Alkisah, ketika kuda masih jadi
satu-satunya alat transportasi dan banyak orang masih berpergian ke
tempat yang jauh dengan berjalan kaki, demikian pula
yang dilakukan dua pengelana ini. Yang satu janggutnya panjang memutih
dan pria satunya masih muda berbadan tegap. Mereka adalah guru dan murid
yang melintasi hutan-hutan di pulau Jawa.
Berbulan-bulan mereka berjalan melewati
hutan dan perkebunan. Sampai suatu saat kembali berada di sebuah hutan
jati. Cuaca sangat panas, rasa haus dan lapar lebih cepat terasa.
Sang murid melihat pohon-pohon jati yang
meranggas kering. Pohon-pohon jati itu melepaskan dedaunannya.
Daun-daun kecoklatan terbang dan terhempas ringan di atas tanah. Lantai
hutan jati terlihat penuh dengan daun lebar kering berwarna coklat muda
yang berserakan.
Penuh rasa penasaran, sang murid
bertanya pada gurunya, ”Guru, dua bulan lalu, kita pernah melintasi
hutan jati di tempat lain. Waktu itu kita merasakan kesejukan dibawah
naungan pepohonan jati dengan daun hijaunya yang segar dan
bunga-bunganya yang sedang mekar. Kali ini, hampir tak ada daun yang
melekat di ranting pepohonan ini. Apa jati ini harus menggugurkan
daunnya setiap tahun guru?”
”Kemarau dengan panas yang terik dan air
dari langit yang tertahan, mengharuskan jati melewati hari harinya
dengan melepas dedaunannya. Begitulah jati menempa dirinya muridku,”
jawab sang guru singkat.
”Bagaimana caranya jati bisa tumbuh dan
berkembang tanpa daun. Bukankah daun sangat penting untuk menyerap
matahari dan menguapkan air bagi tumbuhan. Mereka bisa mati kalau begitu
terus, Guru?” sang murid mendesak gurunya menjelaskan.
Sang guru kemudian menjawab rasa
penasaran muridnya, ”Itulah hikmah yang Tuhan berikan melalui pohon
jati. Meski tanpa daun, pohon jati justru sedang menempa dirinya menjadi
salah satu pohon terbaik di bumi ini. Dia takkan mati. Ia bahkan sedang
”berpuasa” untuk tidak berkembang secara kasat mata. Ia sedang menempa
dirinya untuk sanggup bertahan dengan ujian kekurangan air dan panasnya cuaca. Ia melewati ujian itu sambil mengugurkan masalah yang ada di daun dan memperbaiki kulitas kayu di batangnya.”
”Menggugurkan masalah? Artinya daun-daun itu kalau terus ada
dan bekerja di musim kemarau bisa mengganggu pertumbuhan pohon karena
boros air. Nantinya bagian pohon lain seperti batang dan akar bisa
terganggu ya, Guru?”
”Benar sekali muridku. Sama halnya
dengan tubuh kita. Pada saatnya kita harus mengistirahatkan anggota
badan kita seperti perut untuk mengurangi kerjanya. Itu sangat
diperlukan agar bagian lain dari diri kita berfungsi lebih optimal.
Misalnya, saat perut beristirahat mengolah makanan, bagian tubuh lain
khususnya pikiran dan jiwa kita bisa lebih optimal bekerja. Bukankah
perut kita adalah salah satu sumber munculnya penyakit," papar sang guru
menjelaskan kearifan alam yang diamatinya.
Sambil melewati daun-daun kering yang
jatuh, suara dedaunan itu berderak memecah kesunyian saat terinjak kasut
dua pengelana ini.
Sesaat, sang guru berhenti dan menepuk
punggung muruidnya, "Daun-daun ini bisa kita andaikan sebagai dosa-dosa
kita. Saat kita mau berkorban untuk menahan diri dan bertahan dari
ujian, Tuhan akan memberi kita karunia-Nya berupa bergugurannya
dosa-dosa kita. Pada saat dosa-dosa itu berlepasan dalam diri kita, maka
hidup ini jadi lebih tenang dan bahagia. Bahagia itulah kualitas
tertinggi yang diraih manusia dan sekaligus karunia dari-Nya. Kamu ingin
hidup bahagia kan muridku?"
”Eh iya guru, pasti. Makanya kita harus segera sampai di kampung agar tenang, gak kepanasan begini Guru”
”Kamu masih puasa, kan? Jangan kalah sama pohon Jati yang puasanya lebih panjang dari kita,” canda Sang Guru
”Hahaha...” Guru dan murid tertawa. Mereka mendapatkan kearifan hidup dari gugurnya dedaunan pohon Jati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar