Rabu, 01 Januari 2014

Kisah Beasiswa Luar Negeri Sarah: “Akhir indah sebuah perjuangan”

Jarum jam menunjukan panah panjangnya tepat pada angka satu, sedangkan adiknya yang pendek tepat pada angka 12. Waktu dimana keberangkatan ke medan perang hanya tersisa beberapa kedipan mata saja, saat dimana peperangan sudah di depan mata, perjuangan sudah di mulai, niat dan gigihnya kekuatan sudah waktunya untuk di bulatkan.

22 september 2013 sejarah mencatat tanggal, tanggal dimana saya tinggalkan Indonesia, tanggal dimana saya bersama prajurit prajurit kecil yang berjiwa besar , saya bersama para syuhada memulai mengangkat senjata. Tetapi mungkin perang yang saya hadapi ini berbeda dengan peperangan di zaman Rosulullah Saw, ini bukan perang yang membutuhkan senjata tombak ataupun meriam, juga bukan perang yang menjatuhkan darah sang musuh.

 Peperangan ini lebih dahsyat, perang melawan kebodohan, perang dengan pengorbanan jiwa dan raga juga konsentrasi otak, perang dengan senjata tabah,sabar serta ikhlas untuk menghadapi berbagai cobaan tembakan depan mata.

Karena pada tanggal inilah kita membuka siupan udara baru, berjuang menuntut ilmu, merauk segala sesuatu yang bermanfaat yang ada d medan perang, menggali beribu-ribu mutiara yang akan kita persembahkan untuk Negara tersanjung kita `Indonesia’ beberapa tahun kedepan saat waktunya tiba.

Jika banyak pejuang masa lalu yang rela mati demi kemerdekaan, maka kami disini rela berkorban demi menggapai asa dan cita menjadi sosok yang bernilai.

Pada saat yang sama semua itu mengingatkan untuk menyibak dokumen-dokumen memori beberapa tahun silam, dokumen yang menjelaskan bagaimana titik-titik perjuangan serta pertahananku sampai bisa mencapai Bandara Soekarno Hatta untuk berangkat ke Maroko atas naungan kementerian agama bersama mereka orang-orang yang gigih. Pikiran ini berputar pada zaman yang lalu dimana otak masih belum bisa membedakan manakah negara yang akan dituju untuk berperang, karena sungguh asa untuk dapat duduk di bangku kuliah di negeri seberang adalah sebuah impian yang tak dapatku temukan dari mana ia berawal.

Entah sesuatu apa yang terlintas pada syaraf ini pada saat itu, aku berfikir untuk ingin berkecimpung bersama mereka orang orang barat, karena kemampuan bahasa inggris saya yang sangat minim, maka dengan hidup langsung terjun dalam kehidupan yang real, mungkin akan memudahkan untuk lebih mendalaminya kelak.

London, Amsterdam, Rotterdam, prancis ,itu semua seringkali membuatku tergiur atas keindahan alam di dalamnya, dan nama negara-negara itulah yang seringkali menari-nari di otak. Saya ajukan keinginan ini pada seorang manusia yang melalui beliaulah saya dititipkan Allah menghirup udara di dunia yang abstrak ini . Tetapi mungkin keinginan ini bukan sesuatu yang bagus di hadapan keduanya. Menimang fikiran saya yang pada saat itu masih sangat labil, maklum saat itu masih duduk di kelas 3 SMP.

Dengan berjalannya waktu saya ubah mimpi itu, mimpi yang tadinya ingin hidup di negara yang bernuansa kebarat-baratan, setelah satu tahun berlalu tepat pada saat itu sesudah menyaksikan sebuah fakta tantang ricuhnya dunia dengan pengaruh-pengaruh kaum musyrikin. Subhanallah,  astaghfirullah, entah sebutan apa yang harus dikeluarkan dari ujung lisan ini. Sungguh sangat mengenaskan melihatnya, hati ini tak sanggup menyatakan bahwa diri ini dalam ketakutan, ia tumbuh dari kegelisahan yang beranak pinak, mengular, mengakar. tak sanggup rasanya jika harus berfikir bagaimana memandang dunia ini dalam kehancuran.

 Maka pada saat itu pula bulatlah nekat ini untuk berjuang atau menetap di negara yang bernaungan islam. Akan memperdalam pengetahuan.keimanan. serta keislaman. Karena hanya bekal itulah yang benar-benar akan saya enyam madunya di akherat kelak.

Sampai suatu ketika gendang telinga ini dibelalakakan dengan mendengar sebuah informasi yang sangat menggugah, tentang sebuah universitas yang berada di tengah pusat khatulistiwa kehidupan. Pusat dimana banyak sekali ilmu islam, bukan hanya terkesima tetapi amat sangat tergiur batin ini untuk mendengar nama “Jamiatul Ummul Quro” , nama yang sangat mudah dihafal dan sangat susah pula untuk dilupakan. Karena setiap kabar dan pengetahuan yang saya dapat tentang itu selalu saja menyejukkan hati.

Semua itu bukan hanya seperti sepatu yang menemaniku dalam setiap langkah . Bahkan segala pemikiran tentang Mekkah itu seperti payung yang selalu menyejukkanku,dari keadaan alam yang strategis, pemukimannya yang sangat indah, gaya gravitasi yang tepat di tengah pusat peradaban dunia. Semua itu telah berngiang-ngiang di otak, melayang bagai lambaian tangan yang indah. Setelah semua itu saya mantapkan niat serta luruskan tekat untuk menuju negeri nan damai itu. Semua informasi saya gali sedalam mungkin.

Setiap berita tentang universitas itu dikumpulkan dan diseleksi satu persatu,tuk diperdalami syarat-syarat yang kira-kira menjadi alasan penyebab keterimanya saya mejadi pelajar disana. Memang ada dari beberapa syarat yang sangat berat untuk menyanggupinya, yang pertama dan sangat berat ialah mahrom, subhanallah itu masih sangat jauh sekali untuk terfikirkan di benak ini. Tak terbayang bagaimana untuk mendapatkan mahrom untuk menuju ladang pencarian ilmu itu, karena jika untuk menikah terlebih dahulu mungkin akan sangat mengenaskan serta membahayakan jadinya.

Setelah itu persyaratan kedua tentang hafalan Al-qur’an. Subhanallah saya sadar bahwa hafalan masih sangatlah sedikit, pasti tidak akan mencukupi jika untuk diajukan ke persyaratan menimba ilmu di sana ,maka semua itu saya simpan rapi menjadi sebuah PR atau tugas wajib. Sampai pada saat lonceng berbunyi tanda hari kelulusan dari pondok pesantren yang selama ini saya gali emas daripadanya akan diumumkan. Hari dimana akan ditentukan kelanjutan tempat berjuang, karena di pondok ada tahap pengabdian terlebih dahulu sebelum dapat memeluk sehelai kertas yang sangat amat disanjung adanya dan biasa disebut dengan ijasah.

Maka dengan datangnya waktu ini pula saya mulai mematangkan masakan yang akan dibawa sebagai bekal ke tahap yang lebih ekstrim, yaa karena semua itu sudah sangat dekat keberadaanya.
Persiapan 100% tidak akan didapatkan dalam jarak satu tahun kecuali dengan effort yang tinggi dan perjuangan keras. Maka dengan kata bismillah telah terniatkan waktu setahun itu untuk berjuang mendapatkan kegemilangan kelak.

Selama perjalanan pulang menuju istana tercinta di Jakarta, banyak pernyataan yang tersampaikan kepada orang tua, mulai dari ciutnya hati melihat persyaratan yang harus dihadapi karena otak nakal berfikir ,mampukah saya melampaui semua itu dengan semua keterbatasan kemampuan yang ada?? Semua keluhan kecil sampai yang terjumbo semua kusampaikan,maka beliau menjawab satu persatu keluhanku dengan pelan halus tapi sangat berkena di hati.

 Satu kalimat yang paling teringat “Mbak Sarah, kesuksesan itu dicapai bukan dari modal atau persiapan yang sempurna. Tapi sukses bisa digapai oleh usaha yang kuat tanpa ada kata ‘Tapi’.”. Kata itu selalu tergiang ngiang di otak. Singkat tapi mengandung berjuta makna.

Saya menjalani hari demi hari, bulan demi bulan dalam pengabdian, selain dengan pekerjaan wajib, ku warnai pula dengan hafalan Al-Quran meski tidak penuh dan belum bisa selalu ontime. Tapi setidaknya selalu diusahakan. Karena itu PR berat yang pasti akan ditagih pertanggung jawabannya setelah satu tahun berlalu. Dan dalam perantauan pengabdian pula,saya gali sebanyak-banyaknya informasi tentang kuliah luar negeri. Karena kali ini infonya harus benar-benar fix, bukan waktunya menunda PR lagi.

Salah satu jalan yang ditunjukan oleh orang tua ialah dengan memberi nomor bapak yang berkecimpung dalam hubungan luar negeri karena menurut beliau supaya bisa lebih mandiri dengan mencari info sendiri,. Meski awalnya sedikit tidak berani , karna rada bingung memulai pertanyaannya tapi kuyakinkan diri ini untuk memberanikannya. Melalui bapak `NJ’, saya awali percakapan itu dengan salam dan tatanan bahasa yang disusun serapih mungkin ,karena yang saya ajak berbicara ialah bapak pahlawan besar dan hebat.

Bermacam macam pertanyaan saya lontarkan pada beliau dari bagaimana cara, apa saja, siapa sajakah yang mampu untuk lolos kej enjang yang gemerlap itu. Ya bagaikan seorang wartawan yang sedang mewawancarai narasumbernya. Melalui beliau saya mendapatkan banyak informasi, syarat dari أ-ي, beliau pula yang merekomendasikan saya banyak negara, diantaranya ada Mesir juga Maroko.

Sebenarnya untuk menuju ke Mesir memang bukan keinginan dari relung hati yang terdasar, tanpa mengurangi rasa hormat ,sejujurnya itu dilandaskan rasa kurang suka dengan pertemuan dengan bagian yang sama untuk kesekian kalinya, saya lebih suka untuk membuka jendela baru, ibarat dalam sebuah rumah supaya saya dapat merasakan keindahan pemandangan yang berbeda. Mesir adalah negara yang menggugah untuk dikeruk ilmunya. Tapi karena kalangan di dalamnya sudah terlalu banyak manusia yang “sespeies” , maka ingin mencari keadaan yang berbeda.

Dengan usulan yang kedua Maroko, sebuah negara yang bisa bilang sangat amat jarang tuk diketahui sejarah ataupun prasejarah tentangnya. Dan dari percakapan yang kudapat tak ada satu pun kabar yang bapak pahlawan ketahui tentang universitas idaman. Meski raga ini terseyum atas pemberitahuan ini, karna kabar yg penting banyak terkandung di dalamnya, tapi hati ini tak dapat dikelabui bahwa jiwa ini masih kuat melekat untuk menuntut ilmu di tanah kelahiran nabi. Menurut beliau jaringan Indonesia dengan negara mekkah masih sangat sedikit itupun tidak beliau ketahui linknya .

Dari sini saya belajar bahwa tidak semua rencana yang kita susun dapat terlaksana sesuai dengan siasat, tidak semua perkataan yg keluar sesuai dengan apa yang kita fikirkan, begitu pula dalam menggambar belum tentu semua yang kita curahkan sesuai dengan imajinasi kita. Masih banyak jalan tuk menjadikan kita orang yang bernilai, jika dalam usaha menuju target A gagal, maka alphabet masih mempunyai B,C,D dan seterusnya sampai Z. maka saya berusaha untuk memulai untuk membuka pintu lewat jalan yang lain. Disamping melengkapi info Mekkah, tentang Maroko pun mulai saya cari tahu. Sampai pada saatnya tiba dimana orang tua saya menunjukan jalan untuk mengambil kuliah di Maroko.

Pikiran ini masih bimbang antara hati yang membara berkecambuk untuk melambaikan oase di sana, bagaimana tidak dalam mimpi sudah saya bayangkan untuk dapat menuntut ilmu dalam lingkungan kuat keislamannya, disertai dengan ibadah tiada putusnya di masjid terbesar di dunia, negara yang tempat letak geografisnya sangat strategis dibandingkan dengan negara-negara lain dan tak sangat luput kemungkinkan untuk dapat selalu mendoakan nama-nama yang saya sayangi di tempat-tempat mustajab.

Subhanallah, semua bayangan itu hanya membuat saya meneteskan air liur tanda keinginan. Meski saya sadar bahwa mimpi saya ke Mekkah ataupun perjuangan menuju Negara yang eksotis itu memang bukan seperti telur yang jatuh saat sudah di ujung tanduk, karena urusannya pun belum tersentuh oleh lapis luar kulit ari saya. Tetapi mimpi serta asa yang sudah sampai terlebih dahulu, itulah yang memberatkan saya untuk mengubur harapan dalam-dalam untuk berjuang di tanah kelahiran baginda putra padang pasir Rasulullah SAW.

Saya kembali menata hati, kata-kata “Ridhollahi fi ridhol walidi wa sukhtu robbi fi sukhtil walidi” (ridho Allah terletak pada ridho orang tua dan murka Allah juga terletak pada murkanya orang tua) memantapkan bahwa arahan dari orang tua itulah yang terbaik. Seakan cahaya kehidupanku mulai bersinar pada tanggal 9 Juli dengan datangnya sebuah pesan singkat di telepon gengam milik Abah, yang menandakan bahwa pendaftaran beasiswa Maroko sudah keluar, dan mempersilahkan untuk membuka websitenya.

 Subhanallah saya kaget bukan kepayang. Jalan Allah memang tak ada yang menyangka, tetapi kebahagiaan atas permulaan perjuangan seketika menjadi kembang kempis, saat sadar bahwa dari semua persyaratan yang ada belum ada satu pun yang saya miliki. Dari TOEFL min 400, ijasah, tanda peringkat saat jenjang terakhir di sekolah. Ya, tidak ada satupun yang saya miliki sekarang, sedangkan waktu pendaftaran hanya 4 hari. Jiwa ini dikelilingi rasa bingung yang dahsyat, ada bisikan kecil yang berkata dalam hati. “mampukah saya menyelesaikan semua itu dalam waktu sesingkat itu?. Apakah ini berakhir dengan usaha yang sia-sia? Akankah ini menimbulkan air mata bahagia? Atau justru malah sebaliknya?” aaarrghh bisikan kecil yang nakal, Saya tidak akan terpengaruh oleh rasa pesimis itu, yakin dengan kekuatan Allah, nothing is impossible. If there is a will there is a way.

Dalam diam otak ini berfikir darimana harus mengawali. Bismillah berangkat ke pondok tempat mencari emas-emas kehidupan siang itu juga. Tak henti saya menyebut asmaNya agar memudahkan semua urusan dalam pangambilan selembar kertas yang berisi perjuangan mencari emas selama 6 tahun d pondok, karena saya sangat amat sadar bahwa pondok yang saya ambil ilmu daripadanya sangatlah radikal, dengan segala jenis peraturan. Sedangkan pada saat saya membutuhkan ijasah tidak bertepatan dengan waktu pengambilan ijasah. Waktu pegambilan masih 10 hari mendatang. Tapi apa salahnya mencoba, karena tidak akan pernah tau hasilnya jikalau belum mencoba. Tak akan saya biarkan semua ini hanya menjadi sekedar mimpi 10 Juli 2013, 08.00 WIB kaki ini berjalan menuju rumah direktur KMI.

Ternyata malam harinya setelah solat terawih baru bisa ditemui dan menjelaskan semua maksud atas kedatangan saya. Setelah perbincangan serta pertimbangan yang mendalam beliau menyatakan bisa bantu tapi saya diminta untuk mengikuti prosedur yang ada. Maka dengan sigap saya mengiyakan semua prosedur yang harus dilewati. Setelah itu, saya lanjut ke tahap selanjutnya. Kantor KMI untuk meminta formulir pengambilan ijasah, ternyata bagaikan langit mendung mendadak dan mengeluarkan petir yang begitu dahsyat.

 Saya tak kuat untuk menahan air yang keluar dari pasangan bola mata karena bukan penyambutan yang saya hadapi tapi peringatan serta marahan karena saya dianggap lancang karena mendatangi direktur terlebih dahulu baru ke bawahannya, Sedangkan prosedur yang sebenarnya melalui ustadzah KMI terlebih dahulu, setelah mendapat formulir, baru dianggap bisa menghadap direktur untuk minta tanda tangan serta nasehat dan petunjuknya. Saya akui bahwa saya salah, mungkin jika saya yang diposisikan sebagai ustazah KMI pasti akan marah. Tetapi beliau juga tidak akan pernah sadar bagaimana porak porandanya hati ini untuk menyatukan pecahannya yang telah terpecah berpuing puing.

Masih belum berhenti sampai disini setelah mendapatkan formulir, saya masih harus membuat insya’ dua lembar HVS tentang pengalaman mengabdi, mendatangkan ustadz walikelas dengan setor hafalan doa-doa serta ta’awudzat juga ma’tsurot, minta tanda tangan serta nasihat kepada bapak pengasuh dan bapak direktur KMI. Itu semua adalah karcis saya mengambil ijasah di pondok pusat yang letaknya di Ponorogo. Maka semalaman saya menggarap insya’ dengan keterbatasan segalanya. Tanggal 11 Juli 2013, pagi buta saya salami rumah bapak walikelas untuk melengkapi persyaratan, setelah itu langsung menuju rumah bapak direktur, beliau menguatkan saya dengan berbagai motivasi. Salah satu kalimat yang keluar dari lisan beliau: “sebesar apapun ruang yang di berikan tuhan pada kita akan sempit jika tanpa perjuangan dan doa. Dan ingat dia yang bersyukur dalam kekurangan adalah dia yang memiliki kemuliaan hati”.

Betapa harunya diri ini mendengar nasehat yang keluar dari mulut nan mulia itu. Dari bapak pengasuh pondok putri 1. Ada satu cerita yang sangat saya suka, menurut beliau `sebagai perempuan yang menuntut ilmu di sana, harus kuat effortnya! Karena tidak jarang yang belum dapat bertahan ia pulang ke Indonesia dengan alasan nikah. Padahal dia bisa menemukan pria yang lebih ketika di Indonesia nanti setelah kegemerlapan mengalunginya. Ya kata itu akan saya camkan depan pelupuk mata ini.

Tanggal 12 juli 2013 ijasah belum di tangan, TOEFL belum ujian, sekarang waktunya menunggu sedikit lagi proses. Ya memang saya sadar perjalanan menuju predikat alumni tidak bisa semulus jalan tol. Semuanya butuh proses untuk mencapai dan mendapatkan ijasah resmi masih ada tahap terakhir.

Tak bosan saya panjatkan doa padaNya. Dalam sunyi memohon dibukakan jalan serta hidayah. Akankah mimpi yang sudah memecut jiwa ini berakhir dengan tangis frustasi? Atau senyum prestasi?. Puji syukur bagiNya setelah mendapatkan tanda tangan serta nasehat dari bapak trimurti inilah, saat yang sangat di tunggu. Tanggal 13 juli 2013, dimana hari terakhir pendaftaran , tepat pagi hari jam 09.00 WIB telah terasa kelembutan secarik kertas yang mengisahkan jerih keringatku selama 6 tahun. Dengan rasa senang dan sedikit tergesa gesa saya kirim berkas yang saya miliki dengan tanda kutip besar bahwa syarat TOEFL baru sanggup saya lengkapi dua hari setelah itu. Karena ujian TOEFL baru akan saya jalani siang hari itu juga.

Ya karna istirahat itu pergantian pekerjaan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Begitu juga perjalanan menuju gerbang sukses perlu pengorbanan dan tidak ada yang instant. Setelah ijasah keluar, sekarang perjalanan pulang, serta persiapan menelan soal TOEFL. Dalam keadaan capek dan lunglai serta tergesa gesa mengikuti ujian TOEFL, yang hasilnya keluar dua hari sesudahnya. Setelah semua terlalui dan telah saya kirim hasil dari TOEFL. Sekarang saatnya penantian. Ya semuanya didasarkan perjuangan serta persaingan yang ketat, karena memang manusia terlahir di dunia ini pun atas dasar kemenangannya saat bersaing melawan jutaan sperma lain dalam tuba palopi, dimana yang lebih sampai terlebih dahululah yang berhak hidup sebagai janin. Dan mampu menghirup oksigen di ruang lingkup dunia ini.

Seminggu berlalu, dalam malam sepi tanpa suara apapun kecuali getar kipas angin .tiba tiba suara getar handphone mengagetkanku karena pesan yang kuterima dari nomor tak dikenal yang menandakan perintah untuk membuka email karena pengumuman calon penerima beasiswa Maroko sudah dikirim pada masing masing penerima. Tanpa basa basi langsung ku buka email. Ya Allah hati ini retak. Pecah berkeping-keping karena dalam email tidak ada notifikasi apapun. Tak mampu jika harus mengecewakan kedua orangtua meski diri ini sadar memang ini sudah jalan terbaik, belum rejeki. Saya mencoba menenangkan keadaan.

Setelah diamati ternyata ada kesalahan teknis. Mungkin mata saya memang kurang peka , tak sesempurna mata lain. Di email masuk kosong tidak ada email baru, tetapi di spam ada satu pemberitahuan yang berisi bahwa di antara selipan orang yang menerima beasiswa Maroko ada nama manusia persis dengan nama saya. Maha Besar Allah, tak sanggup menahan suka atas duka yang terlampaui dalam pencapaiannya.

Setelah satu jalan terlewati masih ada beberapa gerbong yang harus dilewati. Jalan menuju Maroko masih panjang, masih ada gerbong SKCK, paspor, surat kesehatan . satu persatu harus saya selesaikan semua itu. Lagi-lagi seakan pengorbanan dan tangis duka selalu mengikuti saya sepanjang perjalanan menuju gerbang negeri seribu benteng ini. Mereka terlalu setia menemani saya sampai titik darah penghabisan. Walau panas, hujan, dingin gerah serta merta mandi keringat semua itu berubah menjadi peri bahkan bidadari saat proses ini berjalan. Tak terlupa saat-saat mengurus SKCK, keliling kampung bersama motor dipayungi matahari mencari rumah bapak RR dan RW, setelah itu kantor kelurahan, baru bisa menghadap bapak berbaju coklat nan gagah.

Semua itu menjadi saksi, memang pahit saat menjalaninya, tetapi sangatlah indah ketika mengingatnya saat ini. Sampai saat detiknya menghampiri 22 september 2013 penantian selama 2 bulan yang ditunggu. Dimana raga ini sudah sampai mulut gerbang Bandara Soekarno Hatta, semua pesan diingat baik-baik. Semua perjuangan akan saya jadikan palu selama beberapa tahun kedepan, maka ketika saat lupa akan niat awal biar palu itulah yang menggetuk saya.

 -Sumber:,
 -Ditulis ulang oleh:  http://hotmotivasi.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar