Fabiayyi’ alaai rabbikuma tukadzibann untaian kalimat suci
tersebut yang selalu terngiang ditelingaku, sebuah sindirian Tuhan
terhadap manusia yang selalu lupa akan nikmatNya. Ya nikmat sehat,
nikmat hidup bahagia. Walau orang lain memandang saya dari keluarga
miskin, tapi saya tidak pernah lupa bersyukur sekecil apapun nikmat itu
yang Allah berikan.
Oh ya, perkenalkan nama saya Fifi Rohmatin Nikmah, tinggal di kawasan daerah terpencil di Pati. Didesa purwokerto Kecamatan Pati lulusan di Madrasah Miftahul Huda.
Terlahir dari keluarga yang serba kekurangan membuatku tidak pernah
berputus asa untuk selalu berusaha lebih baik. Ayahku pekerjaannya
serabutan,dengan penghasilan tak menentu, tiap sore menjual jagung
bakar. Ketika musim-musim tertentu seperti musim panen padi dan musim
kecang hijau, sisa-sisa panen berupa jerami/ daduk (batang pohon kacang
hijau) bapak jual untuk pakan ternak. Mengumpulkan sedikit demi sedikit
uang untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Jangankan untuk kuliah, untuk
menghidupi kebutuhan sehari-hari keluarga saja, kami masih kurang.
Sepulang sekolah, aku membantu orangtua jualan jagung, pakan ternak
di pinggir jalan. Waktu belajar pagi jam 03.00 setelah solat tahajud
setiap hari. Malam harinya aku ngelesi anak-anak kelas 5
Madratsah Ibtidaiyah (setingkat SD). Uang saku saat masih sekolah
bervariasi, biasanya Rp 3000 kadang Rp 5000 yang Rp 2000 untuk naik bus
PP dan sisanya untuk jajan. Namun aku biasa menyisihkan uang jajanku
untuk membeli keperluan sekolah (buku dan LKS). Melihat kondisi
keluargaku demikian, maka siapa lagi yang akan merubah kondisi
keluargaku jika tidak aku sendiri?. Allah tidak buta. Allah Maha
Melihat, dan Dia akan menjawab doa hambaNya yang selalu berusaha.
Awal aku bisa jadi mahasiswa kedokteran seperti saat ini saat
iseng-iseng mengikuti PBSB (Program Beasiswa Santri Berprestasi) dari Kementerian Agama.
Semua biaya pendidikan benar-benar gratis ditanggung oleh KEMENNAG
mulai dari awal masuk sampai lulus. Tidak ada bayangan sebelumnya kalau
aku bakal kuliah di kedokteran. Berbagai program beasiswa untuk menembus
kuliah “gratis” sudah aku ikuti, tetapi tidak ada yang lolos.
Bulan
Januari ada beasiswa dari PBSB kemenag untuk jurusan kedokteran. Untuk
mengikuti seleksi PBSB tersebut, aku sempat mengalami kesulitan dalam
memperoleh izin dari orang tuaku. Kedua orang tuaku keberatan jika aku
mengikuti seleksi PBSB tersebut karena alasan biaya. .Hal ini yang
menjadikan ortuku merasa keberatan jika aku harus mengikuti seleksi
terlebih jika sampai ia diterima beasiswa kedokteran.
Karena pengertian dari pihak sekolah, akhirnya ortuku mengizinkan
mengikuti tes seleksi PBSB. Nasib baik memang berpihak padaku. Setelah
pengumuman hasil seleksi PBSB aku dinyatakan lolos seleksi dan
mendapatkan beasiswa kedokteran di Universitas Islam Malang (UNISMA).
Dapat beasiswa, malah bikin bingung keluargaku. Bagi sebagian besar
orang, memang suatu kebanggaan mendapatkan beasiswa tersebut tetapi bagi
aku dan keluargaku ini merupakan hal yang sangat membingungkan. Bingung
menentukan pilihan untuk mengambil beasiswa tersebut atau mengundurkan
diri. Ibarat ikan sdh di tangan tapi hampir dilepaskan begitu saja.
Orang tuaku tetap merasa keberatan untuk biaya kuliah di kedokteran
sekalipun mendapatkan beasiswa. Ditambah lagi perkataan dari tetangga
yang seolah meremehkan kemampuan keluargaku tidak akan sanggup
menguliahkan anaknya di kedokteran, membuat orangtuaku semakin yakin
untuk menyuruh aku mengundurkan diri dari beasiswa tersebut. Karena
tekanan dari orang luar dan rasa tidak tega, aku melihat kondisi
orangtuaku, sehari sebelum pemberkasan aku bertekad untuk mengundurkan
diri dari beasiswa kedokteran.
Aku menemui pihak sekolah dan menyatakan mengundurkan diri dari
beasiswa tersebut. Pihak sekolah tidak puas dengan alasanku dan akhirnya
mendatangi rumah orangtuaku untuk mengkonfirmasi alasan yang
sebenarnya. Alasan orangtuaku tetap oleh hal yang sama yaitu keberatan
di ongkos. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk transport ke Malang saja
ortuku tidak ada. Disamping itu, sangat khawatir jika suatu saat dana
dari beasiswa pencairannya tidak tepat waktu sehingga mengganggu
kuliahku. Berdasarkan alasan tersebut, kemudian pihak sekolah berusaha
meyakinkan orangtuaku. Pihak sekolah datang ke rumahku dengan salah
seorang kyai yang disegani dikampungku untuk menyakinkan keluargaku agar
kesempatan beasiswa tersebut tidak disia-siakan.
Akhirnya ortuku mengizinkan, syukur Alhamdulillah pihak sekolah
mendukungku dengan meminjamkan uang sebesar satu juta untuk digunakan
sebagai biaya transportasi dan biaya hidup selama matrikulasi. Rela tak
tidur demi meminjam laptop. Sebelum tahun ajaran baru, calon mahasiswa
PBSB harus mengikuti matrikulasi selama 6 bulan. Waktu matrikulasi
senin-jumat jam 09.00-15.00. Setiap mata materi kuliah selesai selalu
ada tugas.
Aku mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas karena tidak punya
laptop, jadi aku sering jarang tidur karena harus menunggu teman lain
yang punya laptop apabila mereka telah selesai mengerjakan tugas untuk
di pinjam laptopnya. Kondisi seperti ini sering aku lalui. Jatah dari
kemenag per bulan 700rb, untuk saat ini masih bisa disisakan 300rb tiap
bulan .
Dari waktu ke waktu aku berusaha menyisihkan uang beasiswaku sedikit demi sedikit. Alhamdulillah sekarang sudah bisa beli netbook
second harga 2,2 jt. Uang tersebut aku dapatkan dengan mengumpulkan
sebagian jatah beasiswa tiap bulan ditambah uang pinjaman dari pihak
sekolah 1 jt terkumpul 2 jt, sedangkan 200rb dipinjami teman.
Jatah makan dari asrama pagi dan malam. Selama matrikulasi sempat
sakit dan periksa ke rumah sakit yang tentunya menambah pengeluaran.
Biaya kuliah sangat bergantung dari beasiswa. Alat komunikasi pun (HP)
yang aku punya pinjam dari teman, terkadang jika aku mau telepon atau
sms meminjam HP teman. Tapi aku tetap bersyukur karena Allah. Nikmat
Allah itu maha luas.
Bagiku cerita ini hanyalah untaian goresan tinta yang tidak ada
apa-apanya apabila dibandingkan dengan para pencari ilmu dahulu seperti
para ulama besar yang jauh lebih memprihatinkan lagi, misal Syeikh Abdul Qadir Jailani
pernah ditimpa kelaparan dan hampir mati karena kehabisan bekal dalam
menuntut ilmu. Dia pun pernah pergi ke padang rumput dan mencari
pucuk-puuk daun tumbuhan untuk dimakan demi menyembuhkan rasa laparnya.
Siapa yang tidak kenal Imam Bukhari? Dalam mempelajari hadits, ia
memiliki guru lebih dari 1000 syeikh. Ia melakukan perjalanan yang
panjang. Buah dari ketekunannya, ia berhasil mengumpulkan lebih dari
10.000 hadits. Dengan menulis cerita hidupku ini semoga saya tidak
menjadikan sombong dan semoga bisa memberi inspirasi dan motivasi bagi
teman-teman semua. Amienn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar