Banyak hal dimulai dengan bermimpi. Dahulu orang bermimpi bisa
terbang di langit dan ternyata saat ini bisa terwujud, Padahal dahulu
dianggap sesuatu yang mustahil.
Setiap orang terkadang takut untuk bermimpi, karena menganggapnya
sesuatu hal yang tak berguna. Tapi bagi sebagian yang lain, mimpi itu
menjadi semacam tongkat penuntun meraih apa yang menurutnya tujuan
hidup. Dan disinilah mimpi saya dimulai, pergi ke luar negeri.
Sebagai anak desa, pergi ke luar negeri adalah sebuah mimpi yang
hampir sulit untuk diwujudkan. Namun keinginan itu semakin hadir tatkala
saya menempuh studi di jurusan Hubungan Internasional Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai mahasiswa yang katanya “calon
diplomat”, ke luar negeri adalah layaknya sebuah prasyarat untuk
melengkapi gelar sarjana Hubungan Internasional. Ada sebuah idiom di
antara mahasiswa HI UMY yang menyatakan bahwa “yang namanya mahasiswa HI
itu paling tidak sudah pernah ke luar negeri, walaupun itu hanya ke
negara terdekat kita [Malaysia/Singapore]“.Entah kebetulan atau tidak,
namun ungkapan ini semakin memicu adrenalin saya untuk bisa ke luar
negeri.
Di awal kuliah saya tidak terlalu peduli dengan tawaran-tawaran
konferensi di luar negeri. Target saya waktu itu adalah meraih IPK
Cumlaude dan lulus tepat waktu. Namun, godaan akan “Gold Experience” ke
luar negeri semakin tinggi tatkala menyentuh semester 4. Alhasil, usaha
untuk mencari peluang ke luar negeri dimulai di semester ini.
Kesempatan pertama saya coba di negara Singapore dalam “Global
Scholars and Leaders Conference”. Setelah melalui banyak tahapan,
Screening Paper yang termasuk salah satunya adalah mencari surat
rekomendasi dari Academic Advisor, pada tanggal 13 Juni 2010 saya
dinyatakan diterima sebagai salah satu peserta. Namun, karena funding
yang disyaratkan cukup tinggi, serta ketiadaan sponsor, saya memutuskan
untuk tidak mengambil kesempatan ini.
Kesempatan berikutnya saya mencoba mendaftar sebagai delegasi PBB
dalam China University of Hong Kong Model United Nations (CUHKMUN).
Setelah melalui tahapan screening paper and proposal oleh panitia, saya
dinyatakan lolos. Namun lagi-lagi karena ketiadaan sponsor menjadi
ganjalan untuk berangkat sebagai delegasi. Sebenarnya angka yang
disyaratkan tidak terlalu tinggi, namun bagi seorang mahasiswa dari desa
yang kirimannya pas-pasan, ini menjadi sebuah angka yang sulit untuk
dipenuhi.
Setelah 2 kali kesempatan gagal untuk diraih, keinginan untuk ke luar
negeri menjadi agak kendur, Ini lebih karena hanya mendapati
keberhasilan tanpa kenyataan. Pada hari rabu di bulan Agustus 2010
secara tidak sengaja saya melihat poster program Exchange dari ASEAN
Youth Friendship Network. Host Country untuk program ini adalah Vietnam.
Iseng mencoba mendaftar dengan tanpa terlalu berharap banyak, saya
justru diterima di program ini setelah melalui proses screening esai dan
wawancara.
Senang, tentu saja, namun rasa senang ini tidak saya biarkan berlarut
lama, karena melihat angka-angka rupiah yang disyaratkan. Memang sangat
terjangkau dibanding event-event yang lain, namun lagi-lagi cukup
tinggi bagi saya.
Di awal September 2010 saya mendapati pesan dari Wakil Dekan yang
memberitahukan bahwa proposal bantuan untuk program exchange diterima
oleh Dekan. Sekalinya Tuhan berkehendak, tiada manusia yang mampu
memprediksinya. 1 Oktober 2010 saya berangkat untuk program persahabatan
“Indonesia-Vietnam Youth Friendship Network”. Inilah kali pertama saya
ke luar negeri.
Satu bulan berselang dari program di Vietnam, saya ditelepon oleh
Project Manager AYFN yang memberitahukan bahwa saya mendapat reward dari
program sebelumnya berupa free join untuk program selanjutnya yang akan
digelar di Bangkok, Thailand. Februari 2011 saya menjejakkan kaki untuk
kedua kalinya di luar negeri. Thailand, negeri yang tak pernah
terbayang dalam benak saya, akhirnya bisa saya sambangi.
Disini program persahabatan kembali saya rasakan. Sebulan dari
kegiatan ini, saya dihubungi oleh Presiden BEM UMY untuk mewakili UMY
dalam kegiatan yang diadakan oleh Kemenpora RI. Awalnya tak menyangka
bahwa kegiatan akan berakhir dengan perjalanan ke Malaysia, saya pun
hanya membawa persyaratan yang dibutuhkan seadanya. Akhirnya, kegiatan
pendidikan TANNASDA angkatan V selama 2 minggu ini berakhir dengan field
trip sekaligus Goodwill Visit ke Malaysia.
Tiga kali merasakan program persahabatan ke luar negeri, membuat
fokus going abroad saya berubah. Saya bermimpi untuk bisa kuliah atau
setidaknya internship/living di luar negeri. Kesempatan pertama saya
coba pada program British Council. Namun ternyata tahun ini British
Council tidak melakukan rekruitmen di Yogyakarta. Hilang satu
kesempatan, saya mencoba mendaftar melalui AISEC Chapter Undip. Belum
sempat mengirim essay, saya kembali mengurungkan niat untuk
internship/living di luar negeri, dikarenakan angka yang ditawarkan
terlalu tinggi.
Kesempatan kembali datang di pertengahan tahun 2011, Wakil Dekan
Fisipol yang juga dosen HI UMY menawari untuk kuliah sit-in di
Chulalongkorn University, Bangkok. Dengan komposisi biaya relatif
terjangkau (hampir setara dengan biaya kuliah 1 semester di UMY) saya
pun mendaftar program ini. Namun menjelang keberangkatan, ada
misskomunikasi antar universitas, sehingga biaya menjadi membengkak.
Saya kemudian ditawari untuk mengambil sit-in di University Utara
Malaysia, Kuala Kedah, Malaysia. Saya menolak untuk mengambil kesempatan
yang di Malaysia, karena beberapa hal. Hampir enam bulan fokus pada
skripsi dan wisuda, niat untuk melanjutkan jenjang pendidikan S2
mencuat. Keinginan untuk mendapat beasiswa S2 di luar negeri pun menjadi
hal yang paling menggebu. Mencoba menghubungi rekan satu organisasi
yang lebih dahulu mendapat beasiswa, saya mendapat informasi tentang
beasiswa di kampus Asia University, Taiwan.
Segala persyaratan untuk mendaftar saya lengkapi segera, termasuk
TOEFL, surat rekomendasi dari academic advisor dan proposal penelitian.
Satu bulan setelah mendaftar, saya dinyatakan belum bisa diterima untuk
periode Fall Season.
Sebenarnya saya diterima untuk beasiswa ini, namun ada peraturan baru
dari Menteri Pendidikan Taiwan untuk membatasi jumlah penerima beasiswa
bagi mahasiswa asing. Alhasil, 12 calon penerima beasiswa dari
Indonesia gagal berangkat untuk semester ini. Dengan diterimanya saya
sebagai mahasiswa S2 di Program Studi HI UGM serta diterima sebagai
Pengajar Muda Gerakan Indonesia Mengajar angkatan V, kegagalan mendapat
beasiswa pun terobati.
Tuhan ternyata berkata lain, dengan adanya sakit HNP (Hernia Nucleus
Pulposus) yang saya dera selama menjadi Pengajar Muda Gerakan Indonesia
Mengajar, pada akhirnya mengharuskan saya pulang untuk bedrest dan operasi tulang belakang, saya kembali harus merasakan gagal untuk kesekian kalinya.
Pasca dari Indonesia Mengajar, saya memberikan konfirmasi email dari
Committee di Taiwan terkait aplikasi saya yang dulu pernah dimasukkan,
namun di-pending. Kebetulan ada penerimaan mahasiswa baru lagi untuk spring season.
Dua bulan berselang, Alhamdulillah, saya dinyatakan diterima sebagai
mahasiswa International Master of Business Administration dengan
beasiswa sebagai penyertanya. Tak hanya itu, dua bulan kemudian saya
juga dinyatakan diterima sebagai mahasiswa Master Manajemen di kampus
PPM School of Manajemen, Jakarta yang sebelumnya telah melalui empat
kali seleksi dengan beasiswa sebagai penyertanya juga. Pada 23 Februari
2013, saya melangkahkan kaki menuju negeri Formosa, Taiwan. Disini mimpi
itu akan kembali diteruskan.
Berani bermimpi, Berani sukses
diposting ulang oleh http://hotmotivasi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar