Sabtu, 25 Januari 2014

Bahasa Inggris Hancur, Lulus Cumlaude di Amerika


Rhenald Kasali
DUNIA akademik senantiasa penuh dengan mitos-mitos. Banyak yang menganggap bahwa untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, maka kemampuan bahasa Inggris adalah yang paling utama dan segala-galanya. 

Tapi tahukah anda bahwa Prof Rhenald Kasali, seorang pakar manajemen terkemuka, berangkat kuliah ke Amerika Serikat (AS) dengan bahasa Inggris pas-pasan? Tahukah anda bahwa Prof Yohannes Surya juga berangkat ke Amerika dengan kondisi bahasa Inggris yang juga hancur-hancuran? 


Beberapa waktu silam, di acara KickAndy, Rhenald Kasali, yang mendapatkan master dan PhD di Amerika Serikat, berterus-terang kalau dirinya tak bisa bahasa Inggris saat lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Ia sempat memaksa diri untuk belajar bahasa Inggris di tanah air selama beberapa bulan. Ternyata, ia masih saja kesulitan berbahasa. Akhirnya ia nekad untuk berangkat ke Amerika dan mencari program
belajar bahasa selama tiga bulan.

Lain lagi dengan Yohannes Surya. Pakar fisika, yang sukses mengorbitkan siswa-siswa cerdas Indonesia hingga meraih 75 medali emas olimpiade fisika ini, hanya memiliki Toefl 415 saat mengajukan beasiswa ke Amerika Serikat. Memang, ia telah mendapatkan rekomendasi dari seorang professor fisika yang pernah ke Indonesia, tapi dirinya tak bisa ngomong dalam bahasa Inggris. Masalah paling besar muncul karena ia diwajibkan untuk mengajar mahasiswa di program sarjana di kampus Amerika.

Prof. Yohannes Surya

Kisah keduanya adalah kisah yang menarik untuk ditelaah. Saya sering bertemu banyak orang hebat dan cerdas, namun sama sekali tak ada keinginan untuk kuliah di luar negeri. Padahal, dengan kecerdasan seperti itu, ia bisa bersinar di negeri orang. Saat saya tanyai, maka jawabannya selalu pada kemampuan bahasa Inggris. Ternyata, banyak
yang tidak mau menjajal kemampuan untuk ikut seleksi beasiswa karena semata-mata minder dengan kemampuan bahasa Inggris.

Pertanyaannya, apakah bahasa Inggris adalah faktor paling utama untuk lulus beasiswa? Lantas, ketika bahasa Inggris kita pas-pasan, apakah kita tidak punya kesempatan untuk belajar di satu kampus bergengsi di luar negeri?

Nah, inilah yang saya sebut sebagai mitos-mitos dalam dunia pendidikan. Sewaktu kecil, saya sering mendengar mitos tentang sulitnya belajar matematika. Saat belajar di sekolah
menengah, saya kembali mendengar mitos tentang sulitnya bahasa Inggris. Mitos ini membuat banyak mahasiswa hebat takut mencoba berbagai kesempatan untuk melanjutkan studi di luar negeri. Banyak pula yang merasa bakal tidak mendapatkan lapangan kerja yang memadai.

Tapi benarkah bahasa Inggris adalah segala-galanya? Tunggu dulu. Sebagaimana Rhenald dan Yohannes, bahasa inggris saya terbilang pas-pasan. Malah bisa dikatakan hancur. Saya alumni sekolah dasar dan menengah di Pulau Buton, yang infrastruktur sekolahnya bisa dibilang tertinggal jika dibandingkan dengan mereka yang belajar di kota besar. Saya tak mengenal istilah kursus-kursus bahasa di masa kecil. Jangankan plesiran ke luar negeri, meninggalkan pulau kecil saja amat jarang saya lakukan.

Sebagaimana Rhenald dan Yohannes, saya tidak ingin terjebak pada pandangan yang melihat bahasa Inggris adalah segala-galanya. Dugaan saya, pandangan ini sengaja dihembuskan oleh pihak kursus atau program studi bahasa Inggris agar dagangannya laku keras. Maka saya lalu memberanikan diri untuk mengikuti seleksi beasiswa di Ford Foundation.
Beasiswa ini tidak mensyaratkan kemampuan berbahasa, melainkan sejauh mana keaktifan atau karya nyata yang pernah dilakukan seorang di masyarakat.

Nama saya masuk dalam 50 orang daftar penerima beasiswa dari seluruh Indonesia. Selama berinteraksi dengan mereka, saya akhirnya berkesimpulan bahwa faktor paling penting dari setiap seleksi beasiswa bukanlah bahasa Inggris. Yang paling penting adalah gagasan serta keunikan yang dimiliki seseorang. Dalam semua proses seleksi beasiswa, anda harus bisa meyakinkan para juri bahwa anda adalah pribadi yang unik, punya orisinalitas, punya gagasan yang beda dengan orang lain, serta memiliki keunggulan yang tak boleh dilewatkan. Namun, saya sangat menggarisbawahi pentingnya gagasan serta keunikan.
Ohio University at Athens, USA
 Dengan kemampuan bahasa yang pas-pasan, saya lalu belajar di kampus Ohio University di Amerika Serikat (AS). Saya merasakan sendiri bagaimana menjalani kuliah dengan kemampuan bahasa Inggris yang pas-pasan. Namun, publik Amerika dan mahasiswa international, tak pernah sedikitpun meremehkan atau mentertawakan kemampuan saya. Ini sangat beda dengan belajar bahasa Inggris di Indonesia, yang belum apa-apa sudah
ditertawakan atau diremehkan. Di luar negeri, semesta di sekitar kita menjadi unsur yang membantu kita untuk melejitkan kemampuan bahasa.

Sebagaimana Rhenald dan Yohannes, saya meyakini bahwa kemampuan bahasa Inggris bukanlah segala-galanya. Banyak yang ke Amerika dengan bahasa Inggris hebat, khususnya dari golongan kaya di Indonesia, yang prestasinya biasa saja. Nilainya pas-pasan, padahal kemampuan bahasa Inggrisnya mendekati mahasiswa asing, sebab boleh jadi, sang mahasiswa lahir dan besar di luar negeri. Mengapa demikian? Sebab mereka hanya menekankan kemampuan bahasa, tanpa menghadirkan keunikan, orisinalitas, pengalaman, serta gagasan yang berbeda dan menggerakkan. 

Logikanya, meskipun anda jago ngomong bahasa Inggris, tapi jika anda tak tahu hendak mengomongkan apa, maka itu sama saja dengan nol. Sementara di saat bersamaan, ada yang tak lancar bahasa Inggris, tapi saat itu mencoba menyampaikan sesuatu gagasan yang substansial dan bernas, yang  bersumber dari pengalaman serta refleksi yang kuat, maka pastilah sosok ini yang mendapatkan apresiasi. 

Artinya, bahasa Inggris hanyalah alat untuk menyampaikan ide, sesuatu yang amat penting dan lahir dari kontemplasi dan interpretasi atas kenyataan. Bahasa hanyalah jalan tol agar kendaraan gagasan bisa meluncur di lalu-lintas ide. Sebagai alat, bahasa bukanlah segala-galanya. Yang paling penting adalah gagasan serta keberanian untuk menyampaikannya, yang meskipun dalam kondisi yang terbata-bata, namun tetap tidak kehilangan substansinya.

Buat saya, pandangan yang menilai bahasa segala-galanya adalah pandangan yang amat picik. Di sini, saya banyak melihat mahasiswa Cina dan Afrika yang datang dengan kemampuan bahasa yang pas-pasan, namun tak berhenti untuk mencoba sehingga akhirnya sukses. 

Pengalaman ini memberikan pelajaran bahwa di luar aspek bahasa, terdapat aspek yang lebih penting yakni ide atau gagasan, serta kemampuan bertahan atau daya-daya survival dalam menghadapi dan memecahkan semua persoalan.Tanpa kemampuan itu, kemampuan bahasa jadi tak ada apa-apanya. Malah, kalaupun dipaksakan ngomong, yang muncul adalah bualan atau omong besar yang tidak didasari penalaran yang jernih.

Setelah setahun belajar dengan kemampuan bahasa yang masih pas-pasan, saya masih bisa bernapas lega. Setidak-tidaknya, saya masih bisa survive di sini. Tanpa bermaksud
menyombongkan diri, saya bisa mendapatkan nilai terbaik di setiap kelas yang saya ambil. 

Satu hal paling penting adalah buka mata dan buka telinga untuk selalu belajar dari apapun di sekitar. Jangan mau terjebak mitos tentang bahasa Inggris. Ciptakan mitos baru bahwa bahasa Inggris itu bukanlah segala-galanya. Jangan minder dengan kemampuan bahasa. Jajal semua seleksi beasiswa. Toh, bahasa Inggris akan mudah dipelajari sambil belajar hal lainnya. Kita mesti belajar pada Yohannes Surya yang bahasa Inggris-nya
pas-pasan, namun bisa lulus cumlaude di Amerika.

Athens, 17 Agustus 2012

Diposting Ulang oleh blog Hot Motivasi dari www.timur-angin.com
Baca SelengkapnyaBahasa Inggris Hancur, Lulus Cumlaude di Amerika

Rabu, 15 Januari 2014

Bocah Belum Genap 10 Tahun, Punya Perusahaan Sendiri Dan Penghasilan 2 Juta

Wahhh... jangan mau kalah sama dua bocah ajaib ini ya, Sob. Yuk mulai mandiri sejak dini. ^__^

Ini bukan tentang anak gadis keturunan keluarga kaya yang diwarisi usaha oleh orang tua atau kakek mereka. Namun mereka adalah Elizabeth dan Rebecca Appleyard. Keduanya belum genap 10 tahun namun sudah menjadi enterpreneur termuda di Inggris.

Mereka juga sudah punya perusahaan sendiri dengan ide penjualan sederhana, jualan permen dan mainan untuk anak kecil. Mereka membungkusnya secara cute dan menjualnya secara online. Perusahaan merekaada di rumah mereka sendiri.

Dalam dua minggu saja, mereka bisa meraup £120 atau sekitar Rp 2 juta. Ini bukan hal yang biasa mengingat mereka belum genap 10 tahun dan masih dalam usia sekolah. Selain itu Elizabeth dan Rebecca ternyata punya tujuan mulia dengan penjualan permen itu.

Selain melatih kemandirian dengan mencari uang sendiri, mereka mengatakan bahwa uang itu ingin digunakannya untuk masuk kuliah nanti. Sang ibu menceritakan tentang cita-cita kedua anaknya, "Mereka ingin menjadi ilmuwan dan insinyur, tapi tahu kalau mereka butuh menabung banyak uang untuk bisa masuk ke sana."

Elizabeth dan Rebecca yang cute dan semanis permen yang mereka jual itu berdiskusi dengan orang tuanya dan mereka berinisiatif menjual mainan dan permen-permen. Sederhana sih, namun ternyata kedua gadis kecil ini sudah bisa berpikir bagaimana akan menjual dan berapa keuntungan yang akan didapatkan.

Mereka tak hanya bermain 'jual-jualan' seperti yang dilakukan anak seumurannya. Elizabeth dan Becca benar-benar menjual dan mendapatkan penghasilan luar biasa. Mungkin sekali mereka akan dilirik perusahaan tertentu di masa mendatang karena kemampuan bisnis yang mengesankan di usia muda.

Meski begitu, Elizabeth dan Becca tetap fun dalam menjalankan bisnis kecil yang dirintisnya dan konsisten untuk menabung uang yang mereka hasilkan. Aduh, menggemaskan sekali ya masih kecil sudah bisa belajar menabung dan menghasilkan uang sendiri.

Diposting ulang oleh Blog Hot motivasi dari vemale.com
Baca SelengkapnyaBocah Belum Genap 10 Tahun, Punya Perusahaan Sendiri Dan Penghasilan 2 Juta

Selasa, 14 Januari 2014

Alfath, Bocah Idiot yang Hafal Al-Quran

Kisah seorang anak ini bisa jadi inspirasi untuk kita. Suatu ketika, ketika si anak masih dalam kandungan ibunya, si anak diperiksakan kondisinya ke dokter. Ternyata, di otak kecil si anak, terdapat tumor. Si anak yang masih belum keluar dari rahim ibunya ini, sudah divonis ini-itu oleh dokter.

 Kurang lebih, dokter mengatakan bahwa si anak akan menjadi bocah idiot, yang tidak berguna, malah justru menyusahkan orang tuanya sepanjang hayatnya. Bahkan, parahnya lagi, dokter menawarkan satu jalan pintas: aborsi.

Namun, di saat-saat seperti itu, apakah si ibu menerima saja opsi yang ditawarkan dokter itu; mengingat kondisi si anak – menurut dokter – tidak baik bila sampai lahir? Ternyata, orang tua si jabang bayi mengambil keputusan yang cukup mencengangkan, yaitu tetap melanjutkan kehamilan hingga lahirnya.

Dan alhamdulillah, si anak lahir, dan sejak itu, orang tuanya merawat dengan penuh kesabaran. Bahkan, sang ibu sampai harus pensiun dini dari kerjanya demi mengasuh anaknya itu.
Orang tuanya telah mendidik, merawat, dan mengajarkan banyak hal. Mulai dari berbicara, membaca cerita, hingga membaca Al-Qur’an.

Singkat cerita, di ulang tahun si anak yang ke-13, ia menyelesaikan hafalan Al-Qurannya. Apa yang menjadi motif si anak menyelesaikan hafalan Al-Qurannya? “Aku ingin memberi sebuah kebahagiaan besar untuk orang tuaku”, ujarnya.

Si anak yang dulu divonis ini-itu oleh dokter, kini sudah meraih banyak prestasi di bidang Al-Qur’an, baik nasional maupun internasional. Bermula dari keyakinan kuat orangtua si anak, bahwa dibalik ujian tersimpan berjuta karunia. Dan akhirnya, Allah lah yang menentukan nasib hamba-Nya, tergantung seberapa besar usaha hamba-Nya untuk mengubah nasibnya, dari yang nelangsa jadi bahagia. Dari yang sengsara jadi gembira. Dari pecundang menjadi pemenang. Dari tak bernilai menjadi tak ternilai. Benarlah firman Allah:

إن الله ﻻ يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada dalam suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri” (QS 13: 11).

Apa hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari kisah nyata di atas? Banyak, di antaranya ketabahan dan kesabaran seorang ibu yang luar biasa, meski jabang bayinya sudah divonis idiot oleh dokter, ia tidak putus asa untuk tetap merawat dan mendidiknya hingga dewasa, hingga akhirnya berbuah manis, akhirnya bocah idiot tadi tumbuh menjadi anak yang cerdas bahkan telah menghafalkan Al-Qur’an secara sempurna di umur 13 tahun (umurnya kini 17 tahun). Hebatnya lagi ia telah memenangkan kejuaraan menghafal Al-Qur’an beserta tafsirnya dalam bahasa Arab di tingkat nasional dan internasional.

Inilah buah dari ketabahan, kesabaran dan usaha maksimal. Allah itu Maha Adil dan Maha Bijaksana. Jadi, jangan menyerah dan jangan pernah putus asa, sebelum bergerak maju. Doa, usaha, tawakkal! Semangat!
 
Mari Sebarkan ke teman teman anda agar bermanfaat!

*Diposting ulang oleh Blog Hot Motivasi dari Sumber dakwatuna
Baca SelengkapnyaAlfath, Bocah Idiot yang Hafal Al-Quran

Jumat, 10 Januari 2014

Fifi Rohmatin Nikmah: “Anak penjual jagung bakarpun bisa kuliah kedokteran"

Fabiayyi’ alaai rabbikuma tukadzibann untaian kalimat suci tersebut yang selalu terngiang ditelingaku, sebuah sindirian Tuhan terhadap manusia yang selalu lupa akan nikmatNya. Ya nikmat sehat, nikmat hidup bahagia. Walau orang lain memandang saya dari keluarga miskin, tapi saya tidak pernah lupa bersyukur sekecil apapun nikmat itu yang Allah berikan.

Oh ya, perkenalkan nama saya Fifi Rohmatin Nikmah, tinggal di kawasan daerah terpencil di Pati. Didesa purwokerto Kecamatan Pati lulusan di Madrasah Miftahul Huda. Terlahir dari keluarga yang serba kekurangan membuatku tidak pernah berputus asa untuk selalu berusaha lebih baik. Ayahku pekerjaannya serabutan,dengan penghasilan tak menentu, tiap sore menjual jagung bakar.  Ketika musim-musim tertentu seperti musim panen padi dan musim kecang hijau, sisa-sisa panen berupa jerami/ daduk (batang pohon kacang hijau) bapak jual untuk pakan ternak. Mengumpulkan sedikit demi sedikit uang untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Jangankan untuk kuliah, untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari keluarga saja, kami masih kurang.

Sepulang sekolah, aku membantu orangtua jualan jagung,  pakan ternak di pinggir jalan. Waktu belajar pagi jam 03.00 setelah solat tahajud setiap hari. Malam harinya aku ngelesi anak-anak kelas 5 Madratsah Ibtidaiyah (setingkat SD). Uang saku saat masih sekolah bervariasi,  biasanya Rp 3000 kadang Rp 5000 yang Rp 2000 untuk naik bus PP dan sisanya untuk jajan. Namun aku biasa menyisihkan uang jajanku untuk membeli keperluan sekolah (buku dan LKS). Melihat kondisi keluargaku demikian, maka siapa lagi yang akan merubah kondisi keluargaku jika tidak aku sendiri?. Allah tidak buta. Allah Maha Melihat, dan Dia akan menjawab doa hambaNya yang selalu berusaha.

Awal aku bisa jadi mahasiswa kedokteran seperti saat ini saat iseng-iseng mengikuti PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi) dari Kementerian Agama. Semua biaya pendidikan benar-benar gratis ditanggung oleh KEMENNAG mulai dari awal masuk sampai lulus. Tidak ada bayangan sebelumnya kalau aku bakal kuliah di kedokteran. Berbagai program beasiswa untuk menembus kuliah “gratis” sudah aku ikuti, tetapi tidak ada yang lolos. 

Bulan Januari ada beasiswa dari PBSB kemenag untuk jurusan kedokteran. Untuk mengikuti seleksi PBSB tersebut, aku sempat mengalami kesulitan dalam memperoleh izin dari orang tuaku. Kedua orang tuaku keberatan jika aku mengikuti seleksi PBSB tersebut karena alasan biaya. .Hal ini yang menjadikan ortuku merasa keberatan jika aku harus mengikuti seleksi terlebih jika sampai ia diterima beasiswa kedokteran.

Karena pengertian dari pihak sekolah, akhirnya ortuku mengizinkan mengikuti tes seleksi PBSB. Nasib baik memang berpihak padaku. Setelah pengumuman hasil seleksi PBSB aku dinyatakan lolos seleksi dan mendapatkan beasiswa kedokteran di Universitas Islam Malang (UNISMA). Dapat beasiswa, malah bikin bingung keluargaku. Bagi sebagian besar orang, memang suatu kebanggaan mendapatkan beasiswa tersebut tetapi bagi aku dan keluargaku ini merupakan hal yang sangat membingungkan. Bingung menentukan pilihan untuk mengambil beasiswa tersebut atau mengundurkan diri. Ibarat ikan sdh di tangan tapi hampir dilepaskan begitu saja.

Orang tuaku tetap merasa keberatan untuk biaya kuliah di kedokteran sekalipun mendapatkan beasiswa. Ditambah lagi perkataan dari tetangga yang seolah meremehkan kemampuan keluargaku tidak akan sanggup menguliahkan anaknya di kedokteran, membuat orangtuaku semakin yakin untuk menyuruh aku mengundurkan diri dari beasiswa tersebut. Karena tekanan dari orang luar dan rasa tidak tega, aku melihat kondisi orangtuaku,  sehari sebelum pemberkasan aku bertekad untuk mengundurkan diri dari beasiswa kedokteran.

Aku menemui pihak sekolah dan menyatakan mengundurkan diri dari beasiswa tersebut. Pihak sekolah tidak puas dengan alasanku dan akhirnya mendatangi rumah orangtuaku untuk mengkonfirmasi alasan yang sebenarnya. Alasan orangtuaku tetap oleh hal yang sama yaitu keberatan di ongkos. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk transport ke Malang saja ortuku tidak ada. Disamping itu, sangat khawatir jika suatu saat dana dari beasiswa pencairannya tidak tepat waktu sehingga mengganggu kuliahku. Berdasarkan alasan tersebut, kemudian pihak sekolah berusaha meyakinkan orangtuaku. Pihak sekolah datang ke rumahku dengan salah seorang kyai yang disegani dikampungku untuk menyakinkan keluargaku agar kesempatan beasiswa tersebut tidak disia-siakan.

Akhirnya ortuku mengizinkan, syukur Alhamdulillah pihak sekolah mendukungku dengan meminjamkan uang sebesar satu juta untuk digunakan sebagai biaya transportasi dan biaya hidup selama matrikulasi. Rela tak tidur demi meminjam laptop. Sebelum tahun ajaran baru, calon mahasiswa PBSB harus mengikuti matrikulasi selama 6 bulan. Waktu matrikulasi senin-jumat jam 09.00-15.00. Setiap mata materi kuliah selesai selalu ada tugas.

Aku mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas karena tidak punya laptop, jadi aku sering jarang tidur karena harus menunggu  teman lain yang punya laptop apabila mereka telah selesai mengerjakan tugas untuk di pinjam laptopnya. Kondisi seperti ini sering aku lalui. Jatah dari kemenag per bulan 700rb, untuk saat ini masih bisa disisakan 300rb tiap bulan .

Dari waktu ke waktu aku berusaha menyisihkan uang beasiswaku sedikit demi sedikit. Alhamdulillah sekarang sudah bisa beli netbook second harga 2,2 jt. Uang tersebut aku dapatkan dengan mengumpulkan sebagian jatah beasiswa tiap bulan ditambah uang pinjaman dari pihak sekolah 1 jt terkumpul 2 jt, sedangkan 200rb dipinjami teman.

Jatah makan dari asrama pagi dan malam. Selama matrikulasi sempat sakit dan periksa ke rumah sakit yang tentunya menambah pengeluaran. Biaya kuliah sangat bergantung dari beasiswa. Alat komunikasi pun (HP) yang aku punya pinjam dari teman, terkadang jika aku mau telepon atau sms meminjam HP teman. Tapi aku tetap bersyukur karena Allah. Nikmat Allah itu maha luas.

Bagiku cerita ini hanyalah untaian goresan tinta yang tidak ada apa-apanya apabila dibandingkan dengan para pencari ilmu dahulu seperti para ulama besar yang jauh lebih memprihatinkan lagi, misal Syeikh Abdul Qadir Jailani pernah ditimpa kelaparan dan hampir mati karena kehabisan bekal dalam menuntut ilmu. Dia pun pernah pergi ke padang rumput dan mencari pucuk-puuk daun tumbuhan untuk dimakan demi menyembuhkan rasa laparnya. 

 Siapa yang tidak kenal Imam Bukhari? Dalam mempelajari hadits, ia memiliki guru lebih dari 1000 syeikh. Ia melakukan perjalanan yang panjang. Buah dari ketekunannya, ia berhasil mengumpulkan lebih dari 10.000 hadits. Dengan menulis cerita hidupku ini semoga saya tidak menjadikan sombong dan semoga bisa memberi inspirasi dan motivasi bagi teman-teman semua. Amienn.
Baca SelengkapnyaFifi Rohmatin Nikmah: “Anak penjual jagung bakarpun bisa kuliah kedokteran"

Arif Habibal Umam: “Ke Jerman setelah 13 kali Ikut seleksi dan Gagal”


Di penghujung tahun 2010, Saat itu aku masih menjadi seorang pemburu beasiswa yang galau.  Aku dibuat iri oleh seorang senior di Fakultas Biologi UGM yang sedang melanjutkan studinya di Arab Saudi dan berfoto-foto di depan Masjidil Haram, lalu mereka – mereka yang pernah merasakan putih dan dinginnya salju, melihat keindahan arsitektur Eropa, atau berfoto-foto di depan gedung opera Sydney, di bawah menara Eiffel dan beragam landmark lainnya. Atau sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehku sendiri, berbicara bahasa asing dengan penutur asal di negerinya.

Aku semakin tekun mencari informasi mengenai tawaran beasiswa dari berbagai lembaga internasional, nasional ataupun lokal. Setidaknya aku pernah menderita 12 kali kegagalan sebelum akhirnya aku dapat memenuhi janjiku pada diri sendiri untuk berbagi pengalaman di sini.

Baiklah teman, beasiswa pertama yang aku apply di tahun 2010 adalah beasiswa dari King Abdul Aziz University (KAUST). KAUST sebenarnya merupakan sebuah universitas baru di Arab Saudi. Aku mungkin angkatan ke tiga (ini kalau tidak keliru) seandainya diterima di kampus KAUST tahun itu. Jurusan yang aku apply yaitu marine engineering. Tapi sayang sekali, ketika pengumuman, aku hanya diberi jatah dalam daftar tunggu atau waiting list, ~begitulah kira-kira judul email dari pihak panitia yang masuk ke emailku~. Jadi aku hanya memiliki kesempatan masuk ke daftar utama program tersebut seandainya ada kandidat yang telah lulus tapi mengundurkan diri. Aku mengganggap peluangku hanya 50 persen. Jadi, aku sudah menganggap ini kegagalan pertamaku. 

Aku sadar, kesalahanku karena tidak melengkapi persyaratan Bahasa Inggris sesuai yang diminta, aku bahkan tidak menyerahkan sertifikat TOEFL hingga batas waktu yang ditetapkan. Di sini, aku telah bernegosiasi dengan penyedia beasiswa untuk pertama kali.

Sebenarnya pada saat yang bersamaan, aku juga mendaftar beasiswa bergengsi Uni Eropa, Erasmus Mundus. Para pelamar boleh mendaftar maksimal 3 program untuk action 2 dan 1 program untuk action 1. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku mendaftar sampai batas maksimal, 4 program sekaligus. Beruntungnya lagi, kebanyakan beasiswa Erasmus Mundus diperuntukkan untuk bidang life sciences seperti biologi dan ekologi, sesuai latar belakang keilmuanku. Untuk action 1, aku mendaftar program yang bernama MAHEVA (ilmu lingkungan), sementara untuk action 2 aku mendaftar program EMAE (ekologi terapan), MIND (ekologi industri), dan MESPOM (ilmu lingkungan).

Satu hal yang perlu diperhatikan saat mendaftar Erasmus Mundus, jangan pernah mendaftar programnya melebihi jatah yang diizinkan, jika tidak ingin aplikasi beasiswa ditolak mentah-mentah oleh konsorsium. Selain itu persaingan memperebutkan beasiswa Erasmus Mundus untuk program-program yang ditawarkan di action 1 dan action 2 berbeda. Action 1 hanya diperuntukkan bagi mahasiswa atau alumni dari universitas negara berkembang yang memiliki kerja sama dengan universitas di Eropa. Sedangkan action 2 memiliki jangkauan yang lebih luas, karena diperuntukkan bagi seluruh lulusan negara ke tiga yang tidak terbatas pada ada tidaknya ikatan kerjasama.

Ketika itu, program MAHEVA – action 1 lebih cepat mengeluarkan pengumumannya. Sayang sekali, aku mendapat surat penolakan dari konsorsium. Tidak ada penjelasan mengapa aplikasiku di tolak. Selanjutnya konsorsium MESPOM juga menolak aplikasiku mentah-mentah. Sedangkan untuk program MIND, aku lulus seleksi berkas tahap 1, namun aku gagal ketika di tahap selanjutnya yaitu penilaian dokumen seperti motivation letter dan reference letter. 

Sedangkan untuk program EMAE, pengumuman dikeluarkan sekitar bulan maret 2011. Aku hanya diberitahu konsorsium bahwa aku mendapatkan kursi di tempat ini, namun tidak mendapatkan beasiswa. dengan kata lain aku hanya mendapatkan letter of acceptance (LoA). Tetapi pembiayaannya harus dilakukan sendiri. Apabila dikonversi ke rupiah, jumlah beasiswa yang ditawarkan mencapai 700 juta rupiah, sehingga mustahil aku menyediakan dana sebesar itu. Aku menganggap ini adalah kegagalan ke dua, ketiga, keempat, sekaligus ke limaku dalam urusan beasiswa.

Bagi seseorang yang memiliki kehidupan mulus seperti yang akupunya, kegagalan seperti itu sangat setia membuatku semakin penasaran untuk kembali berjuang merebut beasiswa. Lalu, di awal 2011 aku juga mendaftar beasiswa Panasonic Indonesia ke Jepang, beasiswa ini digadang- gadang sebagai beasiswa prestisius karena berjumlah besar dan hanya diperuntukkan untuk 3 orang Indonesia setiap tahun. Layaknya kuis berhadiah atau lomba-lomba, ada tiga tahapan utama yang harus dilewati untuk memenangi beasiswa ini, yaitu seleksi berkas tahap 1 atau penyisihan yang berupa formulir pendaftaran, lalu seleksi berkas tahap dua atau semifinal, dokumen yang dinilai contohnya surat rekomendasi, motivasi dan IPK. Dan yang terakhir adalah tahap tiga atau final, proses seleksi yang dilakukan pada tahap ini seperti FGD, dan wawancara.

Pengumuman tahap awal dikirimkan via email. Aku berhasil masuk ke semifinal bersama seorang teman dari biologi UGM. Namun sayangnya aku tidak melanjutkan proses aplikasi Beasiswa Panasonic. Pengumuman beasiswa ini bertepatan dengan kejadian tsunami dan kegagalan reaktor nuklir di Fukushima, Jepang, pada maret 2011 lalu. Aku sudah cukup merasakan tsunami tahun 2004 serta segala kesulitan-kesulitannya di kampung halamanku, Meulaboh. Karenanya, aku sudah tidak berniat melanjutkan aplikasi Beasiswa Panasonic. Ini adalah kegagalan ke enamku dalam waktu yang sangat berdekatan. Tapi teman, aku seseorang paling idealis untuk urusan mimpi yang telah aku cipta. Karena itu, aku belum patah arang untuk terus mencoba berbagai beasiswa lain. Cita-citaku sederhana saja, aku mau bermain-main salju, aku ingin segera kuliah di luar negeri.

Tahun pertama setelah lulus S1 aku dedikasikan untuk melakukan “trial and error” pendaftaran beasiswa. Sangat beruntung jika bisa langsung diterima, namun jika gagal, aku tidak merasa telah buang-buang waktu, karena aku bisa memperbaiki aplikasi untuk periode selanjutnya. Setelah itu, aku mendapat informasi dari seorang teman kampus bahwa pemerintah Perancis membuka penerimaan beasiswa untuk studi ke negara Bonaparte itu, nama beasiswanya BGF, lengkapnya Bourse de Gouvernement de France. Aku tak ketinggalan mencoba peruntungan di beasiswa ini.

Sejauh ini, BGF adalah beasiswa yang tidak bertele-tele. Hanya ada dua tahapan seleksi, seleksi pertama adalah penilaian berkas layaknya beasiswa lainnya. Yang membedakan hanyalah dokumen yang harus diupload, seperti fomulir pendaftaran yang hanya berjumlah 2 lembar ~sangat efisien dibandingkan formulir beasiswa lain yang terkadang mencapai belasan, bahkan puluhan halaman~, lalu tidak pula diminta sertifikat bahasa asing seperi TOEFL dan IELTS. Walaupun pelamar harus mencantumkan perolehan nilai Bahasa Inggris di kolom formulir pendaftaran, dan sedikit essay rencana studi atau penelitian di Perancis. Tahap terakhir beasiswa BGF adalah wawancara di Jakarta. 

Aku berhasil dipanggil interview BGF bersama 30 peserta lainnya pada April 2011, mereka berasal dari berbagai latar keilmuan. Kebanyakan peserta memilih master degree sedangkan sisanya mendaftar untuk program doktor. Ini merupakan kali pertama wawancara berbahasa Inggris yang telah aku ikuti. Sejauh ini aku belum pernah punya pengalaman diwawancara dengan bahasa asing, aku merasa gugup tapi aku paksakan rileks dan berusaha mempersiapkan sebaik mungkin. Setelah aku selidiki, ternyata keunggulan aplikasiku terletak pada LoA dari salah satu kampus prancis yang telah aku punya sehingga bisa dipanggil wawancara. LoA yang telah aku peroleh dari Poitiers, sebagai salah satu konsorsium EMAE di beasiswa Erasmus Mundus aku pakai untuk mendaftar BGF.

Pada saat wawancara, aku bernegosiasi dengan para pewawancara, bagaimana jika aku tetap mendaftar Erasmus Mundus dengan program yang harus diselesaikan tidak hanya di Perancis, tetapi juga di Portugal, Inggris atau Jerman, tetapi pendanaannya disediakan oleh BGF. Aku masih mengingat jelas bagaimana seorang interviewer melakukan hitung-hitungan terhadap jumlah dana yang dibutuhkan untuk program EMAE tersebut, angka yang menurut mereka cukup fantastis. Kesimpulan akhirnya biaya untuk program itu terlalu tinggi. 

Aku bahkan memberikan solusi lain, bagaimana jika biaya tersebut hanya ditanggung setengahnya oleh BGF sedangkan sisanya dari pihak ketiga. Interviewer kembali sibuk dengan angka-angka. Tetap saja dianggap mahal. Pertanyaan wawancara untuk beasiswa BGF bisa kupastikan adalah pertanyaan-pertanyaan standar menyangkut aplikasi beasiswa, sama seperti proses interview kebanyakan beasiswa lainnya.

Saat bernegosiasi ini, aku melakukan kesalahan fatal dengan tidak memberikan sebuah pilihan akhir kepada interviewer. Aku sangat terpaku dan terlena pada satu program yaitu EMAE, padahal kami sepakat jika program itu membutuhkan biaya mahal. Aku benar-benar lupa mengatakan jika aku juga bersedia jika hanya kuliah di Perancis saja, dengan program yang murni dari BGF. Di sinilah kekeliruan itu berbuah petaka, kegagalan yang tak perlu seandainya aku cermat.

Selesai interview, aku di persilahkan menunggu hasil seleksi yang akan dikirimkan ke email masing-masing. Pengumuman BGF pun tiba. Sebuah email dari panitia seleksi telah kubaca. Dengan sangat menyesal aplikasi BGF ku ditolak. Tetapi, mereka sangat sopan dalam memberi keterangan-keterangan mengapa aplikasiku tidak bisa diterima sehingga aku sangat berlapang dada untuk BGF. Salah satu alasan yang disampaikan adalah program master yang ingin aku ikuti berbiaya sangat mahal dan tidak sesuai anggaran BGF. Tidak lupa, mereka menyarankan aku untuk memperdalam Bahasa Perancis lalu mendaftar program master berbahasa Perancis yang lebih murah, kemudian bisa mengikuti BGF tahun depan. Aku kembali gagal untuk ke tujuh kalinya, tapi aku merasa puas dan mendapat satu pengalaman baru. “Trial and error” belum berakhir.

Hanya berselang dua hari setelah interview BGF di jakarta, aku dipanggil mengikuti wawancara dengan DAAD di Banda Aceh. Padahal sebelum BGF, aku baru saja pulang dari Jogjakarta ke Banda Aceh setelah menyelesaikan kursus Bahasa Perancis di sana.

Duit yang aku punya semakin menipis karena dalam waktu seminggu aku harus bolak balik Jogjakarta-Jakarta -Banda Aceh sebanyak dua kali. Tetapi orang tua tetap mendukungku karena beasiswa DAAD adalah peluang aku kembali ke Eropa, kali ini ke Jerman. Aceh menjadi sangat beruntung setelah tsunami. Setahuku hingga kini ada 11 negara yang bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Aceh untuk menyelenggarakan beasiswa bagi putra putri terbaiknya. Salah satunya Jerman melalui lembaga pertukaran akademiknya, yaitu DAAD.

Aku memasukkan lamaran beasiswa yang disebut ASOE ini, atau Aceh Scholarship of Excellence hasil kerjasama pemprov Aceh dengan DAAD. Karena Aku dipanggil wawancara hanya 2 hari setelah proses seleksi BGF berakhir. Pengalaman yang aku dapat saat mengikuti wawancara BGF menjadi sumber kekuatanku mengikuti wawancara DAAD-ASOE. Aku menjadi lebih yakin, percaya diri dan tahu bagaimana tipikal pertanyaan “bule” ketika menguji kandidat penerima beasiswanya. 

Aku diwawancara oleh seorang representatif DAAD, seorang Jerman yang menjadi dosen tamu salah satu universitas ternama di pulau Jawa. Isi interviewnya sebenarnya mirip dengan BGF. namun, latar belakang keilmuaanku di bidang biologi-ekologi benar benar diuji. Misalnya, ada pertanyaan-pertanyan yang menyangkut pengetahuan polusi dan metode sampling. Selebihnya tidak jauh berbeda dengan BGF. Aku berbicara layaknya rekan kerja, tidak lupa aku bernegosiasi dengan LoA-EMAE yang masih aku bawa kemana mana. Termasuk saat wawancara tersebut.

Aku berharap bisa kuliah di CAU-Kiel, Jerman. Salah satu konsorsium EMAE, dengan bantuan beasiswa ASOE ini. Namun jawaban sang interviewer sama saja saat aku mengemis- ngemis di BGF. Jumlah biaya yang dibutuhkan terlalu tinggi. Tapi kali ini aku tidak lupa mengatakan, aku tetap bersedia mengikuti skema normal program DAAD-ASOE yaitu mencari jurusan baru yang lebih murah, serta bersedia mengikuti pelatihan Bahasa Jerman. pengumuman kelulusan masih dua bulan lagi.

Aku mempersiapkan aplikasi beasiswa lainnya. Setelah sebelumnya berkali-kali gagal ke Eropa, aku mencoba mengadu nasib ke selatan. Kali ini pilihanku Australia dengan beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) nya. Beasiswa ADS termasuk beasiswa rumit dan membutuhkan waktu lama hingga pengumuman kelulusan, namun aku berpikir tidak ada salahnya mencoba. Ini masih tahun pertama kelulusanku, aku masih punya jatah untuk melakukan “trial and error”. Setelah mengisi formulir dan mencoba melengkapi semua peryaratannya. Aku mengirim lamaran ADS melalui pos ke kantor ADS di Jakarta. Setelah itu hanya menunggu pengumuman selanjutnya, jika berhasil akan dipanggil ke tahap berikutnya, interview.

Sambil menunggu pengumuman ADS, pada bulan juni 2011 aku mendapat berita gembira karena aku diterima program beasiswa DAAD-ASOE, namun proses masih panjang, aku bersama awardee lainnya masih harus mengikuti pelatihan Bahasa Jerman dari level dasar A1 hingga level mittelstufe (pertengahan) B2 di Goethe Institut, Jakarta. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai level B2 kira-kira 8 bulan jika dilakukan secara intensif, kursus Bahasa Jerman ini dilakukan setiap hari senin hingga jumat sejak pukul 8:00 hingga pukul 12:30. Setiap level, kami harus mengikuti tes untuk mengetahui apakah kami lulus atau tidak dalam tingkat tersebut. Layaknya tes IELTS atau TOEFL IBT, materi yang diuji meliputi kemampuan mendengar, berbicara, dan menulis. Aku belum boleh mengatakan sudah lulus 100 persen beasiswa DAAD – ASOE, karena jika tidak lulus kursus Bahasa Jerman minimal level B1 atau yang disebut zertifikat deutsch, maka beasiswa akan dicabut dan tidak jadi diberangkatkan ke Jerman.

Perilaku orang – orang Jerman yang sistematis dan antisipatif tercermin pada beasiswa ini. Walaupun aku tidak berencana mengambil program master berbahasa Jerman, aku bersama Awardee tetap harus mengikuti pelatihan bahasa sesuai level yang telah ditentukan, sejak November 2011 hingga Juli 2012. Selain itu, walaupun sudah memiliki nilai TOEFL, kami pun masih harus mengikuti tes IELTS. Tujuan pelatihan bahasa yang diadakan selama itu agar kami mudah berkomunikasi dengan warga Jerman saat berada di sana, serta lebih mudah mendaftar kuliah karena kebanyakan kampus Eropa termasuk Jerman meminta IELTS sebagi prasyarat.

Ketika mengikuti pelatihan Bahasa Jerman di Jakarta, aku mendapat informasi mengenai pengumuman ADS. Aplikasiku ditolak. Pengumuman tersebut dikirimkan secara langsung melalui pos ke alamat rumahku di Aceh. Namun sebenarnya panitia seleksi telah menghubungiku via telepon, mereka sebelumnya masih memberiku waktu untuk melengkapi dokumen IELTS yang masih kurang. Ini kegagalan ke delapanku, Teman.

Aku sama sekali tidak menyesal terhadap “trial and eror” yang aku lakukan. Aku mempersiapkan tes IELTS dengan mengikuti kursus terlebih dahulu di Jogjakarta, perjuangan menghadapi beasiswa DAAD ini merupakan proses sulit yang pernah aku ikuti. Terlalu banyak persyaratan yang harus kupenuhi. Termasuk mencari Letter of Acceptance dari Universitas di Jerman. Ketika berada di Jogjakarta awal 2012, kesehatanku malah memburuk karena kelelahan. Aku terserang demam berdarah dan harus di rawat di rumah sakit selama satu minggu. Di sinilah pikiranku kembali kacau, aku benar-benar khawatir beasiswa akan dicabut dan tidak jadi diberangkatkan. Aku mengantisipasi dengan mendaftar kembali beasiswa Erasmus Mundus untuk kedua kalinya. Program yang aku apply saat itu adalah LOTUS (ekologi manusia) untuk action 1 dan 3 program lainnya untuk action 2 yaitu EMAE, MIND dan EMBC (marine biology).

LOTUS dan EMBC merupakan program baru yang aku apply, karena tahun sebelumnya aku belum pernah mendaftar program ini. Berbekal pengetahuan Erasmus Mundus saat pertama kali daftar di tahun 2010, aku lebih mudah menyiapkan aplikasi. Walaupun di tengah DBD yang kuderita. Aku dengan mudah memperbaiki lamaran yang masih tersimpan rapi di laptopku. Aku benar- benar lupa memikirkan kondisi tubuhku yang begitu kelelahan dan sakit akibat DBD. Yang ada dipikiranku, aku harus segera bermain main salju di Eropa.

Saat itu, trombosit tubuhku mencapai titik terendahnya! hanya 9000 sel/ mm3, jauh dari batas normal 150.000 sel/mm3. Tetapi kekuatan impian ternyata sangat dahsyat, Teman. Disaat begitu terpuruk dengan penyakitku, aku masih menyempatkan online dan menekan tombol submit untuk mengirimkan 4 aplikasi Erasmus Mundus yang telah aku perbaiki itu. Kemudian aku tinggal menunggu pengumuman dari masing- masing program tersebut.

Hampir tiga bulan setalah itu, pengumuman Erasmus Mundus tiba. Aku pun telah sembuh total dari DBD yang kuderita. aku menerima email dari konsorsium ke empat program Erasmus Mundus tersebut. kali ini aku sedikit mengalami peningkatan hasil, ke empat aplikasiku tersebut dihargai sebagai reserve list dari Indonesia. Dengan kata lain, aku dapat menerima beasiswa jika ada yang mengundurkan diri dari main list. Ini adalah kegagalan ke sembilan, sepuluh, sebelas, dan kedua belas yang telah aku alami, kali ini aku tidak gagal total. 

Berbekal “trial and error” yang aku lakukan, aku memproleh peningkatan hasil dalam proses lamaran beasiswa. Aku menjadi semakin tahu mengenai aplikasi berbagai beasiswa. Aku mendapatkan LoA dari salah satu program Erasmus yang dapat aku pakai untuk beasiswa DAAD-ASOE. Akhirnya aku fokus kembali kepada beasiswa yang telah aku peroleh sebelumnya, DAAD-ASOE. Aku lulus tes Zertiikat Deutsch sesuai yang telah ditentukan sehingga aku dapat berangkat ke Jerman bersama Awardee lainnya pada awal agustus 2012.

Setiba di Jerman, kami kembali mengikuti persiapan Bahasa Jerman selama tiga bulan di Dortmund, sebuah kota yang terkenal dengan klub sepakbola Borussia Dortmund-nya, sebelum akhirnya kami berpencar ke berbagai kota di Jerman untuk melanjutkan studi di universitas yang berbeda.
Sekarang aku sedang menempuh pendidikan master perencanaan lingkungan di Technische Universität Berlin. Kini aku sedikit lega karena telah memenuhi janji pada diriku sendiri untuk ikut menulis di sini, janji yang terucap ketika pertama kali membaca kisah- kisah yang menggetarkan jiwa dari para motivator beasiswa lainnya dan selalu berhasil membakar semangatku. Begitulah kisah tentang “trial and error” yang aku lakukan dalam aplikasi beasiswa.

Setelah 13 kali melakukan percobaan, aku akhirnya mendapat salah satu keberhasilan. Pepatah hingga kini belum berubah bunyinya “dimana ada kemauan di situ ada jalan“. Lantas, apakah kamu tidak mau menempuh jalan itu? “Trial and error” bukan hanya milik anak burung yang sedang belajar terbang, manusia juga boleh mencobanya.” Selamat berburu beasiswa!

Kisah ini ditulis di Berlin, sebuah kafe di Meulaboh. Aku tulis kembali untuk mengingat segala jerih payah sehingga tiba di Berlin yang sesungguhnya dan memberi sedikit motivasi kepada para pemburu beasiswa lainnya. Jika ada pertanyaan lebih lanjut, dapat menghubungi

email                     : arifhabibalumam@yahoo.com,
twitter                  : @arifhabibalumam atau
Facebook            : arif habibal umam
Baca SelengkapnyaArif Habibal Umam: “Ke Jerman setelah 13 kali Ikut seleksi dan Gagal”

Elanda Fikri:” Pemuda Umur 23 Tahun yang Mendapatkan Beasiswa Program Doktor (S3)”

Saya Elanda Fikri, saya dilahirkan di Cirebon, tepat pada tanggal 11 Maret 1989 (23 tahun lalu), saya anak tunggal dari pasangan Agus Saptaji dan Nina Mulyana. 

Saat ini saya adalah salah satu penerima Beasiswa Unggulan program double degree/joint degree dari biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dan saat ini status saya adalah seorang mahasiswa pasca sarjana program Doktor (S3) Ilmu Lingkungan di Universitas Diponegoro. 

Ini adalah dambaan dan cita-cita saya melanjutkan studi (S3), banyak sekali hambatan/rintangan untuk mendapatkan beasiswa ini, tidak begitu mudah sampai saat ini menjadi salah satu penerima Beasiswa Unggulan ini, Beasiswa unggulan ini meng-cover semua biaya semester (semester I-VI) dan biaya research (penelitian). Beberapa hal yang perlu dipersiapkan adalah Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal 3,5, tes uji kompetensi (psikotes), TOEFL (minimal 500), rancangan proposal disertasi dan yang terakhir adalah wawancara dengan Sekretaris dan Kaprodi pada Program Doktor Ilmu Lingkungan.

Ada sedikit pengalaman yang saya alami sebelum saya mendapatkan beasiswa S3 ini, salah satunya adalah ketika saya diwisuda di program magister (S2) Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro pada bulan Mei 2012, saya berkesempatan untuk mengikuti 3 seleksi sekaligus, diantaranya adalah pertama, seleksi kerja di perusahaan migas Balikpapan (Kalimantan Timur), kedua, seleksi kerja di salah satu Rumah Sakit di Jawa Tengah, dan ketiga adalah seleksi Program Beasiswa Unggulan (S3).

Waktu yang ditunggupun tiba, yaitu sekitar bulan juli 2012, pengumuman seleksi kerja di kedua tempat tersebut. Pada pengumuman seleksi itu, alhamdulilah seleksi kerja di dua tempat tersebut diterima. Disini saya mengalami dilema yang cukup menguras waktu, tenaga dan pikiran. 

Dengan masalah seperti ini, kucoba meminta saran pada kedua orang tua untuk menenangkan pikiran saya. Ketika meminta saran kepada kedua orang tua, bukannya titik cerah/solusi yang saya dapatkan, tetapi kebingungan yang semakin menjadi. Karena orang tua saya berbeda pendapat soal ini.

Disini diuji kedewasaan saya, antara menuruti pilihan seorang ibu, atau seorang bapak. Akhirnya melalui pertimbangan dan doa, hati kecil saya berkata untuk memilih bekerja di salah satu rumah sakit di Jawa Tengah. Ini adalah pilihan saya, meskipun memang pilihan ini membuat bapak kecewa. Sejujurnya saya mengambil keputusan ini bukan berarti tanpa dasar dan asal-asalan, salah satu yang membuat saya bertahan dan memilih ini juga adalah saya masih menunggu keputusan beasiswa Doktor (S3) dari Kemendikbud di bulan September 2012.

 Terus terang, saya sendiri takut untuk memilih. Karena ini berkaitan dengan masa depan saya. Ini adalah pilihan yang tidak bisa diulang lagi, tetapi dalam hati kecil saya, saya sendiri sangat yakin kalau saya adalah salah satu yang akan mendapatkan Beasiswa Unggulan (S3) dari Kemendikbud tersebut.

Dua bulan saya menunggu, pengumuman beasiswa itu belum juga ada, akhirnya saya mulai pesimis dengan pilihan yang saya ambil. Finally, pada tanggal 3 September 2012, pengumuman beasiswa tersebut akhirnya datang juga. Alhamdulilah, nama saya terpampang sebagai penerima Beasiswa Unggulan program double degree/joint degree dari biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Saya bersyukur sekali dan merasa tidak sia-sia dengan apa yang menjadi keyakinan dan pilihan saya. Jadi apapun pilihannya, pastinya mengandung konsekuensi di dalamnya. Aktivitas saat ini saya adalah seorang staf di salah satu rumah sakit di Jawa Tengah, mengajar di universitas swasta di Semarang dan sebagai mahasiswa program doktor (S3) Ilmu Lingkungan di Universitas Diponegoro (UNDIP). Perkuliahan dan kegiatan belajar mengajar setiap minggunya dilaksanakan setiap hari jumat dan sabtu. Di Program Doktor Ilmu Lingkungan UNDIP mahasiswa dibebankan sebanyak 48 SKS dengan masa studi selama 3 tahun (6 semester).

Pada awal perkuliahan di awal bulan September 2012, saya mendapatkan pengalaman yang cukup menarik dari Program Studi, disini kami diajak ke proyek pembangunan jalan tol Semarang-Solo dan ke Danau Rawa Pening di Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Disana kami diajarkan untuk dekat dengan lingkungan dan bagaimana memunculkan perhatian dan solusi untuk memecahkan masalah lingkungan.

Sampai saat ini,perkuliahan S3 saya berjalan seperti biasanya, dengan metode tatap muka, presentasi, diskusi, sampai mencari solusi pada isu-isu hangat yang berkaitan dengan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini. Pada awal semester III nanti, kami berhak mengikuti program sandwich ke Jepang/Australia yang tujuannya memperdalam keilmuan yang berkaitan dengan topik disertasi.

Ini adalah pengalaman yang saya alami sampai saya mendapatkan Beasiswa Unggulan dari Kemendikbud, mudah-mudahan pengalaman kecil ini dapat menginspirasi para kaum muda di Indonesia untuk terus belajar sampai setinggi-tingginya, jangan takut untuk bermimpi, segala pilihan/keputusan mempunyai konsekuensi. Yakinlah jalan Tuhan ada disetiap usaha, keyakinan dan doa yang dipanjatkan. 

Terima kasih pada Allah SWT, orang tua, dan Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pada umurku yang 23 tahun ini saya bisa menggapai angan dan melanjutkan studi di program Doktor Ilmu Lingkungan (S3) Universitas Diponegoro, ini adalah gerbang awal yang mengantarkan saya semakin dekat pada jalan menuju cita-cita.

Untuk membaca kisah motivasi lainnya klik link berikut ini:  hotmotivasi.blogspot.com
Baca SelengkapnyaElanda Fikri:” Pemuda Umur 23 Tahun yang Mendapatkan Beasiswa Program Doktor (S3)”

Taufiq Effendi: “Tuna Netra yang Meraih 8 Beasiswa Luar Negeri”

Tiga tahun telah berlalu. Makin hari aku makin gila. Beberapa kali menjalani operasi menyambungkan saraf mata dan menjahit retina tak juga membuahkan hasil. Beraneka ragam pengobatan alternatif dari berbagai negara tak juga mengembalikan penglihatanku. 

Setiap hari aku mencoba menghibur diri. Aku berpura-pura melakukan rutinitasku sebelum penglihatanku hilang. Aku bangun pagi,mandi, sholat subuh, mengenakan seragam sekolah, memakai sepatu, mencium tangankedua orangtuaku untuk pamit ke sekolah. Namun, aku melangkah ke depan rumah danmasuk ke kamar dan menghambur ke atas ranjang dengan banjir airmata. Tiap malam aku tak bisa memejamkan mata.Aku berbicara sendiri seolah-olah sedang konsultasi dengan banyak ahlimata. Aku terpisah dengan dunia luar dan terpuruk. Aku terputus dengan sorak- sorai kegembiraan masa remaja. Hari-hari terasa berlalu begitu lambat. 

Aku sesak, aku frustrasi, aku ingin bisa melihat lagi, aku ingin bersekolah lagi. Kedua orangtuaku pun ikut mengalami depresi, terutama ayahku. Setiap hari beliau pulang mengajar, tatapannya kosong. Beliau masuk kamar, berbaring, dan termenung memandang langit-langit rumah. Beliau terus membuka matanya dan tak bergeming hingga adzan Isya berkumandang. Beliau tertekan, beliau ditempa ujian hidup yang pelik. Anak bungsunya tak bisa melihat lagi. 

Pinjaman Bank DKI untuk biaya kuliah kedua kakakku di UI habis untuk membiayai pengobatanku. Aku tak juga sembuh. Kedua kakakku butuh biaya. Ayah tak mampu membayar cicilan utang bank dan beliau masih harus mencari uang untuk kuliah dan biaya hidup kedua kakakku yang tinggal di dekat kampus. Ayahku tertekan.

 Keceriaan ibuku tercinta pun seperti sirna lenyap begitu saja. Beliau sering terlihat murung. Beliau sering membisu, tak banyak berkata-kata. Isakan tangis dari kerongkongannya terdengar tiap kali beliau sholat. Linangan air mata beliau selalu membasahi mukena dan sajadahnya. Beliau belum sanggup menerima kenyataan bahwa anak bungsunya harus menjalani sisa kehidupannya tanpa penglihatan. Beliau belum yakin aku akan sanggup dengan ujian hidup seperti ini. Namun beliau berusaha untuk tetap tegar. Dengan lembut dan penuh kasih sayang, beliau mengurusku, mengantarku menjalani berbagai pengobatan dan terus menyemangatiku untuk terus berdoa agar aku sembuh.

Hampir setiap detik aku menyaksikan kedua orangtuaku dirundung pedih tak berkesudahan. Aku kumpulkan semangat. Aku bangun mimpi. Aku satukan kembali cita-citaku yang telah sirna. Aku mencoba bangkit. Aku tak ingin terus terpuruk. Namun, aku dan kedua orangtuaku tak tahu harus berbuat apa. Aku kembali terkulai. Aku ambruk, aku terpuruk di dalam ruang gelap.

Cahaya kehidupanku mulai menyala ketika aku dan kedua orangtuaku mendengar informasi dari seorang ibu yang sedang rawat jalan di bagian mata RSCM. Ibu ini bercerita bahwa keponakannya adalah seorang tunanetra. Dan dia berkuliah di UNPAD. Dia juga bisa memanfaatkan teknologi. Seketika itu pipiku terasa hangat dilalui butiran airmata yang jatuh dari sudut kedua mataku. Aku bersyukur. Aku bahagia karena aku merasa Allah tidak pernah melupakanku. Kedua mata ibu dan ayahku juga berkaca-kaca. Mereka bersyukur karena akhirnya ada jalan terang untuk anak bungsunya kembali memulai lembaran hidup baru dengan semangat baru.
Di tahun ke empat, kedua orangtuaku berupaya untuk menyekolahkanku kembali. Atas saran dari Yayasan Mitra Netra, mereka membawaku ke Tan Miyat, sebuah asrama tunanetra di kompleks Departemen Sosial dekat Bulak Kapal Bekasi Timur. Karena asrama ini hanya memiliki SD, SMP dan sekolah keterampilan pijat, mereka mendaftarkan aku ke SMA YPI 45 Bekasi untuk melanjutkan sekolahku yang sempat terputus selama beberapa tahun. SMA YPI 45 telah secara rutinmenjadi sekolah inklusi yang sangat ramah terhadap tunanetra. Aku diterima denganbaik dancukup diperhatikan.

Aku tinggal di asrama Tan Miyat tetapi aku bersekolah berintegrasi dengan siswa berpenglihatan normal di SMA YPI 45 di luar asrama. Lalu, aku belajar braille, menyelami kehidupan baru dengan status baru sebagai seorang tunanetra dan menimba ilmu serta belajar nilai-nilai kehidupan yang tidak kurasakan sewaktu masih melihat.

Aku sungguh-sungguh membangun mimpi-mimpi besar. Aku yakin mimpi yang akan menentukan masa depanku. Jika aku hanya bermimpi untuk menjadi seorang pemijat, maka aku pun akan menjadi seorang pemijat. Aku hanya kan berusaha untuk mendalami ilmu pijat dan bahkan mungkin aku hanya kan berdoa untuk mendapatkan pasien banyak tiap hari dan memberikan uang tips yang lumayan.Aku tidakpuas. Aku ingin melihat kedua orang tuaku bangga.  Aku ingin menyaksikan kedua orangtuaku bercerita dengan bangga kepada orang lain tentang prestasi-prestasiku. Aku ingin hari-hari frustrasi mereka selama beberapa tahun terbayar dengan rasa bangga dan kebahagiaan. Aku ingin air mata pedih mereka terbayar dengan airmata syukur dan bahagia.

Di hari pertama aku melangkahkan kaki memasuki asrama TanMiyat bersama kedua orangtuaku, aku putuskan untuk membunyikan mimpi besarku.
Bu, Taufiq pengen keliling dunia” kataku singkat dan tegas kepada ibuku. Ibu kaget bagai disengat serangga berbahaya. Ibu tersentak. Setelah beberapa saat, beliau menjawab, “Baru mulai bisa sekolah lagi udah kepengen yangmacem-macem. Kalo punya mimpi gak usah terlalu tinggi, takut stress.” Aku tersenyum kecil dan terdiam tak membantah. Tetapi, jauh di dalam relung hatiku keinginan berkeliling dunia telah terpatri dengan kokoh sesaat sebelum aku berbicara. Mimpi besar inilah yang akanmenuntun doaku, menuntunlangkahku,memecut usahaku danmelemparkan
diriku melayang membagikan ilmuku kepada manusia lain di penjuru dunia kelak.

Masa depan masih suram. Tiga tahun bersekolah di SMA YPI 45 belum membantuku melihat cahaya terang. Aku telah berjuang susah payah dengan air mata dan keringat mengukir prestasi walaupun memiliki keterbatasan fisik. Aku menangis terisak-isak sembari mencium tangan guru-guruku saat acara perpisahan. Aku menangis karena aku tak tahumasa depan seperti apa yang akan kujalani. Walaupun aku berada di urutan ketiga dari kurang lebih 240murid jurusan IPA, aku belum melihat jalan terang untuk mewujudkan mimpi besarku. Sementara teman-teman berbahagia menantikan masa-masa kuliah, kedua orangtuaku memintaku sekolah keterampilan pijat, tidak kuliah. Hatiku hancur. Mimpi masih ada tetapi cahayanya mulai memudar.

Walau kedua orangtuaku adalah guru,mereka tidak memiliki informasi cukup tentang jenis pekerjaan lain untuk tunanetra selain pijat. Di lingkungan tempat tinggalku, ada seorang tunanetra yang memiliki panti pijat cukup besar dan memberi pekerjaan kepada beberapa tunanetra lain untuk mencari penghidupan di tempatnya. Kedua orangtuaku beranggapan ini adalah solusi paling realistis saat itu. Kedua orangtuaku juga mulai sibuk memperhatikan setiap sudut rumah kami untukmenyediakan ruang khusus untuk panti pijatku nanti.

Aku dihantui oleh mimpi-mimpi besarku setiap detik. Aku minggat dari asrama. Aku keluar dari sekolah pijat.Aku ke Bandung untuk belajar musik di asrama Wyata Guna. Aku beranggapan mungkin pemusik dapat menjadi gerbang memasuki kota-kota dunia. Namun, aku hanya tahan selama beberapa bulan dan kembali memutar haluan.

Aku memohon bantuan para “reader”, panggilan untuk para mahasiswa di Bandung yang sengaja datang ke asrama Wyata Guna untuk membacakan, merekamkan atau menemani ke toko atau perpustakaan untuk mencari buku atau memberikan bantuan lain yang mereka bisa. Aku yakin bahwa kuliah S1 adalah tiket keliling dunia gratis, mimpi yang tertanam kuat di alam bawah sadarku. Aku katakan bahwa aku ingin segera kuliah baik di kampus negeri ataupun di kampus swasta. Ria, mahasiswi jurusan Matematika ITB angkatan 99, membantuku mendaftar SPMB. Aku didampingi membeli formulir dan juga dibantu mengisi formulir danmelengkapi semua persyaratannya. Teman-teman reader dari jurusan Matematika, Teknik Industri dan Teknik Mesin ITB angkatan 99 dan Psikologi UNPAD angkatan 99 pun berbagi tugas membantu merekamkan materi dan juga mengajarkan mata pelajaran yang berbeda-beda. 

Dua minggu persiapan telah selesai dan aku pun mengerjakan ujian SPMB di ITB. Aku dibacakan dan dibantu dituliskan semua jawaban yang ku ucapkan oleh Ria, sahabat yang sampai sekarang aku tak tahu dimana keberadaannya. Syahrul Maulani, kakak pertamaku yang lulus dari jurusan Biologi UI angkatan 95, menyampaikan kabar gembira dari Riau. Dia sedang di kantor memandangi pengumuman SPMB.Dia ucapkan selamat karena aku diterima di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UNJ, pilihan kedua setelah Komunikasi UI. Kedua orangtuaku terkejut bahagia karena skenario hidup yang telah dipersiapkan oleh Sang Khaliq perlahan bercahaya semakin terang.

Aku menemukan cahaya penuntun menuju gerbang menggapai impianku. Prof. Dr. Arief Rachman, seorang guru besar UNJ dan seorang tokoh pendidikan, membakar semangatku untuk berlari mengejar mimpi besarku. Beliau selalu membuka mata hatiku dalamsetiap kuliahnya dan bahkan dalamnasihatnya pada acara pernikahanku untuk terus bermimpi setinggi langit, untuk mengikuti hadits Nabi dan nasihat Imam Syafi’i untuk merantau jauh menimba ilmu.

Prof. Dr. Ilza Mayuni, seorang guru besar UNJ dan saat ini menjabat sebagai Direktur Kopertis di ibukota, selalu mendukungku untuk terus mengukir sejarah. Ketika masih menjadi Dekan FBS UNJ, beliau selalu meluangkan waktu membimbingku untuk memecahkan rekor prestasi. Dengan dukungan beliau dan seluruh dosen, keluarga serta sahabat, aku berhasil menyelesaikan S1 dalam waktu tiga tahun setengah dengan predikat cumlaude. Aku dinobatkan menjadi salah satu wisudawan terbaik UNJ dengan kriteria prestasi akademik dan non-akademik. Sahabat-sahabat kuliahku telah sangat berjasa membantuku merekamkan materi kuliah, mencarikan buku dan literatur yang kubutuhkan dan masih banyak lagi yangmereka lakukan untuk membantuku sukses.

Semasa kuliah, aku berusaha sebisaku untuk mengembangkan semua potensiku demi mewujudkan mimpi-mimpiku. Walau untuk membaca buku aku harus men-scan dan meminta kawan atau membayar orang untukmengedit lalu aku baru bisa baca dengan program pembaca layar yang ku-install di komputer, aku tidak “study-oriented”. Aku berorganisasi dan terpilih menjadi Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan dan Ketua Departemen Pendidikan dan Kebudayaan BEM Fakultas Bahasa dan Seni UNJ di tahun berikutnya. Aku tak sempat merasakan BEM universitas karena aku segera diwisuda di akhir jabatanku sebagai ketua sebuah departemen.

Dengan tongkat penuntun, aku juga menjadi pedagang kaki lima buku dan novel. Aku juga menjadi broker jasa terjemahan dan barangbarang elektronik. Aku juga berhasil menjadi manager MLM Oriflame. Aku juga memiliki beberapa murid privat. Bahkan aku pernah mendirikan rental komputer dan tempat kursus bahasa Inggris.

Walau berkali-kali aku mengalami perlakuan diskriminasi untuk menimba ilmu, melamar pekerjaan dan masih banyak lagi, aku akhirnya berhasil mewujudkan mimpiku. Di semester ke enam kuliah S1, aku memperoleh beasiswa senilai 20 juta untuk terbang ke Jepang karena makalahku dinyatakan lulus seleksi untuk dipresentasikan di 4th Asia TEFL International Conference. Akupun berangkat seorang diri untuk menjadi pemakalah di antara 449 pemakalah professional yang merupakan praktisi dan guru-guru besar kampus terkemuka dari seluruh dunia. Di tahun berikutnya aku mendapatkan beasiswa penyelesaian skripsi dari Korean Exchange Bank.

Setelah wisuda, aku pun mulai mengajar di beberapa instansi. Aku mengajar di SMP Diponegoro 1 Rawamangun. Di tahun yang sama, aku juga mengajar di Universitas Negeri Jakarta. Di sela-sela waktu, aku juga bekerja untuk lembaga National English Centre sebagai pengajar TOEFL dan Healthcare English Learning Program dan ditempatkan di beberapa Akademi Keperawatan yang bekerja sama dengan NEC. Di akhir pecan, setiap hari Sabtu dan Minggu, aku mengajar dari rumah ke rumah sebagai guru privat untuk program bahasa Inggris.

Setelah setahun mengajar, setelah empat kali gagal melamar beasiswa S2, aku berhasil memperoleh beasiswa MA in Muslim Cultures di London dari Aga Khan University. Namun, di tengah studiku, istriku mengalami kehamilan yang berat sehingga dia harus dirawat di University College Hospital London sampai tiga kali. Kami adalah pasangan muda yang belumpahambagaimana cara membuat perencanaan keluarga. Akhirnya kampusku menyarankan agar aku cuti kuliah dan kembali ke Indonesia. Aku tidak frustrasi. Aku yakin Allah sedangmempersiapkan skenario yang terbaik untukku dan keluargaku. Walau aku gagal melanjutkan MA ku di London karena beberapa masalah, Allah menerbangkanku lagi ke beberapa negara.

Sebelum aku meninggalkan London, aku nekad mencoba beasiswa ICT training dari Japan Braille Library yang diselenggarakan di Malaysia. Ternyata, aku lulus dan setelah pulang dari London, aku terbang ke Penang Malaysia. Aku pulang membawa ilmu baru, keterampilan baru, laptop baru dan segala kelengkapannya serta sejumlah uang saku yang ku hemat-hemat untuk biaya persalinan istriku.
Setelah itu, aku diterima kerja di  Center for Civic Education Indonesia, sebuah yayasan yang menjalankan program-program pendidikan atas dana pemerintah Amerika Serikat. 

Baru beberapa bulan mengajar sebagai pengajar untuk program beasiswa belajar bahasa Inggris gratis selama dua tahun untuk ratusan murid SMA/SMK dari keluarga yang tidak mampu, aku memperoleh beasiswa dari US Department of State untuk menghadiri teacher training and workshop selama tiga minggu di INTO Oregon State University, Corvallis, USA. Persis dua tahun berikutnya, aku mendapatkan beasiswa lagi dari US Department of State untuk program pelatihan pengajaran bahasa Inggris dengan University of Oregon, USA.

Setahun kemudian, aku aku sempat mendapatkan dua beasiswa pada waktu yang nyaris bersamaan. Aku lulus seleksi untuk Australian Leadership Award Fellowship yang diselenggarakan mulai tanggal 27 Agustus dan berakhir tanggal 21 September 2012. Sementara, aku dijadwalkan mengikuti Pre-Departure Training selama delapan minggu mulai dari 16 Juli hingga 21 September 2012 sebelum memulai kuliah di Australia dengan beasiswa dari Australian Development Scholarship. Aku bingung harus bagaimana. Akhirnya aku diminta mengundurkan diri untuk program beasiswa Australian Award Fellowship. Meski demikian, Alhamdulillah Allah merekap semua doaku dalam satu tahun. Aku juga sedang berusaha merampungkan novel perdanaku yang akan menjadi jalan pembuka menuju pencapaian daftar panjang mimpi-mimpi besarku berikutnya.

Pesanku untuk masyarakat Indonesia: Bermimpilah! Biarkanlah anak-anak kita, anak-anak didik kita bermimpi sesukanya selama mimpi itu positif. Sering kali kata “mustahil”memilikimakna yang relatif. Kata ini sangat tergantung kepada pengalaman masing-masing individu. Pergi ke negara lain adalah hal yang mustahil bagi kedua orangtuaku sebelumakhirnya aku buktikan bisa. Kuliah juga mungkin untuk sebagian masyarakat kita masih merupakan hal yang mustahil. Sering kali, hal yang dianggap mustahil setelahberusaha keras menjadi mungkin. Mimpi akan menentukan masa depan anak-anak kita. Mimpi akan menentukan masa depan generasi penerus kita. Mimpi akan menentukan bangsa kita akan menjadi apa kelak.Mimpi akan menuntun doa kita, menuntun langkah kita,memecut usaha kita untuk terus berjuang, dan mimpi akan melemparkan kita semua melayang terbang menggapai bintang berkilauan.

Diposting ulang oleh blog Hot Motivasi dari akun Pribadi beliau.

Jika ada pertanyaan atau butuh bantuan, silahkan kontak beliau. Selamat berjuang! Mustahil hanya untuk mereka yang tidak mencoba dan mustahil hanya untuk mereka yang Menyerah.

 
Saat ini beliau sedang menempuh program double degree M.Ed in TESOL dan Master of Development studies di University of New South Wales, Sydney
Jakarta 2012

Baca SelengkapnyaTaufiq Effendi: “Tuna Netra yang Meraih 8 Beasiswa Luar Negeri”