DEDIKASI TOTAL: May Ronald di Terminal Bungurasih. Sudah sepuluh kali dia tidak mudik Lebaran. Foto: Suryo Eko Prasetyo/Jawa Pos
BANYAK pejabat
tidak bisa berlebaran dengan layak karena tugas. Salah seorang yang
tidak bisa kumpul keluarga adalah May Ronald. Kepala UPTD Terminal
Purabaya itu harus turun langsung untuk mengawal kelancaran transportasi
di terminal terbesar di Jatim tersebut.
JARUM jam di dinding ruangan siaran keberangkatan hampir mendekati pukul 24.00. Lalu-lalang penumpang dan bus yang datang dan yang berangkat menjelang Jumat (25/7) dini hari itu terlihat sambung-menyambung. Sambil membawa handy talkie (HT), May Ronald memonitor suasana jalur keberangkatan dari dalam pos siar yang dikelilingi kaca bening.
Sesekali Ronald keluar ruangan menuju selasar ruang tunggu penumpang bus antarkota di lantai 1 untuk mendapat udara segar.
’’Sampai pukul 22.00 pada H-4 Lebaran
tahun ini (Kamis, 24 Juli 2014), jumlah penumpang datang maupun
berangkat sedikitnya 62 ribu orang,’’ terang Ronald. Update data setiap
saat dilakukan jajarannya. Selain dilaporkan ke kantor Dinas Perhubungan
Surabaya, data tersebut menjadi acuan.
Jika mendekati angka 75 ribu penumpang,
kecenderungannya terjadi kelangkaan armada bus antarkota. Apalagi, jika
menembus 100 ribu penumpang, Terminal Purabaya akan menjadi seperti
lautan manusia.
Keamanan dan kenyamanan pengguna jasa
terminal seluas 12 hektare itu terancam terganggu. Kalau sudah begitu,
atas izin Dishub dan Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) Jatim, mereka
mendapat lampu hijau mengoperasikan armada cadangan.
Menjaga keseimbangan antara jumlah permintaan dari penumpang berangkat dan ketersediaan bus menjadi seni tersendiri bagi Ronald. Selain mengelola aspek pelayanan kepada
pengguna jasa terminal, pejabat yang membawahi sedikitnya 202 pegawai
itu harus menjaga tiga aspek lain. Yakni, keamanan dan ketertiban, tata
kelola terminal, serta target pendapatan untuk disetor ke kas Pemkot
Surabaya.
Di terminal yang terletak di Bungurasih,
Waru, tersebut, Ronald adalah personel UPTD terlama. Banyak rekan
seangkatannya dari era dishub masih berupa Kantor Wilayah (Kanwil)
Perhubungan Darat VIII Jatim-Bali (awal 1980-an) hingga Dinas LLAJ Jatim
(era akhir 1980-an) yang pensiun. Arek Suroboyo kelahiran Kalianak,
Asemrowo, yang baru genap 56 tahun pada 29 Mei 2014 lalu itu sejatinya
sudah purnatugas.
’’Padahal, saya sudah melengkapi berkas
pengunduran diri. Berkas saya ajukan mulai awal 2014 agar pas akhir Mei
kemarin dipensiun,’’ ujar Ronald dengan pandangan menerawang.
Ronald bisa menunjukkan sepak terjang di
Purabaya berkat berbagai penugasan sebagai abdi negara. Dia merintis
karir dari staf urusan data penyeberangan kapal feri lalu lintas
angkutan sungai danau dan penyeberangan kanwil pada 1982–1988.
Selama masa peralihan kanwil menjelang
era otonomi daerah, Ronald ditarik sebagai staf DLLAJ Jatim. Setahun
kemudian, dia dimutasi ke DLLAJ Jatim Cabang Probolinggo, tepatnya di
Terminal Lama Bayuangga. Sejak itu, Ronald bergelut dengan urusan
terminal.
’’Tugas saya sebagai staf ketika itu
serabutan. Seringnya membantu menjaga pos-pos di terminal,’’ kenang
suami Siti Aisyah, rekan sekantornya saat dinas di DLLAJ Jatim, itu.
Mulai mei 1990, dia dimutasi ke Cabang
Lumajang. Kala itu Ronald ditempatkan sebagai staf jembatan timbang
Klakah. Dunia baru dia lakoni ketika dimutasi lagi menjadi staf Tata
Usaha DLLAJ Jatim Cabang Lumajang.
Prinsip di mana bumi dipijak di situ
langit dijunjung diterapkan Ronald untuk mempermudah adaptasi. Tidak
sampai genap empat tahun sebagai staf TU, dia dimutasi kembali ke
Surabaya. Tantangan mengawaki Terminal Purabaya
yang pengoperasiannya baru diresmikan dirasakan Ronald pada 1991. Meski
secara administratif berada di wilayah Pemkab Sidoarjo, terminal tipe A
itu berada di bawah pengelolaan DLLAJ Jatim Cabang Wiyung.
’’Ketika itu saya menjadi anggota regu C
yang berkekuatan sekitar 20 personel,’’ imbuhnya. Tugasnya lebih fokus
ke operasional. Urusan terkait pendapatan dikelola dinas terminal.
Sebelum menjabat kepala UPTD Terminal
Purabaya, alumnus SMA Frateran Surabaya itu berstatus staf di Bungurasih
selama 15 tahun. Selama itu, lima periode kepala terminal silih
berganti menjabat. Mulai Mulyono, Budi Utomo, Eddi (sekarang kepala
Dishub Surabaya), Indera Gani (kepala UPTD Terminal Tambak Osowilangun),
dan Eddi lagi (periode kedua).
Selama belasan tahun, anak sulung
sembilan bersaudara tersebut dapat merampungkan pendidikan tinggi strata
satu hingga strata dua. Sebelum itu, Ronald hanya mengenyam pendidikan
sarjana muda Ekonomi Manajemen Universitas Surabaya.
Tugas menjaga pos dia manfaatkan untuk
menyelesaikan skripsi ketika melanjutkan kuliah tiga tahun di
Universitas Sunan Giri Surabaya hingga 2002. Tiga tahun berselang, dia menuntaskan
pendidikan strata dua Manajemen Sumber Daya Manusia STIE Mahardika
Surabaya. ’’Berkat menjaga pos bus kota dan pos taksi di bagian belakang
(terminal sisi selatan), saya bisa menyelesaikan tugas-tugas kuliah,’’
ucapnya.
Berkat kinerja yang mumpuni, Ronald
mendapat promosi fungsional dari staf biasa menjadi kepala sub pelaksana
(Kasubpel) Regu C UPTD Terminal Purabaya. Setelah itu, Ronald dipromosikan menjadi
Kasubpel pendapatan dan kepala UPTD menggantikan Eddi. Peningkatan
karir setapak demi setapak itu Ronald akui diraih berkat didikan Sawir
Adnan, sang ayah yang merupakan prajurit TNI-AL.
Juru mesin kapal perang keturunan
Padang, Sumatera Barat, tersebut pernah bertugas di KRI Irian, KRI
Sisingamangaraja, KRI Sawunggaling, dan KRI Pulau Aru. Berbagai negara di Eropa maupun Amerika
pernah dijelajahi Sawir. Ketegasan dan kedisiplinan yang diterapkan
orang tua membuat Ronald menjadi contoh sukses delapan adik-adiknya.
’’Contoh sederhana ajaran bapak saya,
pakai segala baju harus dimasukkan. Rambut pantang panjang, apalagi
sampai gondrong,’’ kenang bapak tiga anak dan dua cucu itu.
Nama May Ronald sendiri diberikan
lantaran dia dilahirkan pada Mei. Kemudian, Sawir, ketika istrinya
mengandung anak pertama, menggandrungi figur Ronald Reagan, aktor film
koboi Amerika Serikat era 1950-an yang menjadi presiden AS 1981–1989.
Ronald memang punya garis keturunan
Belanda dari neneknya. Sang ibu berasal dari Sangihe Talaud, Sulawesi
Utara. ’’Istri saya asli Tulungagung. Kami keluarga Bineka Tunggal
Ika,’’ seloroh Ronald.
Dipercayanya Ronald menjadi orang nomor
satu di Purabaya sejak 28 Desember 2008 semula tidak dia duga. Ronald
mendapat undangan Wali Kota Surabaya era Bambang D.H. untuk menyaksikan
pelantikan pejabat eselon III dan IV di Graha Sawunggaling.
’’Begitu sampai lokasi, saya dibariskan
dengan pejabat yang hendak dilantik di depan wali kota. Saya kaget dan
tidak mengira jadi kepala UPT karena sebelumnya memang gak tahu,’’
ujarnya.
Selama hampir enam tahun memimpin
Purabaya, berbagai apresiasi atau penghargaan dia sabet. Di antaranya,
sertifikasi ISO 9001:2008, Unit Pelayanan Publik Predikat Baik dari
Pemprov Jatim (2009 dan 2011), Plakat Terminal Terbaik (2011), gelar
Lingkungan Kerja Aman dari Polres Sidoarjo (2012), serta Penyelenggara
dan Kebersihan dari Kemenhub (2013).
’’Era kepemimpinan saya gak pernah studi
banding. Justru pengelola terminal hampir se-Indonesia dan dari Timor
Leste pada belajar ke Purabaya,’’ katanya dengan bangga.Hal itu diraih berkat tangan dingin
Ronald melanjutkan estafet Eddi yang memang dikenal tegas. Selain tanpa
kompromi, dia berupaya menegakkan aturan.
’’Prinsip saya tepa selira (tenggang rasa). Asal tidak mau dirusuhi (diganggu), ya jangan ngrusuni (mengganggu)’’ tutur Ronald. Di sisi lain, perpanjangan masa pensiun
hingga 2016 saat dia berumur 58 tahun mendatang membuat momen Lebaran
Ronald bersama keluarga di kampung halaman terancam sirna.
Dari 19 tahun bertugas di Purabaya,
hampir 10 kali perayaan Idul Fitri tidak dapat Ronald rayakan bersama
istri, anak-anak, cucu, serta keluarga besar mertuanya di Tulungagung. ’’Lebaran 2014 nanti yang ke-10 di Bungur. Harapan saya pribadi, akan ada penyegaran,’’ katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar