Yuhuuu... Sobat Blog Hot-Motivasi, ada kisah bagus, nih!
Pas mantab deh buat yang masih suka pake cara kurang lembut dalam
mengajak orang lain pada kebaikan. Okeh, baca yak! Nida jamin kekerenan
kisah ini bakal memotivasi kamu untuk menjadi lebih santun! ^___^
Sebuah artikel yang dimuat oleh harian umum al-Ahraam telah membuat Sang Imam dan murid-muridnya gelisah. Bagaimana tidak, artikel yang ditulis oleh si Fulan itu berisi pemikiran yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Sebuah artikel yang dimuat oleh harian umum al-Ahraam telah membuat Sang Imam dan murid-muridnya gelisah. Bagaimana tidak, artikel yang ditulis oleh si Fulan itu berisi pemikiran yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Si
Fulan mengatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi manusia untuk menutup
auratnya. Sebab secara fitrah, tiap manusia dilahirkan dalam keadaan
telanjang. Maka ia menyerukan agar budaya telanjang itu dilestarikan di tengah masyarakat Mesir.
Maka
para ikhwan yang merasa marah, langsung membuat artikel bantahan dan
siap dikirim ke harian umum yang sama. Namun sebelum itu, mereka
mengutus seorang ikhwan bernama Mahmoud yang merupakan penulis artikel
bantahan itu, untuk meminta pendapat dan izin dari Sang Imam.
“Ya, Ustadz. Bagaimana pendapat anda?” tanya Mahmoud pada Sang Imam yang tampak terdiam lama setelah membaca artikel bantahan itu.
“Akhi…” Sang Imam menatap Mahmoud. “Artikelmu ini sangat bagus dan penuh argumentasi yang jitu. Tapi…”
“Tapi
apa ya, Ustadz?” tanya Mahmoud heran. Wajah Sang Imam yang teduh itu
berubah galau. Ditatapnya artikel bantahan yang tergenggam di tangannya.
“Dalam
pikiranku, tergambar beberapa dampak dari tulisanmu ini jika ia jadi
dimuat,” ujar Sang Imam pelan sambil kembali menatap Mahmoud.
“Pertama,
artikel yang ditulis si Fulan itu sangatlah tajam, menusuk hati kaum
Muslimin. Sementara konsumen pembaca harian al-Ahraam itu sendiri
relatif sedikit dibanding jumlah penduduk Mesir secara keseluruhan. Dan rata-rata, mereka tidak membacanya dengan serius.”
Mahmoud menyimak uraian Sang Imam dengan hati bertanya-tanya. Ia belum paham maksud gurunya itu.
“Jika
kita menurunkan bantahan terhadap artikel tersebut, maka akan timbul
beberapa titik rawan. Diantaranya, justru akan mengekspos artikel
tersebut dan memancing keingintahuan bagi mereka yang belum membacanya.
Sementara yang sudah membaca, akan kembali terpancing untuk membaca
dengan serius. Dengan
demikian, tanpa sadar kita telah memicu perhatian masyarakat kepada
sesuatu yang buruk, yang bisa saja mendatangkan mudharat bagi
orang-orang yang berjiwa lemah. Kalau artikel si Fulan itu kita diamkan
saja, insya Allah ia akan tenggelam dengan sendirinya,” tutur Sang Imam
pelan. Mahmoud masih tampak belum puas dengan penjelasan itu, meski ia
mulai bisa meraba maksud gurunya.
“Akhi,
BANTAHAN ADALAH SALAH SATU BENTUK TANTANGAN YANG AKAN MEMANCING SIKAP
KERAS KEPADA BAGI YANG DIBANTAH. Dan sekalipun ia menyadari bahwa ia
salah, tapi BANTAHAN ITU AKAN MEMBUATNYA BERSIKUKUH PADA KESALAHANNYA.
Ketahuilah, Akhi, si Fulan itu telah terpengaruh oleh sebuah lingkungan
yang membuatnya berpikir seperti itu. Dan aku melihat, TUJUANNYA MENULIS
ARTIKEL ITU BUKANLAH UNTUK MENGUNGKAPKAN APA YANG MENJADI KEYAKINANNYA.
MELAINKAN SEKEDAR MENCARI PERHATIAN DENGAN CARA MENGHALALKAN SEGALA CARA.”
Sang Imam diam sejenak. Sementara Mahmoud yang duduk di hadapannya masih menunggu kelanjutan kalimatnya dengan raut serius.
“Akhi,
jika sampai si Fulan bersikukuh dalam kesalahan itu akibat bantahan
yang kita sampaikan, maka secara tidak langsung kita telah menghalangi
pintu taubat baginya. Si Fulan itu masih muda. MEMBUKAKAN PINTU
KEBENARAN BAGINYA JAUH LEBIH BAIK DARIPADA MELEMPARKANNYA JAUH-JAUH DARI
KEBENARAN YANG SEBENARNYA MENJADI HAK DIA. Justru kewajiban kitalah
untuk membantunya meraih kebenaran itu. Aku tidak ingin, emosi yang
bermain dalam dada kita membuat seseorang terhalang dari hidayah Allah.
Begitulah pemikiranku. Bagaimana menurutmu, Akhi?” Sang Imam menutup
penjelasannya.
Mahmoud
yang sejak tadi diam menatapnya, perlahan menunduk. Kini semakin
disadarinya betapa Sang Imam adalah manusia yang sangat bijak. Sosok
yang penuh kharisma dan telah melebur ke dalam kancah dakwah secara
jasad, ruh, akal, dan hartanya. Pengetahuan yang dalam dan hubungannya
yang erat dengan Allah telah menjadikan pandangannya demikian luas,
nalurinya peka, mata hatinya tajam, jauh menembus ke depan. Ya, ia telah
dianugerahi bu’dunnazar (pandangan yang jauh ke depan), sesuatu yang
jarang dimiliki oleh orang biasa.
Perlahan
Mahmoud mengangkat kepalanya. Ditatapnya wajah Sang Imam sambil
tersenyum. “Anda benar sekali ya, Ustadz. Saya setuju dengan pendapat
anda.”
Sang
Imam pun tersenyum melihat muridnya mau memahami apa yang ada dalam
pikirannya. Maka perlahan dirobeknya artikel yang tergenggam di
tangannya saat itu.
***
Epilog
Waktu
terus berlalu, dan artikel si Fulan yang membahayakan itupun berlalu
begitu saja. Masyarakat sepertinya tidak terusik sama sekali. Namun,
apakah yang terjadi pada si Fulan sendiri? Sejarahlah kemudian yang
mencatat bahwa ia telah menjelma menjadi sosok paling heroik di kancah
dakwah.
Ia
telah tercatat sebagai salah seorang prajurit Islam yang gagah berani,
yang menyuarakan kebenaran dengan suara lantang meski penjara mengurung
jasadnya selama pemerintahan Gamal Abdul Nasser. Ia telah
mempersembahkan kepada ummat, tafsir Al-Quran yang sangat luar biasa Fi
Zilalil Quran, yang ia tulis selama di dalam penjara. Ia telah menjadi
orang terdepan dalam perjuangan menegakkan kalimatullah di Mesir dan
menutup sejarah hidupnya sebagai seorang syuhada di tiang gantungan pada
tanggal 29 Agustus 1966.
Dialah… Sayyid Quthb rahimahullah! ^___^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar