakarta saja. Ilmunya kan sama saja…”
Tetapi diam-diam Ade saya provokasi, “De, kalau ilmunya memang sama
saja, bahkan di sini mungkin lebih bagus. Tetapi, pengalaman yang
nantinya kamu dapatkan, nggak ternilai harganya De!”
Rupanya
Ade termakan provokasi saya. Dia tinggalkan Dirasah Islamiyah, dan
berangkat ke Libya. Sesudah sekolah 5 tahun di Lybia, Ade pulang. Tahun
berikutnya, dia melanjutkan sekolah ke S2 Ulumul Qur’an di PTIQ Jakarta.
Dua tahun selesai. Ketika ada penerimaan CPNS untuk dosen bidang Ilmu
Agama Islam di IAIN Bandung, tempat saya bekerja, Ade saya minta ikut.
Eh, ternyata tidak lolos. Ade pun jadi pengangguran, padahal di usianya
yang 25 tahun itu, dia sudah menikah [karena ingin mengikuti Sunnah
Rasul).
Tahun berikutnya, dia ikut tes di IAIN lagi, dan
lagi-lagi gagal. Karena nganggur, iseng-iseng dia buka internet. Nyari
lowongan kerja. Ada, di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia),
Jakarta. Yang dia bidik lowongan menjadi Peneliti Politik Islam Timur
Tengah.
Jujur, saya pesimis dengan niatnya. Lipi De…? Mana ada
anak lulusan pesantren yang diterima di situ? Seleksinya juga pasti
ekstra ketat! Tapi dia nekad saja. Sesudah menempuh tujuh tahap tes, e…,
ternyata dia diterima. “Aneh,” kata saya dalam hati, “Di IAIN dua kali
tes dia nggak lulus, kok malah diterima di Lipi…?”
Alhamdulillah…, Allah Swt memang Maha Pemurah terhadap hamba-hamba-Nya…
Sekarang Ade bekerja sebagai Peneliti Muda Bidang Politik Islam Timur
Tengah di Lipi, Jakarta. Ya pasti gaya. Wong saya aja dulu sangat ingin
bisa menjadi peneliti di situ. Tapi keinginan saya itu tidak pernah
kesampaian. Lha wong mengirim lamaran saja saya gak berani…
Salam …
_____By Afif Muhammad______________
* Terimakasih dan salam ta’zhim untuk Pak Iyet, Pak Dadang Syarifuddin,
serta semua Ustadzat dan Asatidz di PP Darul Arqam Muhammadiyah, Garut.
Semoga amal bapak-bapak dan ibu-ibu menjadi jariah yang terus mengalir
di dunia sampai akhirat