DEDIKASI
TINGGI: Dari kiri, Agus Saleh, Evan Patrick Philips, dan Evi Yulia
berbincang di sela-sela melayani tamu di Cafe Inggris Pare. Foto: Dimas
Alif/Jawa Pos
BANYAK pengusaha
kafe yang menyajikan suasana khas untuk menarik perhatian pengunjung.
Agus Saleh, pengusaha Café Inggris Pare, juga melakukan itu. Tidak
sekadar menarik minat, dia juga mengajari pengunjung kafenya.
ANDA boleh beranggapan bahwa kafe di City of Tomorrow itu seperti tempat
nongkrong lainnya. Penataan kursinya tidak menunjukkan keistimewaan
khas. Minibar dan sejumlah mejanya pun lazimnya kafe ’’biasa’’.
Tapi, kalau Anda sudah bertemu dengan
dua pelayan di kafe tersebut, Evan Patrick Philips dan Evi Yulia,
pikiran Anda pasti berubah. Ini kafe spesial betul.
Evan adalah pemuda Amerika. Sedangkan
Evi, warga Indonesia, fasih casciscus dalam bahasa asing. Selama
melayani tamu, keduanya tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia.
Selalu bahasa Inggris plus beberapa bahasa lainnya.
’’Sesuai namanya, kafe ini identik
dengan bahasa asing,’’ ujar Evi. Konsep itu berlaku pula bagi
pengunjung. Untuk memesan menu, mereka harus menggunakan bahasa Inggris.
Tanpa bahasa itu, dua orang tersebut tidak akan melayani. ’’Kami paksa mereka untuk berbicara dengan bahasa Inggris,’’ paparnya.
Itu dialami Hendry, warga Ketintang,
yang mengunjungi kafe tersebut. Dia kaget ketika Evan menyajikan menu
dengan bahasa Inggris. ’’Silakan pilih dan saya akan membantu Anda,’’
ucap pria 23 tahun itu dalam bahasa Inggris.
Hendry yang merasa tidak percaya diri
kelihatan kikuk. Dia bertanya dengan bahasa Indonesia tentang menu di
kafe itu. Tapi Evan menolak. ’’No, no. You must speak in English,’’
ucapnya.
Pelan-pelan Evan mengajak Hendry
berkomunikasi. Berawal dengan menanyakan nama, alamat, dan dengan siapa
Hendry datang ke kafe tersebut. Awalnya, Hendry terlihat terpaksa.
Dengan bahasa yang belepotan, Hendry mencoba menjawab pertanyaan Evan.
Jika salah, Evan membenarkan kosakata yang diungkapkan Hendry secara
telaten.
Tidak lama, Evan memperlihatkan buku
menu yang dibawanya sejak tadi. Dia menunjukkan beberapa menu yang
tercantum di buku itu. Komunikasi antara Hendry dan Evan pun terjalin.
Hanya sesekali Hendry terlihat bingung karena ada kosakata yang belum
dipahami.pPerlahan-lahan, Hendry melihat menu-menu khas kafe, seperti aneka sajian kopi, roti isi, kentang goreng, dan lain-lain.
Pada waktu yang hampir bersamaan, ada
pengunjung lain yang masuk ke kafe itu. Dia warga Tionghoa. Sepertinya,
perempuan bernama Mey Ling tersebut sudah terbiasa datang ke kafe itu.
Begitu masuk, dia langsung menemui Evi.
’’Ni hao ma (apa kabar, Red)?’’ kata Mey
Ling sambil menjabat tangan Evi. Dua perempuan itu lantas
bercakap-cakap dalam bahasa Mandarin. Suasana interaksi dengan berbagai
bahasa pun terwujud di kafe tersebut. Hendry yang semula malu-malu
berbahasa Inggris juga terlihat sudah biasa. Bahkan, dia mulai bercanda
tawa dengan Evan yang berasal dari New York.
Pengalaman Hendry sangat menarik. Pasti
banyak yang ingin merasakannya. Saat ini hampir semua orang pernah
belajar bahasa Inggris. Namun, sedikit yang bisa mempraktikkannya. Salah
satu kendala adalah kurangnya partner berkomunikasi dengan bahasa
tersebut. Padahal, bahasa lebih luwes jika dipraktikkan, bukan dihafal.
Ide dan konsep tersebut dihadirkan Agus
Saleh, 49. Pria kelahiran Surabaya itu awalnya prihatin dengan potensi
masyarakat Indonesia yang belum tergali. Dia merenung arti pentingnya
bahasa untuk kehidupan sehari-hari. ’’Tapi, masyarakat masih lemah di
bidang itu,’’ ucapnya.
Agus tidak menyalahkan kurikulum
pendidikan di Indonesia. Pengenalan bahasa asing dimulai sejak dini.
Bahkan, TK sekarang sudah mengenal bahasa tersebut. Namun, praktik untuk
mengucapkan, mendengarkan, dan menulis yang masih kurang. ’’Dari situ,
muncul ide membuat tempat kongko-kongko dengan bahasa asing,’’ ujar
Agus.
Di kafe itu, kata dia, siapa pun boleh
masuk. Mereka yang fasih atau tidak dalam berbahasa Inggris bisa
kongko-kongko di tempat tersebut. Yang grotal-gratul pasti banyak diam.
Namun, dua pelayan itu akan terus mengajak ngobrol hingga akhirnya
berani mengucapkan kata demi kata.
Langkah yang diutamakan adalah
percakapan atau conversation. Masalah grammar dan lainnya akan ditata
melalui kebiasaan dalam bercakap langsung.
Penghobi baca itu menyebut lebih dari
113 pemuda dari beberapa negara yang sudah berkomunikasi dengan dirinya.
Mereka sangat tertarik dan sanggup bertukar ilmu dengan masyarakat
Indonesia. Evan adalah satu di antara mereka.
Café Inggris Pare sudah dua tahun
berdiri. Nama Pare diambil dari sebuah wilayah di Kediri yang dikenal
dengan kawasan pendidikan bahasa. Di wilayah itu, dikenal sosok pria
yang bernama Kalend Osen. Lelaki tersebut pendiri lembaga pendidikan
bahasa Inggris yang sudah meluluskan ribuan siswa.
Bersama Kalend, Agus menuturkan
keinginannya mendirikan tempat nonformal yang bernuansa bahasa. Kalend
tertarik dan mendukung rencana itu. Perlahan keinginan tersebut
diwujudkan dalam bentuk kafe sederhana. ’’Meski sederhana, ilmu yang
diserap dari tempat ini luar biasa,’’ ucapnya.
Pelayan di kafe itu juga bukan orang
sembarangan. Dia menyebut Evi yang hampir setahun bekerja di kafe
tersebut mahir tiga bahasa.
Selain Inggris, dia memahami bahasa
Spanyol dan Mandarin. ’’Tamu yang ingin belajar berbahasa Spanyol bisa
juga bercakap-cakap di kafe ini,’’ paparnya.
Begitu pula Evan. Pemuda itu mampu berbahasa Prancis dengan fasih. Keahliannya tersebut juga ditularkan kepada pengunjung kafe. Suami Dian Rusdiana itu berharap kafe
tersebut mampu menjadi jembatan bagi masyarakat Surabaya. Mereka yang
ingin fasih belajar berbahasa Inggris cukup nongkrong di tempat itu.
Tidak harus berlama-lama membahas metode bahasa Inggris yang terangkum
dalam buku tebal.
’’Cukup banyak praktik berbicara
langsung dengan buleyang setia melayani di kafe ini,’’ ucapnya dalam
bahasa Inggris. Yes, Sir..!
Sumber: http://www.jpnn.com/read/2014/08/01/249262/Satu-Meja-Pakai-Bahasa-Inggris,-Meja-Lain-Mandarin-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar