Jumat, 10 Januari 2014

Taufiq Effendi: “Tuna Netra yang Meraih 8 Beasiswa Luar Negeri”

Tiga tahun telah berlalu. Makin hari aku makin gila. Beberapa kali menjalani operasi menyambungkan saraf mata dan menjahit retina tak juga membuahkan hasil. Beraneka ragam pengobatan alternatif dari berbagai negara tak juga mengembalikan penglihatanku. 

Setiap hari aku mencoba menghibur diri. Aku berpura-pura melakukan rutinitasku sebelum penglihatanku hilang. Aku bangun pagi,mandi, sholat subuh, mengenakan seragam sekolah, memakai sepatu, mencium tangankedua orangtuaku untuk pamit ke sekolah. Namun, aku melangkah ke depan rumah danmasuk ke kamar dan menghambur ke atas ranjang dengan banjir airmata. Tiap malam aku tak bisa memejamkan mata.Aku berbicara sendiri seolah-olah sedang konsultasi dengan banyak ahlimata. Aku terpisah dengan dunia luar dan terpuruk. Aku terputus dengan sorak- sorai kegembiraan masa remaja. Hari-hari terasa berlalu begitu lambat. 

Aku sesak, aku frustrasi, aku ingin bisa melihat lagi, aku ingin bersekolah lagi. Kedua orangtuaku pun ikut mengalami depresi, terutama ayahku. Setiap hari beliau pulang mengajar, tatapannya kosong. Beliau masuk kamar, berbaring, dan termenung memandang langit-langit rumah. Beliau terus membuka matanya dan tak bergeming hingga adzan Isya berkumandang. Beliau tertekan, beliau ditempa ujian hidup yang pelik. Anak bungsunya tak bisa melihat lagi. 

Pinjaman Bank DKI untuk biaya kuliah kedua kakakku di UI habis untuk membiayai pengobatanku. Aku tak juga sembuh. Kedua kakakku butuh biaya. Ayah tak mampu membayar cicilan utang bank dan beliau masih harus mencari uang untuk kuliah dan biaya hidup kedua kakakku yang tinggal di dekat kampus. Ayahku tertekan.

 Keceriaan ibuku tercinta pun seperti sirna lenyap begitu saja. Beliau sering terlihat murung. Beliau sering membisu, tak banyak berkata-kata. Isakan tangis dari kerongkongannya terdengar tiap kali beliau sholat. Linangan air mata beliau selalu membasahi mukena dan sajadahnya. Beliau belum sanggup menerima kenyataan bahwa anak bungsunya harus menjalani sisa kehidupannya tanpa penglihatan. Beliau belum yakin aku akan sanggup dengan ujian hidup seperti ini. Namun beliau berusaha untuk tetap tegar. Dengan lembut dan penuh kasih sayang, beliau mengurusku, mengantarku menjalani berbagai pengobatan dan terus menyemangatiku untuk terus berdoa agar aku sembuh.

Hampir setiap detik aku menyaksikan kedua orangtuaku dirundung pedih tak berkesudahan. Aku kumpulkan semangat. Aku bangun mimpi. Aku satukan kembali cita-citaku yang telah sirna. Aku mencoba bangkit. Aku tak ingin terus terpuruk. Namun, aku dan kedua orangtuaku tak tahu harus berbuat apa. Aku kembali terkulai. Aku ambruk, aku terpuruk di dalam ruang gelap.

Cahaya kehidupanku mulai menyala ketika aku dan kedua orangtuaku mendengar informasi dari seorang ibu yang sedang rawat jalan di bagian mata RSCM. Ibu ini bercerita bahwa keponakannya adalah seorang tunanetra. Dan dia berkuliah di UNPAD. Dia juga bisa memanfaatkan teknologi. Seketika itu pipiku terasa hangat dilalui butiran airmata yang jatuh dari sudut kedua mataku. Aku bersyukur. Aku bahagia karena aku merasa Allah tidak pernah melupakanku. Kedua mata ibu dan ayahku juga berkaca-kaca. Mereka bersyukur karena akhirnya ada jalan terang untuk anak bungsunya kembali memulai lembaran hidup baru dengan semangat baru.
Di tahun ke empat, kedua orangtuaku berupaya untuk menyekolahkanku kembali. Atas saran dari Yayasan Mitra Netra, mereka membawaku ke Tan Miyat, sebuah asrama tunanetra di kompleks Departemen Sosial dekat Bulak Kapal Bekasi Timur. Karena asrama ini hanya memiliki SD, SMP dan sekolah keterampilan pijat, mereka mendaftarkan aku ke SMA YPI 45 Bekasi untuk melanjutkan sekolahku yang sempat terputus selama beberapa tahun. SMA YPI 45 telah secara rutinmenjadi sekolah inklusi yang sangat ramah terhadap tunanetra. Aku diterima denganbaik dancukup diperhatikan.

Aku tinggal di asrama Tan Miyat tetapi aku bersekolah berintegrasi dengan siswa berpenglihatan normal di SMA YPI 45 di luar asrama. Lalu, aku belajar braille, menyelami kehidupan baru dengan status baru sebagai seorang tunanetra dan menimba ilmu serta belajar nilai-nilai kehidupan yang tidak kurasakan sewaktu masih melihat.

Aku sungguh-sungguh membangun mimpi-mimpi besar. Aku yakin mimpi yang akan menentukan masa depanku. Jika aku hanya bermimpi untuk menjadi seorang pemijat, maka aku pun akan menjadi seorang pemijat. Aku hanya kan berusaha untuk mendalami ilmu pijat dan bahkan mungkin aku hanya kan berdoa untuk mendapatkan pasien banyak tiap hari dan memberikan uang tips yang lumayan.Aku tidakpuas. Aku ingin melihat kedua orang tuaku bangga.  Aku ingin menyaksikan kedua orangtuaku bercerita dengan bangga kepada orang lain tentang prestasi-prestasiku. Aku ingin hari-hari frustrasi mereka selama beberapa tahun terbayar dengan rasa bangga dan kebahagiaan. Aku ingin air mata pedih mereka terbayar dengan airmata syukur dan bahagia.

Di hari pertama aku melangkahkan kaki memasuki asrama TanMiyat bersama kedua orangtuaku, aku putuskan untuk membunyikan mimpi besarku.
Bu, Taufiq pengen keliling dunia” kataku singkat dan tegas kepada ibuku. Ibu kaget bagai disengat serangga berbahaya. Ibu tersentak. Setelah beberapa saat, beliau menjawab, “Baru mulai bisa sekolah lagi udah kepengen yangmacem-macem. Kalo punya mimpi gak usah terlalu tinggi, takut stress.” Aku tersenyum kecil dan terdiam tak membantah. Tetapi, jauh di dalam relung hatiku keinginan berkeliling dunia telah terpatri dengan kokoh sesaat sebelum aku berbicara. Mimpi besar inilah yang akanmenuntun doaku, menuntunlangkahku,memecut usahaku danmelemparkan
diriku melayang membagikan ilmuku kepada manusia lain di penjuru dunia kelak.

Masa depan masih suram. Tiga tahun bersekolah di SMA YPI 45 belum membantuku melihat cahaya terang. Aku telah berjuang susah payah dengan air mata dan keringat mengukir prestasi walaupun memiliki keterbatasan fisik. Aku menangis terisak-isak sembari mencium tangan guru-guruku saat acara perpisahan. Aku menangis karena aku tak tahumasa depan seperti apa yang akan kujalani. Walaupun aku berada di urutan ketiga dari kurang lebih 240murid jurusan IPA, aku belum melihat jalan terang untuk mewujudkan mimpi besarku. Sementara teman-teman berbahagia menantikan masa-masa kuliah, kedua orangtuaku memintaku sekolah keterampilan pijat, tidak kuliah. Hatiku hancur. Mimpi masih ada tetapi cahayanya mulai memudar.

Walau kedua orangtuaku adalah guru,mereka tidak memiliki informasi cukup tentang jenis pekerjaan lain untuk tunanetra selain pijat. Di lingkungan tempat tinggalku, ada seorang tunanetra yang memiliki panti pijat cukup besar dan memberi pekerjaan kepada beberapa tunanetra lain untuk mencari penghidupan di tempatnya. Kedua orangtuaku beranggapan ini adalah solusi paling realistis saat itu. Kedua orangtuaku juga mulai sibuk memperhatikan setiap sudut rumah kami untukmenyediakan ruang khusus untuk panti pijatku nanti.

Aku dihantui oleh mimpi-mimpi besarku setiap detik. Aku minggat dari asrama. Aku keluar dari sekolah pijat.Aku ke Bandung untuk belajar musik di asrama Wyata Guna. Aku beranggapan mungkin pemusik dapat menjadi gerbang memasuki kota-kota dunia. Namun, aku hanya tahan selama beberapa bulan dan kembali memutar haluan.

Aku memohon bantuan para “reader”, panggilan untuk para mahasiswa di Bandung yang sengaja datang ke asrama Wyata Guna untuk membacakan, merekamkan atau menemani ke toko atau perpustakaan untuk mencari buku atau memberikan bantuan lain yang mereka bisa. Aku yakin bahwa kuliah S1 adalah tiket keliling dunia gratis, mimpi yang tertanam kuat di alam bawah sadarku. Aku katakan bahwa aku ingin segera kuliah baik di kampus negeri ataupun di kampus swasta. Ria, mahasiswi jurusan Matematika ITB angkatan 99, membantuku mendaftar SPMB. Aku didampingi membeli formulir dan juga dibantu mengisi formulir danmelengkapi semua persyaratannya. Teman-teman reader dari jurusan Matematika, Teknik Industri dan Teknik Mesin ITB angkatan 99 dan Psikologi UNPAD angkatan 99 pun berbagi tugas membantu merekamkan materi dan juga mengajarkan mata pelajaran yang berbeda-beda. 

Dua minggu persiapan telah selesai dan aku pun mengerjakan ujian SPMB di ITB. Aku dibacakan dan dibantu dituliskan semua jawaban yang ku ucapkan oleh Ria, sahabat yang sampai sekarang aku tak tahu dimana keberadaannya. Syahrul Maulani, kakak pertamaku yang lulus dari jurusan Biologi UI angkatan 95, menyampaikan kabar gembira dari Riau. Dia sedang di kantor memandangi pengumuman SPMB.Dia ucapkan selamat karena aku diterima di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UNJ, pilihan kedua setelah Komunikasi UI. Kedua orangtuaku terkejut bahagia karena skenario hidup yang telah dipersiapkan oleh Sang Khaliq perlahan bercahaya semakin terang.

Aku menemukan cahaya penuntun menuju gerbang menggapai impianku. Prof. Dr. Arief Rachman, seorang guru besar UNJ dan seorang tokoh pendidikan, membakar semangatku untuk berlari mengejar mimpi besarku. Beliau selalu membuka mata hatiku dalamsetiap kuliahnya dan bahkan dalamnasihatnya pada acara pernikahanku untuk terus bermimpi setinggi langit, untuk mengikuti hadits Nabi dan nasihat Imam Syafi’i untuk merantau jauh menimba ilmu.

Prof. Dr. Ilza Mayuni, seorang guru besar UNJ dan saat ini menjabat sebagai Direktur Kopertis di ibukota, selalu mendukungku untuk terus mengukir sejarah. Ketika masih menjadi Dekan FBS UNJ, beliau selalu meluangkan waktu membimbingku untuk memecahkan rekor prestasi. Dengan dukungan beliau dan seluruh dosen, keluarga serta sahabat, aku berhasil menyelesaikan S1 dalam waktu tiga tahun setengah dengan predikat cumlaude. Aku dinobatkan menjadi salah satu wisudawan terbaik UNJ dengan kriteria prestasi akademik dan non-akademik. Sahabat-sahabat kuliahku telah sangat berjasa membantuku merekamkan materi kuliah, mencarikan buku dan literatur yang kubutuhkan dan masih banyak lagi yangmereka lakukan untuk membantuku sukses.

Semasa kuliah, aku berusaha sebisaku untuk mengembangkan semua potensiku demi mewujudkan mimpi-mimpiku. Walau untuk membaca buku aku harus men-scan dan meminta kawan atau membayar orang untukmengedit lalu aku baru bisa baca dengan program pembaca layar yang ku-install di komputer, aku tidak “study-oriented”. Aku berorganisasi dan terpilih menjadi Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan dan Ketua Departemen Pendidikan dan Kebudayaan BEM Fakultas Bahasa dan Seni UNJ di tahun berikutnya. Aku tak sempat merasakan BEM universitas karena aku segera diwisuda di akhir jabatanku sebagai ketua sebuah departemen.

Dengan tongkat penuntun, aku juga menjadi pedagang kaki lima buku dan novel. Aku juga menjadi broker jasa terjemahan dan barangbarang elektronik. Aku juga berhasil menjadi manager MLM Oriflame. Aku juga memiliki beberapa murid privat. Bahkan aku pernah mendirikan rental komputer dan tempat kursus bahasa Inggris.

Walau berkali-kali aku mengalami perlakuan diskriminasi untuk menimba ilmu, melamar pekerjaan dan masih banyak lagi, aku akhirnya berhasil mewujudkan mimpiku. Di semester ke enam kuliah S1, aku memperoleh beasiswa senilai 20 juta untuk terbang ke Jepang karena makalahku dinyatakan lulus seleksi untuk dipresentasikan di 4th Asia TEFL International Conference. Akupun berangkat seorang diri untuk menjadi pemakalah di antara 449 pemakalah professional yang merupakan praktisi dan guru-guru besar kampus terkemuka dari seluruh dunia. Di tahun berikutnya aku mendapatkan beasiswa penyelesaian skripsi dari Korean Exchange Bank.

Setelah wisuda, aku pun mulai mengajar di beberapa instansi. Aku mengajar di SMP Diponegoro 1 Rawamangun. Di tahun yang sama, aku juga mengajar di Universitas Negeri Jakarta. Di sela-sela waktu, aku juga bekerja untuk lembaga National English Centre sebagai pengajar TOEFL dan Healthcare English Learning Program dan ditempatkan di beberapa Akademi Keperawatan yang bekerja sama dengan NEC. Di akhir pecan, setiap hari Sabtu dan Minggu, aku mengajar dari rumah ke rumah sebagai guru privat untuk program bahasa Inggris.

Setelah setahun mengajar, setelah empat kali gagal melamar beasiswa S2, aku berhasil memperoleh beasiswa MA in Muslim Cultures di London dari Aga Khan University. Namun, di tengah studiku, istriku mengalami kehamilan yang berat sehingga dia harus dirawat di University College Hospital London sampai tiga kali. Kami adalah pasangan muda yang belumpahambagaimana cara membuat perencanaan keluarga. Akhirnya kampusku menyarankan agar aku cuti kuliah dan kembali ke Indonesia. Aku tidak frustrasi. Aku yakin Allah sedangmempersiapkan skenario yang terbaik untukku dan keluargaku. Walau aku gagal melanjutkan MA ku di London karena beberapa masalah, Allah menerbangkanku lagi ke beberapa negara.

Sebelum aku meninggalkan London, aku nekad mencoba beasiswa ICT training dari Japan Braille Library yang diselenggarakan di Malaysia. Ternyata, aku lulus dan setelah pulang dari London, aku terbang ke Penang Malaysia. Aku pulang membawa ilmu baru, keterampilan baru, laptop baru dan segala kelengkapannya serta sejumlah uang saku yang ku hemat-hemat untuk biaya persalinan istriku.
Setelah itu, aku diterima kerja di  Center for Civic Education Indonesia, sebuah yayasan yang menjalankan program-program pendidikan atas dana pemerintah Amerika Serikat. 

Baru beberapa bulan mengajar sebagai pengajar untuk program beasiswa belajar bahasa Inggris gratis selama dua tahun untuk ratusan murid SMA/SMK dari keluarga yang tidak mampu, aku memperoleh beasiswa dari US Department of State untuk menghadiri teacher training and workshop selama tiga minggu di INTO Oregon State University, Corvallis, USA. Persis dua tahun berikutnya, aku mendapatkan beasiswa lagi dari US Department of State untuk program pelatihan pengajaran bahasa Inggris dengan University of Oregon, USA.

Setahun kemudian, aku aku sempat mendapatkan dua beasiswa pada waktu yang nyaris bersamaan. Aku lulus seleksi untuk Australian Leadership Award Fellowship yang diselenggarakan mulai tanggal 27 Agustus dan berakhir tanggal 21 September 2012. Sementara, aku dijadwalkan mengikuti Pre-Departure Training selama delapan minggu mulai dari 16 Juli hingga 21 September 2012 sebelum memulai kuliah di Australia dengan beasiswa dari Australian Development Scholarship. Aku bingung harus bagaimana. Akhirnya aku diminta mengundurkan diri untuk program beasiswa Australian Award Fellowship. Meski demikian, Alhamdulillah Allah merekap semua doaku dalam satu tahun. Aku juga sedang berusaha merampungkan novel perdanaku yang akan menjadi jalan pembuka menuju pencapaian daftar panjang mimpi-mimpi besarku berikutnya.

Pesanku untuk masyarakat Indonesia: Bermimpilah! Biarkanlah anak-anak kita, anak-anak didik kita bermimpi sesukanya selama mimpi itu positif. Sering kali kata “mustahil”memilikimakna yang relatif. Kata ini sangat tergantung kepada pengalaman masing-masing individu. Pergi ke negara lain adalah hal yang mustahil bagi kedua orangtuaku sebelumakhirnya aku buktikan bisa. Kuliah juga mungkin untuk sebagian masyarakat kita masih merupakan hal yang mustahil. Sering kali, hal yang dianggap mustahil setelahberusaha keras menjadi mungkin. Mimpi akan menentukan masa depan anak-anak kita. Mimpi akan menentukan masa depan generasi penerus kita. Mimpi akan menentukan bangsa kita akan menjadi apa kelak.Mimpi akan menuntun doa kita, menuntun langkah kita,memecut usaha kita untuk terus berjuang, dan mimpi akan melemparkan kita semua melayang terbang menggapai bintang berkilauan.

Diposting ulang oleh blog Hot Motivasi dari akun Pribadi beliau.

Jika ada pertanyaan atau butuh bantuan, silahkan kontak beliau. Selamat berjuang! Mustahil hanya untuk mereka yang tidak mencoba dan mustahil hanya untuk mereka yang Menyerah.

 
Saat ini beliau sedang menempuh program double degree M.Ed in TESOL dan Master of Development studies di University of New South Wales, Sydney
Jakarta 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar