Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Bila mengalir jernih, airnya, jika tidak kan keruh menggenang
Dua
baris kalimat di atas merupakan penggalan dari syair karangan Imam
Syafi’i yang bercerita tentang keutamaan merantau. Namun, tulisan ini
tidak akan membahas tentang hal tersebut. Merantau, pada dasarnya adalah
berpindah dari daerah asalnya menuju satu tempat baru. Ada gerakan di
dalamnya, yakni gerak berpindah. Nah, tulisan ini akan membahas tentang
pentingnya bergerak melakukan sebuah kegiatan positif dibandingkan diam
di tempat.
Di
antara teman-teman, adakah yang saat ini sedang terperangkap di ruang
tunggu? Mungkin karena sedang menanti pengumuman kelulusan sekolah,
menanti diterima kerja, menanti dilamar ataupun penantian lain.
Menanti
sesuatu memang terkadang membosankan. Terlebih jika kita tidak tahu
“kapan” waktunya kita (misalnya dalam menanti jodoh). Namun, terkadang,
karena kita terlalu fokus dengan apa yang kita tunggu, kita justru
melupakan apa-apa yang bisa kita lakukan di ruang tunggu. Kita terbiasa
hanya diam, pasif, padahal diam adalah sumber keruhnya pikiran. Sering
kita justru menjadi malas-malasan dan tidak produktif saat pikiran kita
hanya dipenuhi pertanyaan “Kapan yang kita tunggu tiba?”
Cobalah
kita ambil hikmah dari sebuah fenomena alam di wilayah Palestina. Ada
dua laut di sana, yang mana memiliki sifat dan karakteristik berbeda.
Laut pertama bernama laut Galilea, merupakan sebuah laut jernih dan bisa
diminum airnya. Manusia maupun ikan bisa berenang di sana. Ladang dan
perkebunan hijau pun mengelilingi laut tersebut. Banyak orang mendirikan
rumah di sekitarnya.
Laut
kedua bernama Laut Mati. Sesuai namanya, segala sesuatu yang ada di
dalamnya mati. Airnya sangat asin, sehingga manusia bisa sakit jika
meminumnya. Dalam laut itu, tak ada ikan dan tak ada sesuatupun yang
bisa tumbuh di tepiannya. Tak satupun orang ingin bertempat tinggal di
sekitarnya, karena baunya sangat tidak sedap.
Yang
menarik dari kedua laut itu adalah adanya satu sungai yang mengaliri
keduanya. Namanya sungai Jordan. Namun, mengapa sifat dan karakteristik
kedua laut tersebut bisa berbeda walau dialiri sungai yang sama?
Perbedaannya
adalah, Laut Galilea menerima aliran air dari sungai Jordan lantas
mengalirkannya lagi ke arah lain. Sementara, Laut Mati hanya menampung
air dari sungai dan tidak mengalirkannya.
Sungai
Jordan mengalir ke Laut Galilea dan mengalir keluar dari dasar laut
tersebut. Laut itu memanfaatkan air sungai Jordan kemudian meneruskan ke
laut lain yang juga memanfaatkannya. Sungai Jordan kemudian mengalir ke
Laut Mati, tetapi airnya tak pernah keluar lagi. Laut Mati menyimpan
air Jordan itu untuk dirinya sendiri, dan itulah yang membuatnya mati.
Nah,
jika kita kembali pada permasalahan tentang penantian, kita bisa
umpamakan, aliran sungai Jordan sebagai aliran waktu, dan kitalah
lautnya. Ada dua pilihan yang bisa kita ambil. Apakah kita memanfaatkan
aliran “waktu”, atau justru diam, hingga kita mati.
Coba
sejenak amati keadaan orang-orang di ruang tunggu. Entah itu di
stasiun, kantor pos, ataupun situasi dan tempat yang lain. Kira-kira,
apa yang mereka lakukan? Ah, bahkan tak perlu jauh-jauh mengamati orang
lain, kita cukup menilik diri sendiri, apa yang biasa kita lakukan dalam
situasi di ruang tunggu?
Apakah
kita temui diri sebagai seseorang yang terus menerus melirik meja
pelayanan dan layar penunjuk nomor antrian? Adakah kita termasuk dalam
orang-orang yang terus mengubah posisi, diam sejenak lantas berdiri lalu
duduk lagi, terlihat gelisah dan seringkali melihat ke jam tangan? Atau
kita termasuk yang sering mengomel “Lama banget sih…”
Sekarang, kita beralih pada ruang tunggu yang lebih tak pasti. Saat menjadi jobseeker,
atau saat mengikhtiarkan jodoh. Dua peristiwa yang kita tidak bisa tahu
pasti kapan waktunya kita. Apa yang kita lakukan pada saat-saat itu?
Terutama saat penolakan demi penolakan tiba? Terutama saat orang-orang
sekitar sudah mulai meninggalkan ruang tunggunya masing-masing?
Adakah
kita termasuk yang terus mengeluh, galau, gelisah, dan terus
mempertanyakan “Kenapa saya yang harus menanti sedemikian lama?”
Jika
iya, maka kita sudah menjelma menjadi Laut Mati. Kita hanya membiarkan
aliran waktu itu menumpuk di kepala kita, tanpa dimanfaatkan. Kita telah
menjelma menjadi air yang menggenang. Patutlah jika lantas pikiran kita
keruh, serasa ingin terus marah, gelisah, ketika giliran kita belum
juga tiba.
Namun,
alangkah leganya jika ternyata kita menemui diri ini sebagai
orang-orang yang tetap tenang di ruang tunggu, mungkin memanfaatkan
aliran waktu dengan membaca koran, buku atau lebih menenangkan lagi jika
langsung memegang Al Qur’an untuk tilawah. Lalu, seperti Laut Galilea,
kita mengalokasikan aliran waktu untuk orang lain. Di ruang tunggu,
tanpa sengaja lensa mata menangkap adanya seorang Bapak yang kesulitan
mengisi formulir karena kacamatanya tertinggal, lantas kita menawarkan
untuk membantu. Alangkah jauh lebih menentramkan.
Alangkah
leganya ketika kita mendapati diri sebagai mereka tetap tenang meski
didera badai ketidakpastian. Tidak termenung dan mudah bangkit jika yang
ada adalah penolakan. Terus mengupayakan agar aliran waktu yang
diterima bermanfaat, meniru Laut Galilea. Mungkin, sembari menanti
datangnya jodoh, atau datangnya tawaran kerja, kita bisa memberikan
waktu kita untuk lebih memperhatikan orang tua, memberikan waktu kita
untuk menulis, belajar, membaca, berbisnis, atau bahkan yang lebih
mulia, bekerja untuk kepentingan umat, misal melalui organisasi
kemasyarakatan. Alangkah lebih menentramkan, alangkah lebih menjernihkan
batin dan pikiran.
Jadi,
kesimpulannya, tetaplah bergerak walau engkau sedang di ruang tunggu.
Sebab bergerak akan membuat kita lebih jernih. Sebab diam menggenang
mengeruhkan pikir. Mengalirlah dengan penuh manfaat! Kemudian tanpa
terasa, tiba-tiba nama kita telah dipanggil, bahwa giliran kita sudah
tiba. Dan masa menanti kita, telah dipenuhi oleh hal-hal yang
bermanfaat. Bukan sekedar diam. Inilah yang dimaksud “Bersabarlah kamu
dengan sabar yang baik.” Sabar yang aktif, bukan sabar yang pasif. Nah,
sekarang, sudah siapkah kita untuk terus bergerak?
NB: Referensi tentang fenomena Laut Galilea dan Laut Mati diambil dari buku “Sesegar Telaga Kautsar” karya DR. Ahmad Hatta, PhD
Hanifati
Nur Shabrina,
Sumber: http://annida-online.com/artikel-9097-bergeraklah-meski-kau-ada-di-ruang-tunggu.html
Terus Baca Kisah Motivasi lainnya disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar