Jeko
adalah kuda yang paling gagah di hutan. Tidak hanya gagah, ia pun kuat
dan dapat berlari dengan cepat. Saking hebatnya, warga hutan yang lain
memberikan gelar “Kuda Perkasa” padanya.
Sayangnya, perilaku Jeko tidak sehebat
kemampuannya. Karena merasa dirinya yang paling jago, ia menjadi sombong
dan sering menganggap remeh binatang lain. Tabiat buruknya yang lain
adalah selalu ingin dipuja. Itu sebabnya ia iri setengah mati terhadap
Jimbo.
Ya, Jimbo adalah kuda gemuk yang
cenderung pendiam. Walaupun begitu, penghuni hutan lain senang kepadanya
karena ia suka menolong dan ramah. Berbeda 180 derajat dengan Jeko.
Suatu hari Jeko pun mendatangi Jimbo yang sedang makan rumput di pinggir sungai.
“Hei Jimbo, ayo kita berlomba mengelilingi bukit timur itu!” tantang Jeko tanpa berbasa-basi. “Aku ingin tahu, siapa diantara kita yang paling hebat?”
Jimbo menoleh dengan santai ke arah Jeko
“Buat apa ah?” jawabnya, “Kan sudah jelas, kamulah kuda paling hebat di hutan ini. Aku jelas gak mungkin menang melawanmu.”
“Tidak peduli!”, tukas Jeko. Kasar. “Pokoknya aku ingin kita bertanding. Kalau tidak, aku akan hancurkan rumah kayu milik Bu william Berang-berang yang kamu buat untuknya bulan lalu.”
Jimbo tertegun. Ingatannya melayang ke
Bu william. Badannya yang sudah tua. Bulu-bulunya yang mulai memutih.
Tongkat penyangga jalannya.
“Baiklah,” ujarnya sambil mengangguk lirih. “Kapan kita bertanding?”
Jeko menjawab sambil tersenyum sinis, “Besok sore.”
Malamnya Jeko mulai membayangkan dirinya
yang tengah berlari di bukit timur dengan gagah. Bulunya yang hitam
berkilauan terkena cahaya matahari sunset. Kakinya yang kokoh menapak mantap di atas tanah bukit timur yang berbatuan menimbulkan suara yang keras.
Ketepok. Ketepok. Ketepok.
Mendadak ia terkikik. Ia membayangkan
Jimbo yang gemuk berlari dengan terengah-engah menaiki bukit dan
akhirnya tersungkur kecapekan.
“Kemenangan sudah jelas ada
di tanganku,” batin Jeko. “Apabila aku menang, penduduk hutan akan
makin menyadari bahwa aku lah kuda terhebat di sini. Popularitasku pasti
akan jauh melebihi Jimbo. Sekarang aku harus cari cara agar aku tampak
keren di hadapan mereka saat masuk ke garis finish.”
Ia berpikir. Tiba-tiba ia teringat pada
majalah mingguan “Beken” yang ia beli minggu lalu. Jeko pun mengambil
majalah tersebut dari laci lemarinya dan mulai membuka lembar demi
lembar. Sampai akhirnya…
“Ini dia!!!” teriak Jeko sambil
menunjukkan jari tangannya ke sebuah iklan tentang kacamata hitam.
“Dengan ini aku pasti akan tambah cool di depan warga hutan.”
Keesokan harinya, Jeko menyempatkan diri untuk pergi ke mall
dan membeli kacamata hitam yang paling mentereng. Setelah bersiap
dengan menggunakan tapal kudanya yang berbalut emas, ia pun bergegas
menuju ke bukit timur, tempat ia akan bertanding dengan Jimbo.
Sesampainya di sana, tampak Jimbo sedang
berbincang riang dengan teman-temannya. Ada yoyo si Kura-Kura, poo si
burung Nuri, dan bu william Berang-Berang. Warga hutan lainnya pun
berjejer di sepanjang jalur, bersiap untuk menyaksikan lomba antara
Jimbo dan Jeko.
“Ayo segera kita mulai!” kata Jeko sembari memakai kacamata hitamnya yang baru.
Jimbo memandang Jeko dengan wajah aneh.
Perhatiannya tertuju pada kacamata hitam Jeko dan label harganya yang
entah sengaja atau tidak, lupa dicopotnya.
Namun Jimbo tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, ia meminta poo untuk membantu memasangkan kacamata kudanya yang sudah agak butut.
Kedua kuda itu pun bersiap di garis
Start. Pak tigo Harimau yang bertugas sebagai penjaga garis
melambai-lambaikan bendera putih di depan mereka. Dalam hitungan ketiga,
ia menurunkan bendera dengan bersemangat sambil berteriak lantang,
“Mulai!!!”
Jeko langsung melesat. Julukannya
sebagai “Kuda Perkasa” memang bukan main-main. Dalam hitungan detik, ia
sudah tidak tampak di balik bukit. Sebaliknya, Jimbo melaju dengan
sambil menjaga kecepatan dan staminanya. Ia sadari bahwa dalam urusan
keduanya, ia bukan tandingan Jeko, oleh karena itu ia harus berhati-hati
dan tidak boleh gegabah.
Jeko yang jauh memimpin di depan tertawa
lebar-lebar sambil terus memacu kecepatannya. Ia sudah tidak kuasa lagi
membayangkan kemenangannya. Di hadapannya sudah tampak Bukit Curam,
bukit terakhir dari deretan Bukit Timur.
Bukit Curam terkenal sebagai bukit
paling berbahaya di daerah itu. Berbatu dan memiliki sudut tanjakan yang
sempit. Siapa saja yang tidak berhati-hati pasti akan celaka. Di sisi
lain, pemandangan dari atas
Bukit Curam cukup indah. Dari sana terlihat jelas pemandangan hutan
serta danau Leka yang luas dan banyak ikannya. Warga hutan sering
berkumpul di danau tersebut, baik untuk mandi maupun sekedar untuk
bersantai dan bersosialisasi.
Beberapa langkah menuruni Bukit Curam,
perhatian Jeko terpecah. Di bawah, tampak Elena, kuda betina yang jadi
incarannya sejak masa sekolah dulu, sedang mematut-matut tubuhnya di
hamparan air danau yang jernih. Tidak lagi konsentrasi terhadap jalan di
depannya, kaki kanan Jeko tanpa sengaja menabrak sebuah batu yang cukup
besar.
Jeko oleng. Ia terjungkal dan
menggelinding ke sisi kiri bukit sebelum akhirnya mencapai garis finish
barunya di sebuah kubangan tepat di samping Elena yang melongo melihat
adegan akrobat gratis.
Byurrrrr.
Sejurus kemudian, Elena tertawa
terbahak-bahak. Tanpa mempedulikan Jeko yang kesakitan setelah
terguling-guling di bukit berbatu. Tanpa mempedulikan wajah Jeko yang
merah padam. Tanpa mempedulikan kacamata hitam Jeko yang patah. Tanpa
mempedulikan perasaan Jeko yang bingung antara menahan sakit dengan
menahan malu.
Saat ia mencoba untuk berdiri (dengan
diiringi tawa Elena yang masih berkesinambungan), terdengar sorak sorai
warga hutan. Rupanya Jimbo telah tiba di garis finish. Agak
terengah-engah, tapi setidaknya ia sampai ke tujuan dengan berlari,
bukan dengan menggelinding.
Dari kejauhan, ia menatap Jeko (yang
masih mencoba berdiri) dan Elena (yang masih terus tertawa). Jimbo juga
suka pada Elena dan ia mungkin akan melakukan kesalahan yang sama
seperti Jeko seandainya ia tidak menggunakan kacamata kudanya. Ya,
kacamata itulah yang membantunya untuk tetap berkonsentrasi sepanjang
lomba.
Jimbo mengangkat kaki kanannya, ingin
berjalan ke arah Jeko. Tapi kawan-kawan dan penghuni hutan lainnya mulai
mengerubunginya, sibuk memberinya selamat dan memintanya bercerita
tentang perasaannya. Akhirnya Jimbo pun membatalkan niatnya untuk
membantu Jeko.
“Semoga ia baik-baik saja,” gumamnya.
See... setiap orang mungkin membutuhkan kacamata kuda agar tetap fokus dengan apa yang harus dikerjakannya, ya, Sob? ^__^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar