Toko tersebut
terletak di sebuah apartemen dimana salah satu penghuninya adalah
keluarga Yahudi yang memiliki seorang anak bernama "Jad" berumur 7
tahun.
Jad si anak Yahudi Hampir setiap hari
mendatangi toko tempat dimana Ibrahim bekerja untuk membeli kebutuhan
rumah, setiap kali hendak keluar dari toko –dan Ibrahim dianggapnya
lengah– Jad selalu mengambil sepotong cokelat milik Ibrahim tanpa
seizinnya.
Pada suatu hari usai belanja, Jad lupa
tidak mengambil cokelat ketika mau keluar, kemudian tiba-tiba Ibrahim
memanggilnya dan memberitahu kalau ia lupa mengambil sepotong cokelat
sebagaimana kebiasaannya. Jad kaget, karena ia mengira bahwa Ibrahim
tidak mengetahui apa yang ia lakukan selama ini. Ia pun segera meminta
maaf dan takut jika saja Ibrahim melaporkan perbuatannya tersebut
kepada orangtuanya.
Ibrahim pun menjawab: "Tidak apa, yang
penting kamu berjanji untuk tidak mengambil sesuatu tanpa izin, dan
setiap saat kamu mau keluar dari sini, ambillah sepotong cokelat, itu
adalah milikmu!" Jad pun menyetujuinya dengan penuh kegirangan.
Waktu berlalu, tahun pun berganti dan
Ibrahim yang muslim kini menjadi layaknya seorang ayah dan teman akrab
bagi Jad si anak Yahudi. Sudah menjadi kebiasaan Jad saat
menghadapi masalah, ia selalu datang dan berkonsultasi kepada Ibrahim.
Dan setiap kali Jad selesai bercerita, Ibrahim selalu mengambil sebuah
buku dari laci, memberikannya kepada Jad dan kemudian menyuruhnya untuk
membukanya secara acak. Setelah Jad membukanya, kemudian Ibrahim
membaca dua lembar darinya, menutupnya dan mulai memberikan nasehat dan
solusi dari permasalahan Jad.
Beberapa tahun pun berlalu dan begitulah
hari-hari yang dilalui Jad bersama Ibrahim, seorang Muslim Turki yang
tua dan tidak berpendidikan tinggi. 17 tahun berlalu, kini Jad telah
menjadi seorang pemuda gagah dan berumur 24 tahun, sedangkan Ibrahim
saat itu berumur 67 tahun.
Ibrahim pun akhirnya meninggal, namun
sebelum wafat ia telah menyimpan sebuah kotak yang dititipkan kepada
anak-anaknya dimana di dalam kotak tersebut ia letakkan sebuah buku
yang selalu ia baca setiap kali Jad berkonsultasi kepadanya. Ibrahim
berwasiat agar anak-anaknya nanti memberikan buku tersebut sebagai
hadiah untuk Jad, seorang pemuda Yahudi.
Jad baru mengetahui wafatnya Ibrahim
ketika putranya menyampaikan wasiat untuk memberikan sebuah kotak, Jad
pun merasa tergoncang dan sangat bersedih dengan berita tersebut,
karena Ibrahim lah yang selama ini memberikan solusi dari semua
permasalahannya, dan Ibrahim lah satu-satunya teman sejati baginya.
Hari-haripun berlalu, Setiap kali
dirundung masalah, Jad selalu teringat Ibrahim. Kini ia hanya
meninggalkan sebuah kotak. Kotak yang selalu ia buka, di dalamnya
tersimpan sebuah buku yang dulu selalu dibaca Ibrahim setiap kali ia
mendatanginya.
Jad lalu mencoba membuka
lembaran-lembaran buku itu, akan tetapi kitab itu berisikan tulisan
berbahasa Arab sedangkan ia tidak bisa membacanya. Kemudian ia pergi ke
salah seorang temannya yang berkebangsaan Tunisia dan memintanya untuk
membacakan dua lembar dari kitab tersebut. Persis sebagaimana
kebiasaan Ibrahim dahulu yang selalu memintanya membuka lembaran kitab
itu dengan acak saat ia datang berkonsultasi.
Teman Tunisia tersebut kemudian
membacakan dan menerangkan makna dari dua lembar yang telah ia
tunjukkan. Dan ternyata, apa yang dibaca oleh temannya itu, mengena
persis ke dalam permasalahan yang dialami Jad kala itu. Lalu Jad
bercerita mengenai permasalahan yang tengah menimpanya, Kemudian teman
Tunisianya itu memberikan solusi kepadanya sesuai apa yang ia baca dari
kitab tersebut.
Jad pun terhenyak kaget, kemudian dengan penuh rasa penasaran ini bertanya, "Buku apa ini !?"
Ia menjawab : "Ini adalah Al-Qur'an, kitab sucinya orang Islam!"
Jad sedikit tak percaya, sekaligus merasa takjub,
Jad lalu kembali bertanya: "Bagaimana caranya menjadi seorang muslim?"
Temannya menjawab : "Mengucapkan syahadat dan mengikuti syariat!"
Setelah itu, dan tanpa ada rasa ragu, Jad lalu mengucapkan Syahadat, ia pun kini memeluk agama Islam!
Jadullah seorang Muslim.
Kini Jad sudah menjadi seorang muslim,
kemudian ia mengganti namanya menjadi Jadullah Al-Qur'ani sebagai rasa
takdzim atas kitab Al-Qur'an yang begitu istimewa dan mampu menjawab
seluruh problema hidupnya selama ini. Dan sejak saat itulah ia
memutuskan akan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi menyebarkan
ajaran Al-Qur'an.
Mulailah Jadullah mempelajari Al-Qur'an
serta memahami isinya, dilanjutkan dengan berdakwah di Eropa hingga
berhasil mengislamkan enam ribu Yahudi dan Nasrani. Suatu hari, Jadullah membuka
lembaran-lembaran Al-Qur'an hadiah dari Ibrahim itu. Tiba-tiba ia
mendapati sebuah lembaran bergambarkan peta dunia. Pada saat matanya
tertuju pada gambar benua afrika, nampak di atasnya tertera tanda
tangan Ibrahim dan dibawah tanda tangan itu tertuliskan ayat :
((اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ...!!))
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik!!..." (QS. An-Nahl; 125)
Ia pun yakin bahwa ini adalah wasiat dari Ibrahim dan ia memutuskan untuk melaksanakannya.
Beberapa waktu kemudian Jadullah
meninggalkan Eropa dan pergi berdakwah ke negara-negara Afrika yang
diantaranya adalah Kenya, Sudan bagian selatan (yang mayoritas
penduduknya adalah Nasrani), Uganda serta negara-negara sekitarnya.
Jadullah berhasil mengislamkan lebih dari 6.000.000 (enam juta) orang
dari suku Zolo, ini baru satu suku, belum dengan suku-suku lainnya.
Akhir Hayat Jadullah
Jadullah Al-Qur'ani, seorang muslim
sejati, da'i hakiki, menghabiskan umur 30 tahun sejak keislamannya
untuk berdakwah di negara-negara Afrika yang gersang dan berhasil
mengislamkan jutaan orang. Jadullah wafat pada tahun 2003 yang
sebelumnya sempat sakit. Kala itu beliau berumur 45 tahun, beliau wafat
dalam masa-masa berdakwah.
Kisah pun belum selesai
Ibu Jadullah Al-Qur'ani adalah seorang
wanita Yahudi yang fanatik, ia adalah wanita berpendidikan dan dosen di
salah satu perguruan tinggi. Ibunya baru memeluk Islam pada tahun
2005, dua tahun sepeninggal Jadullah yaitu saat berumur 70 tahun.
Sang ibu bercerita bahwa –saat putranya
masih hidup– ia menghabiskan waktu selama 30 tahun berusaha sekuat
tenaga untuk mengembalikan putranya agar kembali menjadi Yahudi dengan
berbagai macam cara, dengan segenap pengalaman, kemapanan ilmu dan
kemampuannya, akan tetapi ia tidak dapat mempengaruhi putranya untuk
kembali menjadi Yahudi. Sedangkan Ibrahim, seorang Muslim tua yang
tidak berpendidikan tinggi, mampu melunakkan hatinya untuk memeluk
Islam, hal ini tidak lain karena Islamlah satu-satunya agama yang
benar.
Kemudian yang menjadi pertanyaan: "Mengapa Jad si anak Yahudi memeluk Islam?"
Jadullah Al-Qur'ani bercerita bahwa
Ibrahim yang ia kenal selama 17 tahun tidak pernah memanggilnya dengan
kata-kata: "Hai orang kafir!" atau "Hai Yahudi!" bahkan Ibrahim tidak
pernah untuk sekedar berucap: "Masuklah agama islam!"
Bayangkan, selama 17 tahun Ibrahim tidak
pernah sekalipun mengajarinya tentang agama, tentang Islam ataupun
tentang Yahudi. Seorang tua muslim sederhana itu tak pernah mengajaknya
diskusi masalah agama. Akan tetapi ia tahu bagaimana menuntun hati
seorang anak kecil agar terikat dengan akhlak Al-Qur'an.
Kemudian dari kesaksian DR. Shafwat
Hijazi (salah seorang dai kondang Mesir) yang suatu saat pernah
mengikuti sebuah seminar di London dalam membahas problematika Darfur
serta solusi penanganan dari kristenisasi, beliau berjumpa dengan salah
satu pimpinan suku Zolo. Saat ditanya apakah ia memeluk Islam melalui
Jadullah Al-Qur'ani? ia menjawab; tidak! namun ia memeluk Islam melalui
orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur'ani.
Subhanallah, akan ada berapa
banyak lagi orang yang akan masuk Islam melalui orang-orang yang
diislamkan oleh Jadullah Al-Qur'ani. Dan Jadullah Al-Qur'ani sendiri
memeluk Islam melalui tangan seorang muslim tua berkebangsaan Turki
yang tidak berpendidikan tinggi, namun memiliki akhlak yang jauh dan
jauh lebih luhur dan suci.
Begitulah hikayat tentang Jadullah
Al-Qur'ani, kisah ini merupakan kisah nyata yang penulis dapatkan
kemudian penulis terjemahkan dari catatan
Almarhum Syeikh Imad Iffat yang dijuluki sebagai "Syaikh Kaum
Revolusioner Mesir". Beliau adalah seorang ulama Al-Azhar dan anggota
Lembaga Fatwa Mesir yang ditembak syahid dalam sebuah insiden di Kairo
pada hari Jumat, 16 Desember 2011 silam.
Kisah nyata ini layak untuk kita renungi
bersama di masa-masa penuh fitnah seperti ini. Di saat banyak orang
yang sudah tidak mengindahkan lagi cara dakwah Qur'ani. Mudah
mengkafirkan, fasih mencaci, mengklaim sesat, menyatakan bid'ah,
melaknat, memfitnah, padahal mereka adalah sesama muslim.
Dulu da'i-da'i kita telah berjuang
mati-matian menyebarkan Tauhid dan mengislamkan orang-orang kafir,
namun kenapa sekarang orang yang sudah Islam malah justru
dikafir-kafirkan dan dituduh syirik? Bukankah kita hanya diwajibkan
menghukumi sesuatu dari yang tampak saja? Sedangkan masalah batin
biarkan Allah yang menghukumi nanti. Kita sama sekali tidak
diperintahkan untuk membelah dada setiap manusia agar mengetahui kadar
iman yang dimiliki setiap orang.
Mari kita renungi kembali surat Thaha ayat 44 yaitu Perintah Allah swt. kepada Nabi Musa dan Harun –'alaihimassalam– saat mereka akan pergi mendakwahi fir'aun. Allah berfirman,
((فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى))
"Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut."
Bayangkan, fir'aun yang jelas-jelas
kafir laknatullah, namun saat dakwah dengan orang seperti ia pun harus
tetap dengan kata-kata yang lemah lembut. Lalu apakah kita yang hidup
di dunia sekarang ini ada yang lebih Islam dari Nabi Musa dan Nabi
Harun? Atau adakah orang yang saat ini lebih kafir dari fir'aun
sehingga Al-Qur'an pun merekam kekafirannya hingga kini? Lantas alasan
apa bagi kita untuk tidak menggunakan dahwah dengan metode Al-Qur'an?
Yaitu dengan Hikmah, Nasehat yang baik, dan Diskusi menggunakan argumen
yang kuat namun tetap sopan dan santun?
Maka dalam dakwah yang perlu kita
perhatikan adalah bagaimana cara kita agar mudah menyampaikan kebenaran
Islam ini. Oleh karenanya, jika sekarang kita dapati ada orang yang
kafir, bisa jadi di akhir hayatnya Allah akan memberi hidayah kepadanya
sehingga ia masuk Islam. Bukankah Umar bin Khattab dulu juga pernah
memusuhi Rasulullah? Namun Allah berkehendak lain, sehingga Umar pun
mendapat hidayah dan akhirnya memeluk Islam. Lalu jika sekarang ada
orang muslim, bisa jadi di akhir hayatnya Allah mencabut hidayah
darinya sehingga ia mati dalam keadaan kafir. Na'udzubillah tsumma Na'udzubillahi min Dzalik.
Karena sesungguhnya dosa pertama yang
dilakukan iblis adalah sombong dan angkuh serta merasa diri sendiri
paling suci sehingga tak mau menerima kebenaran Allah dengan sujud
hormat kepada nabi Adam –'alaihissalam–. Oleh karena itu, bisa
jadi Allah mencabut hidayah dari seorang muslim yang tinggi hati lalu
memberikannya kepada seorang kafir yang rendah hati. Segalanya tiada
yang mustahil bagi Allah!
Marilah kita pertahankan akidah Islam
yang telah kita peluk ini, dan jangan pernah mencibir ataupun
"menggerogoti" akidah orang lain yang juga telah memeluk Islam serta
bertauhid. Kita adalah saudara seislam seagama. Saling mengingatkan
adalah baik, saling melindungi akidah sesama muslim adalah baik.
Marilah kita senantiasa berjuang bahu-membahu demi perkara yang
baik-baik saja.
Wallahu Ta'ala A'la Wa A'lam Bis-Shawab.