Setiap hari aku mencoba menghibur diri. Aku
berpura-pura melakukan rutinitasku sebelum penglihatanku hilang. Aku
bangun pagi,mandi, sholat subuh, mengenakan seragam sekolah, memakai sepatu,
mencium tangankedua orangtuaku untuk pamit ke sekolah. Namun, aku
melangkah ke depan rumah danmasuk ke kamar dan menghambur ke atas
ranjang dengan banjir airmata. Tiap malam aku tak bisa memejamkan
mata.Aku berbicara sendiri seolah-olah sedang konsultasi dengan banyak
ahlimata. Aku terpisah dengan dunia luar dan terpuruk. Aku terputus
dengan sorak- sorai kegembiraan masa remaja. Hari-hari terasa berlalu
begitu lambat.
Aku sesak, aku frustrasi, aku ingin bisa melihat lagi, aku ingin
bersekolah lagi. Kedua orangtuaku pun ikut mengalami depresi, terutama
ayahku. Setiap hari beliau pulang mengajar, tatapannya kosong. Beliau
masuk kamar, berbaring, dan termenung memandang langit-langit rumah.
Beliau terus membuka matanya dan tak bergeming hingga adzan Isya
berkumandang. Beliau tertekan, beliau ditempa ujian hidup yang pelik.
Anak bungsunya tak bisa melihat lagi.
Pinjaman Bank DKI untuk biaya
kuliah kedua kakakku di UI habis untuk membiayai pengobatanku. Aku tak
juga sembuh. Kedua kakakku butuh biaya. Ayah tak mampu membayar cicilan
utang bank dan beliau masih harus mencari uang untuk kuliah dan biaya
hidup kedua kakakku yang tinggal di dekat kampus. Ayahku tertekan.
Keceriaan ibuku tercinta pun seperti sirna lenyap begitu saja. Beliau
sering terlihat murung. Beliau sering membisu, tak banyak berkata-kata.
Isakan tangis dari kerongkongannya terdengar tiap kali beliau sholat.
Linangan air mata beliau selalu membasahi mukena dan sajadahnya. Beliau
belum sanggup menerima kenyataan bahwa anak bungsunya harus menjalani sisa
kehidupannya tanpa penglihatan. Beliau belum yakin aku akan sanggup
dengan ujian hidup seperti ini. Namun beliau berusaha untuk tetap tegar.
Dengan lembut dan penuh kasih sayang, beliau mengurusku, mengantarku
menjalani berbagai pengobatan dan terus menyemangatiku untuk terus
berdoa agar aku sembuh.
Hampir setiap detik aku menyaksikan kedua orangtuaku dirundung pedih
tak berkesudahan. Aku kumpulkan semangat. Aku bangun mimpi. Aku satukan
kembali cita-citaku yang telah sirna. Aku mencoba bangkit. Aku tak ingin
terus terpuruk. Namun, aku dan kedua orangtuaku tak tahu harus berbuat
apa. Aku kembali terkulai. Aku ambruk, aku terpuruk di dalam ruang
gelap.
Cahaya kehidupanku mulai menyala ketika aku dan kedua orangtuaku
mendengar informasi dari seorang ibu yang sedang rawat jalan di bagian
mata RSCM. Ibu ini bercerita bahwa keponakannya adalah seorang
tunanetra. Dan dia berkuliah di UNPAD. Dia juga bisa memanfaatkan
teknologi. Seketika itu pipiku terasa hangat dilalui butiran airmata
yang jatuh dari sudut kedua mataku. Aku bersyukur. Aku bahagia karena
aku merasa Allah tidak pernah melupakanku. Kedua mata ibu dan ayahku
juga berkaca-kaca. Mereka bersyukur karena akhirnya ada jalan terang
untuk anak bungsunya kembali memulai lembaran hidup baru dengan semangat
baru.
Di tahun ke empat, kedua orangtuaku berupaya untuk menyekolahkanku
kembali. Atas saran dari Yayasan Mitra Netra, mereka membawaku ke Tan
Miyat, sebuah asrama tunanetra di kompleks Departemen Sosial dekat Bulak
Kapal Bekasi Timur. Karena asrama ini hanya memiliki SD, SMP dan
sekolah keterampilan pijat, mereka mendaftarkan aku ke SMA YPI 45 Bekasi
untuk melanjutkan sekolahku yang sempat terputus selama beberapa tahun.
SMA YPI 45 telah secara rutinmenjadi sekolah inklusi yang sangat ramah
terhadap tunanetra. Aku diterima denganbaik dancukup diperhatikan.
Aku tinggal di asrama Tan Miyat tetapi aku bersekolah berintegrasi
dengan siswa berpenglihatan normal di SMA YPI 45 di luar asrama. Lalu,
aku belajar braille, menyelami kehidupan baru dengan status baru sebagai
seorang tunanetra dan menimba ilmu serta belajar nilai-nilai kehidupan
yang tidak kurasakan sewaktu masih melihat.
Aku sungguh-sungguh membangun mimpi-mimpi besar. Aku yakin mimpi yang akan menentukan masa depanku. Jika aku hanya bermimpi untuk menjadi seorang pemijat, maka aku pun akan menjadi seorang pemijat. Aku hanya kan berusaha untuk mendalami ilmu pijat dan bahkan mungkin aku hanya kan berdoa untuk mendapatkan pasien banyak tiap hari dan memberikan uang tips yang lumayan.Aku tidakpuas. Aku ingin melihat kedua orang tuaku bangga. Aku ingin menyaksikan kedua orangtuaku bercerita dengan bangga kepada orang lain tentang prestasi-prestasiku. Aku ingin hari-hari frustrasi mereka selama beberapa tahun terbayar dengan rasa bangga dan kebahagiaan. Aku ingin air mata pedih mereka terbayar dengan airmata syukur dan bahagia.
Di hari pertama aku melangkahkan kaki memasuki asrama TanMiyat
bersama kedua orangtuaku, aku putuskan untuk membunyikan mimpi besarku.
“Bu, Taufiq pengen keliling dunia” kataku singkat dan tegas kepada ibuku. Ibu kaget bagai disengat serangga berbahaya. Ibu tersentak. Setelah beberapa saat, beliau menjawab, “Baru mulai bisa sekolah lagi udah kepengen yangmacem-macem. Kalo punya mimpi gak usah terlalu tinggi, takut stress.” Aku tersenyum kecil dan terdiam tak membantah. Tetapi, jauh di dalam relung hatiku keinginan berkeliling dunia telah terpatri dengan kokoh sesaat sebelum aku berbicara. Mimpi besar inilah yang akanmenuntun doaku, menuntunlangkahku,memecut usahaku danmelemparkan
diriku melayang membagikan ilmuku kepada manusia lain di penjuru dunia kelak.
“Bu, Taufiq pengen keliling dunia” kataku singkat dan tegas kepada ibuku. Ibu kaget bagai disengat serangga berbahaya. Ibu tersentak. Setelah beberapa saat, beliau menjawab, “Baru mulai bisa sekolah lagi udah kepengen yangmacem-macem. Kalo punya mimpi gak usah terlalu tinggi, takut stress.” Aku tersenyum kecil dan terdiam tak membantah. Tetapi, jauh di dalam relung hatiku keinginan berkeliling dunia telah terpatri dengan kokoh sesaat sebelum aku berbicara. Mimpi besar inilah yang akanmenuntun doaku, menuntunlangkahku,memecut usahaku danmelemparkan
diriku melayang membagikan ilmuku kepada manusia lain di penjuru dunia kelak.
Masa depan masih suram. Tiga tahun bersekolah di SMA YPI 45 belum
membantuku melihat cahaya terang. Aku telah berjuang susah payah dengan
air mata dan keringat mengukir prestasi walaupun memiliki keterbatasan
fisik. Aku menangis terisak-isak sembari mencium tangan guru-guruku saat
acara perpisahan. Aku menangis karena aku tak tahumasa depan seperti
apa yang akan kujalani. Walaupun aku berada di urutan ketiga dari kurang
lebih 240murid jurusan IPA, aku belum melihat jalan terang untuk
mewujudkan mimpi besarku. Sementara teman-teman berbahagia menantikan
masa-masa kuliah, kedua orangtuaku memintaku sekolah keterampilan pijat,
tidak kuliah. Hatiku hancur. Mimpi masih ada tetapi cahayanya mulai
memudar.
Walau kedua orangtuaku adalah guru,mereka tidak memiliki informasi cukup tentang jenis pekerjaan lain untuk tunanetra selain pijat. Di lingkungan tempat tinggalku, ada seorang tunanetra yang memiliki panti pijat cukup besar dan memberi pekerjaan kepada beberapa tunanetra lain untuk mencari penghidupan di tempatnya. Kedua orangtuaku beranggapan ini adalah solusi paling realistis saat itu. Kedua orangtuaku juga mulai sibuk memperhatikan setiap sudut rumah kami untukmenyediakan ruang khusus untuk panti pijatku nanti.
Aku dihantui oleh mimpi-mimpi besarku setiap detik. Aku minggat dari
asrama. Aku keluar dari sekolah pijat.Aku ke Bandung untuk belajar musik
di asrama Wyata Guna. Aku beranggapan mungkin pemusik dapat menjadi
gerbang memasuki kota-kota dunia. Namun, aku hanya tahan selama beberapa
bulan dan kembali memutar haluan.
Aku memohon bantuan para “reader”, panggilan untuk para mahasiswa di Bandung yang sengaja datang ke asrama Wyata Guna untuk membacakan, merekamkan atau menemani ke toko atau perpustakaan untuk mencari buku atau memberikan bantuan lain yang mereka bisa. Aku yakin bahwa kuliah S1 adalah tiket keliling dunia gratis, mimpi yang tertanam kuat di alam bawah sadarku. Aku katakan bahwa aku ingin segera kuliah baik di kampus negeri ataupun di kampus swasta. Ria, mahasiswi jurusan Matematika ITB angkatan 99, membantuku mendaftar SPMB. Aku didampingi membeli formulir dan juga dibantu mengisi formulir danmelengkapi semua persyaratannya. Teman-teman reader dari jurusan Matematika, Teknik Industri dan Teknik Mesin ITB angkatan 99 dan Psikologi UNPAD angkatan 99 pun berbagi tugas membantu merekamkan materi dan juga mengajarkan mata pelajaran yang berbeda-beda.
Dua minggu persiapan telah selesai dan aku pun mengerjakan
ujian SPMB di ITB. Aku dibacakan dan dibantu dituliskan semua jawaban
yang ku ucapkan oleh Ria, sahabat yang sampai sekarang aku tak tahu
dimana keberadaannya. Syahrul Maulani, kakak pertamaku yang lulus dari
jurusan Biologi UI angkatan 95, menyampaikan kabar gembira dari Riau.
Dia sedang di kantor memandangi pengumuman SPMB.Dia ucapkan selamat
karena aku diterima di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UNJ, pilihan
kedua setelah Komunikasi UI. Kedua orangtuaku terkejut bahagia karena
skenario hidup yang telah dipersiapkan oleh Sang Khaliq perlahan
bercahaya semakin terang.
Aku menemukan cahaya penuntun menuju gerbang menggapai impianku.
Prof. Dr. Arief Rachman, seorang guru besar UNJ dan seorang tokoh
pendidikan, membakar semangatku untuk berlari mengejar mimpi besarku.
Beliau selalu membuka mata hatiku dalamsetiap kuliahnya dan bahkan
dalamnasihatnya pada acara pernikahanku untuk terus bermimpi setinggi
langit, untuk mengikuti hadits Nabi dan nasihat Imam Syafi’i untuk
merantau jauh menimba ilmu.
Prof. Dr. Ilza Mayuni, seorang guru besar UNJ dan saat ini menjabat
sebagai Direktur Kopertis di ibukota, selalu mendukungku untuk terus
mengukir sejarah. Ketika masih menjadi Dekan FBS UNJ, beliau selalu
meluangkan waktu membimbingku untuk memecahkan rekor prestasi. Dengan
dukungan beliau dan seluruh dosen, keluarga serta sahabat, aku berhasil
menyelesaikan S1 dalam waktu tiga tahun setengah dengan predikat
cumlaude. Aku dinobatkan menjadi salah satu wisudawan terbaik UNJ dengan
kriteria prestasi akademik dan non-akademik. Sahabat-sahabat kuliahku
telah sangat berjasa membantuku merekamkan materi kuliah, mencarikan
buku dan literatur yang kubutuhkan dan masih banyak lagi yangmereka
lakukan untuk membantuku sukses.
Semasa kuliah, aku berusaha sebisaku untuk mengembangkan semua
potensiku demi mewujudkan mimpi-mimpiku. Walau untuk membaca buku aku
harus men-scan dan meminta kawan atau membayar orang untukmengedit lalu
aku baru bisa baca dengan program pembaca layar yang ku-install di
komputer, aku tidak “study-oriented”. Aku berorganisasi dan terpilih
menjadi Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan dan Ketua
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan BEM Fakultas Bahasa dan Seni UNJ di
tahun berikutnya. Aku tak sempat merasakan BEM universitas karena aku
segera diwisuda di akhir jabatanku sebagai ketua sebuah departemen.
Dengan tongkat penuntun, aku juga menjadi pedagang kaki lima buku dan
novel. Aku juga menjadi broker jasa terjemahan dan barangbarang
elektronik. Aku juga berhasil menjadi manager MLM Oriflame. Aku juga
memiliki beberapa murid privat. Bahkan aku pernah mendirikan rental
komputer dan tempat kursus bahasa Inggris.
Walau berkali-kali aku mengalami perlakuan diskriminasi untuk menimba
ilmu, melamar pekerjaan dan masih banyak lagi, aku akhirnya berhasil
mewujudkan mimpiku. Di semester ke enam kuliah S1, aku memperoleh
beasiswa senilai 20 juta untuk terbang ke Jepang karena makalahku
dinyatakan lulus seleksi untuk dipresentasikan di 4th Asia TEFL
International Conference. Akupun berangkat seorang diri untuk menjadi
pemakalah di antara 449 pemakalah professional yang merupakan praktisi
dan guru-guru besar kampus terkemuka dari seluruh dunia. Di tahun berikutnya aku mendapatkan beasiswa penyelesaian skripsi dari Korean Exchange Bank.
Setelah wisuda, aku pun mulai mengajar di beberapa instansi. Aku
mengajar di SMP Diponegoro 1 Rawamangun. Di tahun yang sama, aku juga
mengajar di Universitas Negeri Jakarta. Di sela-sela waktu, aku juga
bekerja untuk lembaga National English Centre sebagai pengajar TOEFL dan
Healthcare English Learning Program dan ditempatkan di beberapa Akademi
Keperawatan yang bekerja sama dengan NEC. Di akhir pecan, setiap hari
Sabtu dan Minggu, aku mengajar dari rumah ke rumah sebagai guru privat
untuk program bahasa Inggris.
Setelah setahun mengajar, setelah empat kali gagal melamar beasiswa
S2, aku berhasil memperoleh beasiswa MA in Muslim Cultures di London
dari Aga Khan University. Namun, di tengah studiku, istriku mengalami
kehamilan yang berat sehingga dia harus dirawat di University College
Hospital London sampai tiga kali. Kami adalah pasangan muda yang
belumpahambagaimana cara membuat perencanaan keluarga. Akhirnya kampusku
menyarankan agar aku cuti kuliah dan kembali ke Indonesia. Aku tidak
frustrasi. Aku yakin Allah sedangmempersiapkan skenario yang terbaik
untukku dan keluargaku. Walau aku gagal melanjutkan MA ku di London
karena beberapa masalah, Allah menerbangkanku lagi ke beberapa negara.
Sebelum aku meninggalkan London, aku nekad mencoba beasiswa ICT
training dari Japan Braille Library yang diselenggarakan di Malaysia.
Ternyata, aku lulus dan setelah pulang dari London, aku terbang ke
Penang Malaysia. Aku pulang membawa ilmu baru, keterampilan baru, laptop
baru dan segala kelengkapannya serta sejumlah uang saku yang ku
hemat-hemat untuk biaya persalinan istriku.
Setelah itu, aku diterima kerja di Center for Civic Education
Indonesia, sebuah yayasan yang menjalankan program-program pendidikan
atas dana pemerintah Amerika Serikat.
Baru beberapa bulan mengajar
sebagai pengajar untuk program beasiswa belajar bahasa Inggris gratis
selama dua tahun untuk ratusan murid SMA/SMK dari keluarga yang tidak
mampu, aku memperoleh beasiswa dari US Department of State untuk
menghadiri teacher training and workshop selama tiga
minggu di INTO Oregon State University, Corvallis, USA. Persis dua tahun
berikutnya, aku mendapatkan beasiswa lagi dari US Department of State
untuk program pelatihan pengajaran bahasa Inggris dengan University of
Oregon, USA.
Setahun kemudian, aku aku sempat mendapatkan dua beasiswa pada waktu
yang nyaris bersamaan. Aku lulus seleksi untuk Australian Leadership
Award Fellowship yang diselenggarakan mulai tanggal 27 Agustus dan
berakhir tanggal 21 September 2012. Sementara, aku dijadwalkan mengikuti
Pre-Departure Training selama delapan minggu mulai dari 16 Juli hingga
21 September 2012 sebelum memulai kuliah di Australia dengan beasiswa
dari Australian Development Scholarship. Aku bingung harus bagaimana.
Akhirnya aku diminta mengundurkan diri untuk program beasiswa Australian
Award Fellowship. Meski demikian, Alhamdulillah Allah merekap semua
doaku dalam satu tahun. Aku juga sedang berusaha merampungkan novel
perdanaku yang akan menjadi jalan pembuka menuju pencapaian daftar
panjang mimpi-mimpi besarku berikutnya.
Pesanku untuk masyarakat Indonesia: Bermimpilah! Biarkanlah anak-anak
kita, anak-anak didik kita bermimpi sesukanya selama mimpi itu positif.
Sering kali kata “mustahil”memilikimakna yang relatif. Kata ini sangat
tergantung kepada pengalaman masing-masing individu. Pergi ke negara
lain adalah hal yang mustahil bagi kedua orangtuaku sebelumakhirnya aku
buktikan bisa. Kuliah juga mungkin untuk sebagian masyarakat kita masih
merupakan hal yang mustahil. Sering kali, hal yang dianggap mustahil
setelahberusaha keras menjadi mungkin. Mimpi akan menentukan masa depan
anak-anak kita. Mimpi akan menentukan masa depan generasi penerus kita.
Mimpi akan menentukan bangsa kita akan menjadi apa kelak.Mimpi akan
menuntun doa kita, menuntun langkah kita,memecut usaha kita untuk terus
berjuang, dan mimpi akan melemparkan kita semua melayang terbang
menggapai bintang berkilauan.
Diposting ulang oleh blog Hot Motivasi dari akun Pribadi beliau.
Jika ada pertanyaan atau butuh bantuan, silahkan kontak beliau. Selamat
berjuang! Mustahil hanya untuk mereka yang tidak mencoba dan mustahil
hanya untuk mereka yang Menyerah.
Saat ini beliau sedang menempuh program double degree M.Ed in TESOL dan
Master of Development studies di University of New South Wales, Sydney
Jakarta 2012
Jakarta 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar