Sabtu, 02 Agustus 2014

Bergeraklah, Sekalipun Kau Ada di Ruang Tunggu

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan

 Bila mengalir jernih, airnya, jika tidak kan keruh menggenang

 Dua baris kalimat di atas merupakan penggalan dari syair karangan Imam Syafi’i yang bercerita tentang keutamaan merantau. Namun, tulisan ini tidak akan membahas tentang hal tersebut. Merantau, pada dasarnya adalah berpindah dari daerah asalnya menuju satu tempat baru. Ada gerakan di dalamnya, yakni gerak berpindah. Nah, tulisan ini akan membahas tentang pentingnya bergerak melakukan sebuah kegiatan positif dibandingkan diam di tempat. 


Di antara teman-teman, adakah yang saat ini sedang terperangkap di ruang tunggu? Mungkin karena sedang menanti pengumuman kelulusan sekolah, menanti diterima kerja, menanti dilamar ataupun penantian lain.

 

Menanti sesuatu memang terkadang membosankan. Terlebih jika kita tidak tahu “kapan” waktunya kita (misalnya dalam menanti jodoh). Namun, terkadang, karena kita terlalu fokus dengan apa yang kita tunggu, kita justru melupakan apa-apa yang bisa kita lakukan di ruang tunggu. Kita terbiasa hanya diam, pasif, padahal diam adalah sumber keruhnya pikiran. Sering kita justru menjadi malas-malasan dan tidak produktif saat pikiran kita hanya dipenuhi pertanyaan “Kapan yang kita tunggu tiba?” 


Cobalah kita ambil hikmah dari sebuah fenomena alam di wilayah Palestina. Ada dua laut di sana, yang mana memiliki sifat dan karakteristik berbeda. Laut pertama bernama laut Galilea, merupakan sebuah laut jernih dan bisa diminum airnya. Manusia maupun ikan bisa berenang di sana. Ladang dan perkebunan hijau pun mengelilingi laut tersebut. Banyak orang mendirikan rumah di sekitarnya.


Laut kedua bernama Laut Mati. Sesuai namanya, segala sesuatu yang ada di dalamnya mati. Airnya sangat asin, sehingga manusia bisa sakit jika meminumnya. Dalam laut itu, tak ada ikan dan tak ada sesuatupun yang bisa tumbuh di tepiannya. Tak satupun orang ingin bertempat tinggal di sekitarnya, karena baunya sangat tidak sedap.


Yang menarik dari kedua laut itu adalah adanya satu sungai yang mengaliri keduanya. Namanya sungai Jordan. Namun, mengapa sifat dan karakteristik kedua laut tersebut bisa berbeda walau dialiri sungai yang sama?


Perbedaannya adalah, Laut Galilea menerima aliran air dari sungai Jordan lantas mengalirkannya lagi ke arah lain. Sementara, Laut Mati hanya menampung air dari sungai dan tidak mengalirkannya. 


Sungai Jordan mengalir ke Laut Galilea dan mengalir keluar dari dasar laut tersebut. Laut itu memanfaatkan air sungai Jordan kemudian meneruskan ke laut lain yang juga memanfaatkannya. Sungai Jordan kemudian mengalir ke Laut Mati, tetapi airnya tak pernah keluar lagi. Laut Mati menyimpan air Jordan itu untuk dirinya sendiri, dan itulah yang membuatnya mati.


Nah, jika kita kembali pada permasalahan tentang penantian, kita bisa umpamakan, aliran sungai Jordan sebagai aliran waktu, dan kitalah lautnya. Ada dua pilihan yang bisa kita ambil. Apakah kita memanfaatkan aliran “waktu”, atau justru diam, hingga kita mati.


Coba sejenak amati keadaan orang-orang di ruang tunggu. Entah itu di stasiun, kantor pos, ataupun situasi dan tempat yang lain. Kira-kira, apa yang mereka lakukan? Ah, bahkan tak perlu jauh-jauh mengamati orang lain, kita cukup menilik diri sendiri, apa yang biasa kita lakukan dalam situasi di ruang tunggu?


Apakah kita temui diri sebagai seseorang yang terus menerus melirik meja pelayanan dan layar penunjuk nomor antrian? Adakah kita termasuk dalam orang-orang yang terus mengubah posisi, diam sejenak lantas berdiri lalu duduk lagi, terlihat gelisah dan seringkali melihat ke jam tangan? Atau kita termasuk yang sering mengomel “Lama banget sih…”


Sekarang, kita beralih pada ruang tunggu yang lebih tak pasti. Saat menjadi jobseeker, atau saat mengikhtiarkan jodoh. Dua peristiwa yang kita tidak bisa tahu pasti kapan waktunya kita. Apa yang kita lakukan pada saat-saat itu? Terutama saat penolakan demi penolakan tiba? Terutama saat orang-orang sekitar sudah mulai meninggalkan ruang tunggunya masing-masing?


Adakah kita termasuk yang terus mengeluh, galau, gelisah, dan terus mempertanyakan “Kenapa saya yang harus menanti sedemikian lama?” 


Jika iya, maka kita sudah menjelma menjadi Laut Mati. Kita hanya membiarkan aliran waktu itu menumpuk di kepala kita, tanpa dimanfaatkan. Kita telah menjelma menjadi air yang menggenang. Patutlah jika lantas pikiran kita keruh, serasa ingin terus marah, gelisah, ketika giliran kita belum juga tiba.


Namun, alangkah leganya jika ternyata kita menemui diri ini sebagai orang-orang yang tetap tenang di ruang tunggu, mungkin memanfaatkan aliran waktu dengan membaca koran, buku atau lebih menenangkan lagi jika langsung memegang Al Qur’an untuk tilawah. Lalu, seperti Laut Galilea, kita mengalokasikan aliran waktu untuk orang lain. Di ruang tunggu, tanpa sengaja lensa mata menangkap adanya seorang Bapak yang kesulitan mengisi formulir karena kacamatanya tertinggal, lantas kita menawarkan untuk membantu. Alangkah jauh lebih menentramkan.


Alangkah leganya ketika kita mendapati diri sebagai mereka tetap tenang meski didera badai ketidakpastian. Tidak termenung dan mudah bangkit jika yang ada adalah penolakan. Terus mengupayakan agar aliran waktu yang diterima bermanfaat, meniru Laut Galilea. Mungkin, sembari menanti datangnya jodoh, atau datangnya tawaran kerja, kita bisa memberikan waktu kita untuk lebih memperhatikan orang tua, memberikan waktu kita untuk menulis, belajar, membaca, berbisnis, atau bahkan yang lebih mulia, bekerja untuk kepentingan umat, misal melalui organisasi kemasyarakatan. Alangkah lebih menentramkan, alangkah lebih menjernihkan batin dan pikiran.


Jadi, kesimpulannya, tetaplah bergerak walau engkau sedang di ruang tunggu. Sebab bergerak akan membuat kita lebih jernih. Sebab diam menggenang mengeruhkan pikir. Mengalirlah dengan penuh manfaat! Kemudian tanpa terasa, tiba-tiba nama kita telah dipanggil, bahwa giliran kita sudah tiba. Dan masa menanti kita, telah dipenuhi oleh hal-hal yang bermanfaat. Bukan sekedar diam. Inilah yang dimaksud “Bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.” Sabar yang aktif, bukan sabar yang pasif. Nah, sekarang, sudah siapkah kita untuk terus bergerak?


NB: Referensi tentang fenomena Laut Galilea dan Laut Mati diambil dari buku “Sesegar Telaga Kautsar” karya DR. Ahmad Hatta, PhD


Hanifati Nur Shabrina,


Sumber: http://annida-online.com/artikel-9097-bergeraklah-meski-kau-ada-di-ruang-tunggu.html


Terus Baca Kisah Motivasi lainnya disini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar