Sobat,
pernah dengar kota Metropolis atau Gotham City? Rasanya tak berlebihan
jika dibilang banyak orang di seluruh dunia pernah mendengar dua kota
tersebut apalagi penggemar komik superhero keluaran Marvel. Yupz,
Metropolis adalah tempat tinggal Clark Kent alias Superman sedangkan
Gotham City tiada lain rumah dari superhero Batman. Dua kota tersebut
begitu akrab di benak banyak orang karena komik dan filmnya yang
mendunia. Padahal kalau kita mencoba mencarinya di google earth sekalipun, tentu tak kan ditemukan karena keduanya adalah kota fiksi.
Lalu pernahkah kita mendengar daerah Kandangan, Sob? Wew, jangan ngaku creative wannabe kalau tidak tahu kota kecamatan yang terletak di Temanggung, Jawa Tengah ini. Karena pecinta produk ecodesign dan praktisi industri kreatif di luar negeri sangat akrab dengan daerah yang belum lama ini jadi tuan rumah The 1st International Conference on Village Revitalization.
Ya, karena Kandangan adalah tempat lahirnya radio kayu yang telah
menembus pasaran Eropa, Amerika Serikat dan juga Jepang, Radio Magno.
Local Hero Bernama Singgih S. Kartono
Creative enthusiast di Indonesia tentu kenal dengan Singgih Susilo Kartono, owner dari
Piranti Works di mana Radio Magno diproduksi. Pria lulusan Fakultas
Seni Rupa dan Desain ITB ini pernah diundang di program Kick Andy dan
profilnya serta Radio Magno sering diulas di berbagai media baik dalam
maupun luar negeri. Alhamdulillah… pada Rabu (9/7/2014) lalu, penulis berkesempatan untuk bertemu dan sharing langsung dengan beliau.
Menarik
ketika anak muda dari daerah berlomba-lomba pergi ke kota mengukir
karya serta prestasi di sana, di tengah kegalauan apa yang harus
dilakukannya setelah lulus kuliah, Singgih memilih untuk pulang kembali
ke tempat kelahirannya, Kandangan.
“Kebetulan
saya nggak suka kehidupan di kota. Saya perhatikan di desa banyak
perubahan namun sifatnya fisik. Sedangkan mentalitas penduduknya nggak
berubah. Padahal desa punya potensi yang besar. Desa adalah komunitas
yang punya ketahanan pangan dan kehidupan sosial yang lebih sehat. Saya
dibesarkan di desa. Orang yang paling besar investasinya untuk saya
adalah orang desa. Dan saya ingin mengembalikan investasi itu ke orang
desa.” Tutur bungsu dari lima bersaudara.
Jangan
dikira Singgih sudah merencanakan dan mempersiapkan segalanya dengan
matang hingga Radio Magno jadi brand dunia seperti sekarang. Malah dia
mengaku bukan seorang tipe planner yang
baik dan orang tuanya pun tak mendukung ketika dia memutuskan kembali
ke desa. Tapi justru karena itu yang membuatnya mengabaikan rasa takut.
Jika direncanakan dengan matang mungkin dia akan takut dan membuatnya
tak jadi kembali ke desa.
Proses Panjang Menemukan Radio Magno
“Kebanyakan
anak muda hanya meniru tren visual dan fisiknya saja. Mereka berharap
apa yang dimulai dan hasilnya akan sama, padahal berbeda. Dalam proses
pengalaman itu lah dia akan menemukan sesuatu yang sesuai dengan
dirinya.” Ujar Suami dari Tri Wahyuni ini.
Ya,
Radio Magno bukanlah produk yang pertama Singgih buat. Tahun 2004
Piranti Works berdiri, Singgih membuat alat-alat kantor dengan
menggunakan media kayu sebagai bahan utamanya seperti tempat pulpen,
stapler, tempat selotip juga kaca pembesar. Pada akhirnya kaca pembesar (magnifying glass) menjadi inspirasi bagi Singgih untuk memberi nama brandnya Magno.
Perjalanan
Radio Magno berawal saat Singgih mengajukan konsep radio kayu sebagai
proyek tugas akhir kuliahnya di Institut Teknologi Bandung. Kemudian
pada tahun 1997 Singgih memenangkan kompetisi yang diadakan
International Design Resource Association (IDRA) di Seattle, USA, dengan produk “Crafts Radio”. Sebelum membuka usaha sendiri, Singgih bekerja di tempat lain sampai akhirnya perusahaan itu bangkrut.
Icon Dunia Berwawasan Lingkungan
Pada
Desember 2006, Radio Magno mulai dipasarkan di Jepang dan mendapat
sambutan yang positif. Berbagai situs mengulas Magno dan konsep usahanya
yang ramah lingkungan. Puncaknya Singgih mendapat penghargaan Good
Design Award/G-Mark 2008, Jepang. Berbagai penghargaan internasional
yang diraih Singgih seperti Design
for Asia Award, HKDC Hongkong 2009, Brit Insurance Design of the Year
2009, Product Design Category, Design Museum-London UK 2009, Design Plus
Award, Ambiente Frankfurt, Germany 2009 menjadikan Radio Magno sebagai worldwide icon for modern ecodesign. Kini Radio Magno sudah membanjiri pasar Amerika Serikat, Jepang, Eropa, Hongkong, Cina, Australia dan Brazil.
“Ketika
penyeragaman terjadi, lokal dan orisinal akan mengalahkan barang yang
diproduksi secara masal. Banyak kesempatan untuk jadi lokal brand yang
mendunia. Yang diperlukan talent, pengetahuan, kemauan dan terutama keberanian buat memulai.” ujarnya.
Produknya
yang unik dan berkualitas tinggi serta kesadaran masyarakat dunia akan
lingkungan mendapatkan momentumnya, jadilah Radio Magno mendapat tempat
di hati masyarakat dunia. Daya beli serta kesadaran lingkungan yang
lebih baik membuat Singgih sejak awal mengincar pasar luar negeri.
Singgih punya prinsip dasar dalam menggunakan kayu untuk produksi Radio
Magno, less wood more works. Kayu
yang digunakan oleh satu orang perajin dalam setahun hanya menebang
beberapa pohon saja, sedangkan ribuan bibit gratis diberikan pada
masyarakat sebagai bentuk pelestarian alam. Uniknya pembibitan sengon,
mahoni, sonokeling dan pinus lebih banyak memakan lahan di pabrik
Piranti Works dibandingkan tempat workshop membuat Radio Magno.
Idealisme Kedesaan Solusi Permasalahan Negeri
Satu hal yang spesial dari Singgih adalah dia melakukan semua aktivitas kreatifnya berbasis pedesaan. Menurutnya solusi dari berbagai permasalahan bangsa ini harus dimulai dari desa.
”Industri
kreatif bisa masuk ke desa-desa. Karena tiap desa punya keunikan namun
belum terpakai. Yang terjadi ketidakseimbangan antara kota dan desa
serta ketidaktepatan mempercepat pembangunan di Indonesia. Fondasi desa
yang harusnya kuat dan kota jadi titik temu. Kalau desanya makmur, apa
mau warganya pindah ke kota?” ujarnya retoris.
Percepatan
pembangunan dari desa bukan sekedar wacana bagi Singgih. Dia
menyelenggarakan Konferensi Internasional Revitalisasi Pedesaan (The 1st International Conference on Village Revitalization)
pada 16-21 Maret 2014 lalu. Berbeda dengan konferensi lainnya, Singgih
mengambil tempat daerah Papringan yang penuh dengan pohon bambu sebagai
lokasi konferensi. Padahal Papringan yang berada di tengah Desa Kelingan
itu cukup sulit akses transportasinya hingga Singgih harus mengeluarkan
kocek pribadinya untuk membangun jalan. Tapi hal itu tak menghalangi
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Marie Elka Pangestu serta
peserta dari Jepang, Hongkong, Thailand dan Singapura untuk datang.
Singgih juga menggandeng International Conference of Design for Sustainability (ICDS) Jepang untuk menggelar konferensi yang bertema It’s time Back to Village ini.
Selama
konferensi berlangsung, para peserta menggunakan sepeda bambu “Spedagi”
sebagai transportasi lokal. Spedagi sendiri akronim dari ‘sepeda-pagi’
sebuah aktivitas bersepeda dengan track pedesaan di wilayah Desa
Kandangan dan desa-desa sekitarnya. Spedagi menggunakan sepeda bambu dan
track pedesaan untuk menarik external resources agar datang
dan tinggal bersama warga desa melakukan proyek-proyek revitalisasi
desa. Spedagi digagas oleh Singgih juga merupakan aktivitas CSR dari
Piranti Works.
Menurut
Singgih, orang pintar jangan cuma terkonsentrasi di kota dan
bidang-bidang tertentu saja. Mereka dibutuhkan oleh desa. Ada banyak
permasalahan di desa yang membutuhkan pemikir-pemikir untuk
menyelesaikannya. Di level fungsional seperti pengrajin misalnya, harus
ada orang-orang yang baik, kompetitif dan punya integritas. Dibutuhkan
kolaborasi antara pemerintah, pemda dan kampus untuk menyelesaikan
permasalahan di desa.
Siapa Orang Kreatif Itu?
Ada ucapan menarik dari Singgih ketika dia mendefinisikan siapa itu orang kreatif dan bagaimana anak muda menjadi kreatif.
“Orang
kreatif adalah orang yang membebaskan diri dari inferioritas. Dia
berani mengolah sesuatu yang identik dengan diri, lingkungan dan latar
belakangnya. Itu yang bisa menjadikan anak muda kreatif. Penting bagi
anak muda bisa melihat potensi masa depannya.” tegasnya.
Lalu
apa yang membuat Singgih bisa sukses melewati semua hambatan dalam
mengembangkan Piranti Works, melakukan aktivitas kreatif berbasis
pedesaan dan berkarya dengan medium kayu, bambu serta tetap menjaga
kelestarian alam?
“Idealisme. Penting bagi seseorang punya idealisme. Sesuatu yang dia percayai yang membuatnya teguh dan jadi guidance melakukan aktivitasnya.”
Ya,
idealisme bukan sekedar kata atau ide pepesan kosong, Sobat. Singgih
Susilo Kartono membuktikannya. Indonesia membutuhkan pemuda-pemuda
kreatif untuk menyelesaikan permasalahan bangsa ini.
***Sumber: http://annida-online.com/artikel-9265-singgih-s-kartono-from-local-hero-to-worldwide-icon.html