Sabtu, 26 Oktober 2013

MENYONTEK SEBELUM UJIAN

Sobat Blog Hot Motivasi, ada sisi lain dalam dunia persekolahan di Indonesia, yakni dengan dikenalnya istilah nyontek (contek, menyontek). Mungkin dan bisa jadi, istilah ini termasuk dalam kategori undercover. Nyontek sering kali dipahami dan merupakan sikap pecundang yang menginginkan hasil optimal tanpa harus bersusah payah.

Biasanya, nyontek dilakukan oleh para siswa atau mahasiswa yang sedang mengerjakan soal ujian, dan yang bersangkutan tidak mempersiapkan penguasaan bahan/ materi pelajaran yang memadai dengan berbagai alasan. Mereka menyontek pekerjaan temannya yang dianggap lebih pintar atau mengerjakan soal dengan jawaban yang dilihatnya dari catatan yang sudah dipersiapkan. Catatan ini bisa berupa apa saja, buku-buku, atau catatan kecil lainnya.

Anak sekolah/mahasiswa yang menyontek biasanya menempati posisi yang “aman” dari pengawas ujian. Biasanya di barisan belakang, atau yang terhalang oleh pengawas. Makanya, ada juga istilah yang cukup beken “posisi menentukan prestasi”.

Penyebab Menyontek
Banyak hal yang menyebabkan seseorang menyontek. Ini di antaranya:

1. Ingin berhasil tanpa usaha yang melelahkan.
Seseorang harus memahami, bahkan harus hafal bahan-bahan pelajaran yang akan diujikan. Seorang pemalas biasanya ada saja alasan untuk tidak belajar atau membaca buku-buku yang dijadikan rujukan pembuatan soal ujian. Mestinya, berbekal kajian-kajian psikologi memungkinkan seseorang dapat memahami bahan ajar dengan mudah. Belajar yang menyenangkan mestinya juga memungkinkan siswa dapat belajar dengan enjoy mencerna semua informasi dan langsung melekat pada ingatannya.
2. Ingin membahagiakan pihak lain.
Katakanlah, siswa yang menginginkan pihak lain atau orang tuanya tersenyum bahagia melihat anaknya berprestasi dengan digambarkan pada perolehan angka-angka yang fantastis dalam nilai rapornya. Karena kurang persiapan, malas, atau alasan lainnya, ia memakai cara-cara yang tidak sah yakni dengan menyontek. Ia tak memedulikan cara ini sesuai dengan norma-norma yang ada atau tidak ada. 

Baginya, yang terpenting adalah bisa menjawab soal-soal ujian dengan mudah karena melihat sontekan dan nilainya bagus. Titik. Padahal, kebahagian sejati para orang tua dapat dipastikan adalah perolehan nilai ujian anaknya tinggi, memuaskan, dan diraih dengan cara-cara elegan dan bermartabat.

3. Malu jika tidak disebut berprestasi.
Mengapa harus malu ketika tidak berprestasi? Sesungguhnya prestasi itu bukan sesuatu yang bisa didapat dalam sekejap melalui kata-kata magic bim sala bim, tetapi harus diperjuangkan melalui ketekunan.

Tubagus Wahyudi, pakar hipnotis dan public speaking terkenal, pernah mengemukakan bahwa salah satu cara untuk menguasai sensorik power adalah dengan tetap melakukan ketekunan. Ketekunan dalam bidang ilmu, hobi, penelitian, dll akan membuat dan mengantarkan seseorang menjadi pakar pada bidang tertentu tersebut. Bahkan, hobi yang ditekuni dapat menjadi sumber penghasilan dan sandaran hidup.

Jadi, agar berprestasi ya janganlah menyontek. Tetapi, jalankanlah ketekunan dengan tetap membaca buku, baik sebelum maupun setelah bahan ajar itu dipresentasikan oleh guru atau dosen.

4. Bahan yang diujikan tidak menarik.
Mengapa tidak menarik? Kalau dibandingkan dengan pepatah “tidak ada orang yang bodoh di dunia ini melainkan malas”, maka sebenarnya tidak ada ujian yang tidak menarik. Yang ada adalah seseorang yang tidak bisa menyikapi sesuatu dengan pandangan yang berbeda dari biasanya.

Agar lebih bijak, cobalah untuk tidak memblok pikiran kita tentang suatu pelajaran: Matematika itu sulit! Fisika dan Kimia apalagi! Hal ini sangat berpengaruh besar terhadap kesiapan mental kita dalam menghadapi ujian.

Agar menarik, bisa juga minta bantuan teman atau kakak kelas yang pandai di mata pelajaran tersebut. Bisa juga dengan membentuk kelompok belajar, kemudian membuat kuis cerdas cermat antar individu!

Ada banyak cara agar membuat pelajaran yang diujikan menjadi menarik, Sob... cobalah berkreativitas!

5. Sistem pengawasan ujian yang longgar.
Pengawasan yang longgar dapat memunculkan ide bagi para pecundang untuk menyontek. Sedangkan pengawasan ujian yang ekstra ketat juga memungkinkan peserta menjadi lebih stres menghadapi soal-soal ujian. Tentu saja yang terbaik adalah yang pertengahan, tidak longgar dan tidak ketat pula. 

Menyontek dan Kasus Ujian Nasioanl
Kalau diperhatikan sejak Ujian Nasional sebagai faktor penentu kelulusan seorang siswa dari sekolah yang ditetapkan oleh pemerintah, terjadi banyak kasus yang mana guru menjadi “tim sukses”. Mereka seabagai pengawas ujian, bukannya mengawasi jalannya ujian agar berjalan tertib dan aman, tetapi malahan memberikan jawaban kepada para peserta. Antar pengawas terjadi pemahaman TST (tahu sama tahu).

Mengapa itu dilakukan? Banyak pihak beralasan; agar siswanya lulus ujian, karena kalau tidak dibantu akan banyak yang tidak lulus. Akibatnya, reputasi sekolahnya pun bisa hancur. Lebih-lebih sekolah swasta yang kualitasnya biasa saja (standar) yang mana mati hidupnya sangat bergantung pada penerimaan jumlah siswanya.

Dalam kasus ini sebenarnya seperti melihat lingkaran setan. Karena, banyak pihak menyatakan guru ditekan oleh kepala sekolah. Sedangkan kepala sekolah mengaku ditekan oleh ketua yayasan atau atasan langsungnya, seperti kepala dinas pendidikan atau kepala kantor cabang departemen yang ada di kabupaten yang menangani pendidikan. Dalam kasus ini, menyontek justru terjadi secara masif, masal, dan bahkan semi legal, karena justru disponsori oleh para pengawas itu sendiri.

Janganlah menyalahkan siswa karena siswa datang ke sekolah adalah untuk belajar. Belajar yang menurut KKBI adalah “proses perubahan tingkah laku, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.”
Dan, janganlah pula menyalahkan soalnya yang terlalu tinggi. 

Dalam sebuah kesempatan pejabat Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional pernah menyakatan bahwa soal matematika SD kelas 6 di Indonesia adalah yang paling mudah se-ASEAN. Bagaimana jika dibandingkan dengan kawasan lain? Bagaimana bila dibandingkan se-Asia? Se-dunia? Wajarlah demikian, sehingga sampai-sampai Human Development Index (HDI) Indonesia merupakan yang paling rendah. Bahkan, katanya berada pada titik nadir, yaitu lebih rendah daripada Vietnam, negara yang belum terlalu lama bangkit dari sisa-sisa reruntuhan perang bersenjata melawan hegemoni Amerika Serikat (AS).

Akibat Menyontek
Bagi yang menyontek ketahuan oleh pengawas dapat dipastikan bagaimana kisah selanjutnya. Bisa dikeluarkan dari ruang ujian dan menanggung malu, dan bahkan lebih fatal lagi adalah adalah didiskualifikasi dan dinyatakan tidak lulus ujian.

Hal ini pernah terjadi pada siswa di sebuah SLTA favorit di Jakarta Timur. Ia adalah siswa yang pintar dan rajin. Ia dikeluarkan dari ruang ujian bahkan tidak diluluskan bukan karena ia menyontek. Tetapi, yang ia lakukan adalah memberi sontekan pada yang lainnya. Bahkan, mestinya guru sebagai pengawas yang memberikan sontekan pada siswanya mestinya jugadikeluarkan dari jabatan atau profesinya, karena ia kontraproduktif dengan usaha-usaha sebelumnya, yaitu menanamkan banyak nilai dan norma bahwa siswa harus memegang kejujuran sekalipun langit akan runtuh.

Akibat lebih jauh ketika seseorang sudah lulus dari lembaga pendidikan maka ia tidak bisa menghadapi persoalan kehidupannya. Mengapa banyak produk sekolah yang menganggur? Jangan-jangan, itu karena penanaman nilai di sekolah mengalami kegagalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar