Inilah Pak Ridwan , sulung berbaju hijau oranye, bungsu sedang dipangku (sepertinya sakit) dok.pribadi |
Kota Denpasar seperti menyimpan sejuta
kisah manusia urban yang mengais kehidupan di jalanan.
Salah satunya,
Ridwan (42) yang hidup bersama kedua anaknya yang masih bocah. Sulung
(6) anak laki-laki kurus yang matanya sedang menderita “bintilen” (ada daging kecil di kelopak mata kirinya) dan bungsu (4) gadis cilik yang masih senang bercanda ria dengan kakaknya.
Pertama mengenal Pak Ridwan, begitu saya biasa menyapa,
di pinggir jalan Sudirman dekat Pertokoan besar, ia sedang menggendong
gadis ciliknya dengan kain sambil menarik gerobak di hari yang terik
matahari serasa membakar kulit. Duh, hati manusia mana yang tidak
menjadi terenyuh melihat adegan dramatis seperti itu. Gerobaknya sarat
muatan barang-barang bekas, hasil kerjanya sedari pagi mencari barang
bekas seperti plastik, kaleng, karung, atau apa saja yang bisa menjadi
uang. Pernah sekali, saya melihat Pak Ridwan duduk di tepi trotoar jalan
dengan wajah berkeringat mencoba menenangkan gadis kecilnya itu.
Saya mendekat dan memberi air mineral yang sedari tadi saya pegang, belum diminum.
“Panas ya Pak…,” kata saya sambil mengulurkan air mineral.
Ridwan mulai akrab dengan saya. Ia banyak bercerita tentang dirinya.
Ridwan asli Surabaya. Tadinya hidup di
Lampung bersama kedua orang tuanya sebagai transmigran. Namun karena
beberapa kali terus mengalami gagal panen dan kehidupan yang tidak
menentu, ayah Ridwan memutuskan kembali ke Surabaya.
Badai kehidupan menerjang ketika ayah
dan ibu Ridwan wafat saat Ridwan masih berstatus pelajar SMP. Ridwan
drop-out. Hidupnya sebatang kara. Tidak ada satu orang saudara pun yang
bisa dimintai pertolongan. Benar-benar sendirian.
Ridwan melanjutkan hidup sebagai anak
gelandangan yang tidak pernah memikirkan bagaimana bisa bersekolah.
Sudah bisa makan dan minum hari ini saja sudah bagus. Untuk tidur dan
buang air, Ridwan memilih tidur di emperan pertokoan di Surabaya.
Beralaskan koran atau karton, terkadang beratap langit.
Saat Ridwan dewasa, ia ditolong oleh
seorang pria separuh baya yang menaruh iba. Bapak ini menjodohkan Ridwan
dengan anak perempuannya. Mereka menikah. Dan setelah anak keduanya
lahir, istri wafat karena penyakit yang misterius dan meninggalkan
Ridwan bersama seorang anak lelaki dan seorang bayi cantik.
Hidup pun terus berlanjut. Sambil
membawa bayi dan seorang bocah, Ridwan pernah menyusuri Kota Surabaya
sambil menggendong bayi dan mencari barang bekas. Hasil pencariannya
selama sehari, ia jual kepada pengepul. Lumayan, cukup untuk makan dan
membeli air selama 2 hari.
“Saya pindah ke Denpasar karena di
Surabaya tidak aman, Pak. Baru naruh badan di depan toko yang sudah
tutup, tiba-tiba pemiliknya keluar, memaki-maki dan menyuruh saya pergi.
Pernah ada yang mengusir dengan mukul. Pernah juga diacungi pisau, sambil teriak-teriak.”
Kejadian yang lebih mengerikan adalah
ketika uang hasil jual barang bekas sebanyak Rp25.000,- yang ditaruh di
saku belakangnya, diminta oleh seorang preman berwajah sangar. Ridwan
menolak karena uang itu untuk makan anak-anaknya besok. Ridwan pun
dipukul hingga tersungkur dan pisau tajam melayang ke bokong (maaf)
Ridwan. Uang pun berpindah tangan. Ridwan menjerit. Teriakannya di malam
hari itu sungguh menyayat. Untung kedua anaknya sudah tertidur. Pantat
Ridwan berdarah. Darahnya menetes bak air mengalir. Deras. Ternyata luka
sayatan itu sungguh dalam. Bekas luka itu pernah ditunjukkan kepada
saya. Ia berkata, “Tangisan saya malam itu hanya didengar Tuhan, Pak.
Anak-anak saya tidur. Biar darahnya berhenti, saya mengambil daun di
pinggir jalan. Ndak perduli, yang penting darahnya berhenti. Sakitnya
luar biasa, Pak….”
Sayatan luka di pantat Ridwan
benar-benar membuat Ridwan mencari akal. Kalau begini terus, saya bisa
mati di Surabaya. Belum lagi pengusiran, pemalakan, bagaimana dengan
anak perempuannya kelak dewasa? Karena inilah, Ridwan pun mantap dan
berbesar hati untuk meninggalkan Surabaya menuju Denpasar.
“Di Denpasar, saya diterima banyak orang
Pak. Saya bisa tidur bebas di mana saya suka. Tidak ada preman yang
memeras atau orang yang mengacungi pisau pada saya. Di sini saya merasa
aman.”
Biasanya Ridwan bersama kedua anaknya
dari pagi hingga sore menyusuri jalan Sudirman, Diponegoro hingga daerah
Ubung. Tidurnya kadang di RS Wangaya, kadang di pertokoan Udayana,
pertokoan Sudirman. Beralaskan tikar, berdinding gerobak, kedua anaknya
bisa tertidur pulas.
Di Denpasar, banyak orang mengenal
Ridwan dan kedua anaknya yang masih bocah dan setia menemani sang ayah
berkeliling mencari barang bekas. Kadang ada orang yang merasa kasihan
dan memberi uang, namun Ridwan menolaknya dengan sopan. “Saya bukan
pengemis, Pak. Saya mulungin rongsokan”, jelas Ridwan kepada banyak
orang yang mencoba melas kepadanya.
Tak terasa sering air mata saya menetes
setiap bertemu Pak Ridwan. Sungguh, harusnya banyak orang yang harus
bersyukur saat masih bisa makan, minum dan tidur nyenyak bersama
keluarganya. Sedangkan Ridwan?
Ia pantang mengemis. Terkadang orang menyapanya dan memberinya nasi bungkus. Ridwan tersenyum dan menolak dengan halus.
Hari ini saya barusan bertemu lagi
dengan Ridwan. Sepertinya anak perempuannya sakit. “Ah ndak apa kok Pak.
Ini biasa, flu aja. besok paling sudah sembuh,” ujarnya saat saya
mencoba menawarkan ke dokter atau rumah sakit untuk memeriksa kondisi si
bungsu.
Itulah Pak Ridwan. Pemulung yang pantang
mengemis. Hidup di atas gerobak bersama kedua anaknya. Bahagia, Mandiri
dan Bebas tidak seperti mereka yang hidupnya mengemis jabatan dan
mencoba mencari uang dengan cara tidak halal. Karena kebahagiaan adanya
di hati, bukan lainnya.
Doaku selalu menyertaimu, Pak Ridwan.
NB: Tulisan Mas Agung Soni, dikutip dari http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2014/02/03/ridwan-manusia-gerobak-derita-tak-pernah-habis-pantang-ngemis--629242.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar