Sobat Blog Hot Motivasi, ada sisi lain dalam dunia persekolahan di Indonesia, yakni dengan dikenalnya istilah nyontek (contek, menyontek). Mungkin dan bisa jadi, istilah ini termasuk dalam kategori undercover. Nyontek sering kali dipahami dan merupakan sikap pecundang yang menginginkan hasil optimal tanpa harus bersusah payah.
Biasanya, nyontek
dilakukan oleh para siswa atau mahasiswa yang sedang mengerjakan soal
ujian, dan yang bersangkutan tidak mempersiapkan penguasaan bahan/
materi pelajaran yang memadai dengan berbagai alasan. Mereka menyontek
pekerjaan temannya yang dianggap lebih pintar atau mengerjakan soal
dengan jawaban yang dilihatnya dari catatan yang sudah dipersiapkan.
Catatan ini bisa berupa apa saja, buku-buku, atau catatan kecil lainnya.
Anak
sekolah/mahasiswa yang menyontek biasanya menempati posisi yang “aman”
dari pengawas ujian. Biasanya di barisan belakang, atau yang terhalang
oleh pengawas. Makanya, ada juga istilah yang cukup beken “posisi menentukan prestasi”.
Penyebab Menyontek
Banyak hal yang menyebabkan seseorang menyontek. Ini di antaranya:
1. Ingin berhasil tanpa usaha yang melelahkan.
Seseorang harus
memahami, bahkan harus hafal bahan-bahan pelajaran yang akan diujikan.
Seorang pemalas biasanya ada saja alasan untuk tidak belajar atau
membaca buku-buku yang dijadikan rujukan pembuatan soal ujian. Mestinya,
berbekal kajian-kajian psikologi memungkinkan seseorang dapat memahami
bahan ajar dengan mudah. Belajar yang menyenangkan mestinya juga
memungkinkan siswa dapat belajar dengan enjoy mencerna semua informasi dan langsung melekat pada ingatannya.
2. Ingin membahagiakan pihak lain.
Katakanlah, siswa
yang menginginkan pihak lain atau orang tuanya tersenyum bahagia melihat
anaknya berprestasi dengan digambarkan pada perolehan angka-angka yang
fantastis dalam nilai rapornya. Karena kurang persiapan, malas, atau
alasan lainnya, ia memakai cara-cara yang tidak sah yakni
dengan menyontek. Ia tak memedulikan cara ini sesuai dengan norma-norma
yang ada atau tidak ada.
Baginya, yang terpenting adalah bisa menjawab
soal-soal ujian dengan mudah karena melihat sontekan dan nilainya bagus.
Titik. Padahal, kebahagian sejati para orang tua dapat dipastikan
adalah perolehan nilai ujian anaknya tinggi, memuaskan, dan diraih
dengan cara-cara elegan dan bermartabat.
3. Malu jika tidak disebut berprestasi.
Mengapa harus malu
ketika tidak berprestasi? Sesungguhnya prestasi itu bukan sesuatu yang
bisa didapat dalam sekejap melalui kata-kata magic bim sala bim, tetapi harus diperjuangkan melalui ketekunan.
Tubagus Wahyudi, pakar hipnotis dan public speaking terkenal, pernah mengemukakan bahwa salah satu cara untuk menguasai sensorik power
adalah dengan tetap melakukan ketekunan. Ketekunan dalam bidang ilmu,
hobi, penelitian, dll akan membuat dan mengantarkan seseorang menjadi
pakar pada bidang tertentu tersebut. Bahkan, hobi yang ditekuni dapat
menjadi sumber penghasilan dan sandaran hidup.
Jadi, agar
berprestasi ya janganlah menyontek. Tetapi, jalankanlah ketekunan dengan
tetap membaca buku, baik sebelum maupun setelah bahan ajar itu
dipresentasikan oleh guru atau dosen.
4. Bahan yang diujikan tidak menarik.
Mengapa tidak
menarik? Kalau dibandingkan dengan pepatah “tidak ada orang yang bodoh
di dunia ini melainkan malas”, maka sebenarnya tidak ada ujian yang
tidak menarik. Yang ada adalah seseorang yang tidak bisa menyikapi
sesuatu dengan pandangan yang berbeda dari biasanya.
Agar lebih bijak,
cobalah untuk tidak memblok pikiran kita tentang suatu pelajaran:
Matematika itu sulit! Fisika dan Kimia apalagi! Hal ini sangat
berpengaruh besar terhadap kesiapan mental kita dalam menghadapi ujian.
Agar menarik, bisa
juga minta bantuan teman atau kakak kelas yang pandai di mata pelajaran
tersebut. Bisa juga dengan membentuk kelompok belajar, kemudian membuat
kuis cerdas cermat antar individu!
Ada banyak cara agar membuat pelajaran yang diujikan menjadi menarik, Sob... cobalah berkreativitas!
5. Sistem pengawasan ujian yang longgar.
Pengawasan yang longgar dapat
memunculkan ide bagi para pecundang untuk menyontek. Sedangkan
pengawasan ujian yang ekstra ketat juga memungkinkan peserta menjadi
lebih stres menghadapi soal-soal ujian. Tentu saja yang terbaik adalah
yang pertengahan, tidak longgar dan tidak ketat pula.
Menyontek dan Kasus Ujian Nasioanl
Kalau diperhatikan
sejak Ujian Nasional sebagai faktor penentu kelulusan seorang siswa dari
sekolah yang ditetapkan oleh pemerintah, terjadi banyak kasus yang mana
guru menjadi “tim sukses”. Mereka seabagai pengawas ujian, bukannya
mengawasi jalannya ujian agar berjalan tertib dan aman, tetapi malahan
memberikan jawaban kepada para peserta. Antar pengawas terjadi pemahaman
TST (tahu sama tahu).
Mengapa itu
dilakukan? Banyak pihak beralasan; agar siswanya lulus ujian, karena
kalau tidak dibantu akan banyak yang tidak lulus. Akibatnya, reputasi
sekolahnya pun bisa hancur. Lebih-lebih sekolah swasta yang kualitasnya
biasa saja (standar) yang mana mati hidupnya sangat bergantung pada
penerimaan jumlah siswanya.
Dalam kasus ini
sebenarnya seperti melihat lingkaran setan. Karena, banyak pihak
menyatakan guru ditekan oleh kepala sekolah. Sedangkan kepala sekolah
mengaku ditekan oleh ketua yayasan atau atasan langsungnya, seperti
kepala dinas pendidikan atau kepala kantor cabang departemen yang ada di
kabupaten yang menangani pendidikan. Dalam kasus ini, menyontek justru
terjadi secara masif, masal, dan bahkan semi legal, karena justru
disponsori oleh para pengawas itu sendiri.
Janganlah
menyalahkan siswa karena siswa datang ke sekolah adalah untuk belajar.
Belajar yang menurut KKBI adalah “proses perubahan tingkah laku, baik
kognitif, afektif, maupun psikomotorik.”
Dan, janganlah pula
menyalahkan soalnya yang terlalu tinggi.
Dalam sebuah kesempatan pejabat
Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional pernah menyakatan bahwa
soal matematika SD kelas 6 di Indonesia adalah yang paling mudah
se-ASEAN. Bagaimana jika dibandingkan dengan kawasan lain? Bagaimana
bila dibandingkan se-Asia? Se-dunia? Wajarlah demikian, sehingga
sampai-sampai Human Development Index (HDI) Indonesia
merupakan yang paling rendah. Bahkan, katanya berada pada titik nadir,
yaitu lebih rendah daripada Vietnam, negara yang belum terlalu lama
bangkit dari sisa-sisa reruntuhan perang bersenjata melawan hegemoni
Amerika Serikat (AS).
Akibat Menyontek
Bagi yang menyontek
ketahuan oleh pengawas dapat dipastikan bagaimana kisah selanjutnya.
Bisa dikeluarkan dari ruang ujian dan menanggung malu, dan bahkan lebih
fatal lagi adalah adalah didiskualifikasi dan dinyatakan tidak lulus
ujian.
Hal ini pernah
terjadi pada siswa di sebuah SLTA favorit di Jakarta Timur. Ia adalah
siswa yang pintar dan rajin. Ia dikeluarkan dari ruang ujian bahkan
tidak diluluskan bukan karena ia menyontek. Tetapi, yang ia lakukan
adalah memberi sontekan pada yang lainnya. Bahkan, mestinya guru sebagai
pengawas yang memberikan sontekan pada siswanya mestinya
jugadikeluarkan dari jabatan atau profesinya, karena ia kontraproduktif
dengan usaha-usaha sebelumnya, yaitu menanamkan banyak nilai dan norma
bahwa siswa harus memegang kejujuran sekalipun langit akan runtuh.
Akibat lebih jauh
ketika seseorang sudah lulus dari lembaga pendidikan maka ia tidak bisa
menghadapi persoalan kehidupannya. Mengapa banyak produk sekolah yang
menganggur? Jangan-jangan, itu karena penanaman nilai di sekolah
mengalami kegagalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar