Kamis, 06 Februari 2014

“BUANG JAUH-JAUH” MATEMATIKA…

Namanya Muhammad Fakhry Ghafur, tetapi kami memanggilnya Ade. Dia menempati urutan keempat pada deretan tujuh anak kami. Ade memasuki masa pertengahan SD-nya saat saya melanjutkan sekolah di Jakarta. 

Dengan begitu saya tidak dapat menunggui dia dan kakak-adiknya di hari-hari biasa. Soalnya, saya belajar dari hari Senin hingga Sabtu, non stop. Pulang ke Bandung Sabtu siang, dan kembali ke Jakarta Minggu malam. Itu berjalan selama tiga tahun.

Rupanya, bagi anak-anak, kehadiran seorang ayah sangat penting dalam kehidupan mereka. Ayah adalah kawan bermain, tempat bertanya dan bercanda, pemberi orientasi bagi masa depan, dan yang paling penting, dia memberi rasa aman. Karena itu, ketika seorang ayah tidak hadir di samping anak -anaknya, maka anak-anak pun kehilangan segalanya. Begitu juga Ade. Jika semula rankingnya selalu ada di kisaran 3-1, caturwulan-caturwulan berikutnya, dari kelas 4 sampai kelas 6, rankingnya anjlok drastis. Mula-mula ambrol ke angka 17, lalu runtuh lagi ke level 23, dan akhirnya terjun bebas ke angka 35 dari 40 orang murid lebih sedikit.

Beruntung sekali, Ibunya tangguh, dia benar-benar “Nahkoda Bintang Lima”. Tanpa kehadiran saya, dia sanggup menjaga enam orang anak-anak kami [waktu itu, dan selanjutnya tujuh anak], sehingga mereka tidak sampai nakal. Niken, Urie, Zak, dan Ade, tetap rajin mengaji dan shalat seperti ibunya.

Pada saat Ade mengalami situasi kritis itu, saya pun selesai sekolah, dan pulang ke Bandung. Sekali pun masih ada kelas 5 dan 6 untuk Ade, namun rasanya semuanya sudah terlanjut berantakan. Sulit diperbaiki dan dikembalikan ke treknya semula. Yang bisa dilakukan hanyalah menyelamatkan “potensi-potensi” yang masih ada pada diri Ade. Untuk itu, saya harus mengesampingkan dulu seluruh tugas saya yang berkaitan dengan penyelesaian studi saya, termasuk menulis disertasi.

Menjelang masa akhir sekolahnya di SD, Ade saya tanya, “Mau meneruskan ke mana, De?” Dengan cepat dia menjawab, “Ke pesantren saja, Pak”.
Saya tahu, tahu persis, alasan dia menjawab seperti itu, sebab di balik kalimatnya itu, tersimpan kata-kata yang sangat menikam hati saya. Ini: “Bukankah Ade sudah tidak pantas lagi masuk SMP Pak? Bukankah semua harapan Ade untuk menjadi seperti Teteh (Niken) dan Abang (Zak, yang saat itu sudah di SMP, dan kelak ke SMA-5 Bandung) sudah Bapak hancurkan?”. Saya menangis. Sakit sekali rasanya.

“Pesantren mana De?” tanya saya, dan Ade menjawab dengan kalimat yang semakin menikam hati saya, “Terserah Bapak saja…”
“Ke Jombang saja, ya De, di sana ada Mbah?”
“Terserah Bapak saja…”
“Kalau tidak ke Jombang, ke Ciamis saja, ada pesantren bagus di sana”.
“Terserah Bapak saja…”
Ya Rabbi…., tangis saya dalam hati semakin menjadi-jadi.

Pesantren, bagi Ade, sepertinya sama saja: “Tempat ngaji kumuh, yang hanya pantas menampung anak-anak yang matematika, fisika, dan biloginya jeblog.” Maklum, dia belum kenal pesantren sama sekali. Karena itu, menjelang dia keluar SD, saya mengajak dia dan ibunya, melakukan survey ke beberapa pesantren di Jawa Barat: Ciamis, Tasikmalaya, Cirebon, dan Garut. Ade benar-benar sudah pasrah, dan bersedia masuk ke pesantren mana saja. Tetapi, ibunya sering memberi pertimbangan-pertimbangan tertentu.

Suatu saat saya diundang ceramah di Pesantren Muhammadiyah Darul Arqam, Garut. Guru-guru di pesantren ini banyak yang lulusan IAIN (sekarang UIN) Bandung, yang dulunya menjadi mahasiswa saya. Ade dan Ibu saya ajak serta. Selesai ceramah, kami berjalan-jalan sekeliling pesantren.
“Sudah, De, di sini saja, ya mesantrennya?”, tanya saya sambil memandang wajah Ade.
“Terserah Bapak saja…”, jawabnya.

Ketika ibunya saya mintai pendapat, dia sangat setuju Ade melanjutkan sekolah di Pesantren Darul Arqam, milik Muhammadiyah Garut itu.

Tes masuk Pesanren Darul Arqam dilaksanakan sebelum anak-anak SD Kelas 6 lulus dari sekolah mereka. Kelulusan seperti itu, dulu, memang tidak penting, sebab semua murid kelas 6 SD pasti lulus. Kepada para guru Darul Arqam yang sempat saya temui, saya katakan bahwa, Ade hanya bisa membaca al-Qur’an dan bacaan-bacaan shalat. Nulis huruf Arab belum bisa. Salah seorang di antara para guru di situ menjawab sambil tersenyum, “Tidak jadi masalah, Pak, itu tugas kami”.

Beberapa waktu sesudah menjalani tes baca al-Qur’an, praktek shalat, dan nulis Arab, Ade dinyatakan lulus, dan di Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut itulah akhirnya Ade melanjutkan sekolahnya.

Begitu Ade memulai sekolahnya, saya menyuruh dia “membuang jauh-jauh” matematika, fisika, biologi, kimia, dan bahasa Inggris, dan menggantinya dengan bahasa Arab, Ilmu-ilmu Agama seperti Tafsir, Hadits, dan Fikih. Kepadanya saya katakan, “Matematika, fisika, kimia, biologi, dan bahasa Inggris itu penting, tetapi bukan segala-galanya, De. Orang tidak akan mati kalau tidak mengerti itu semua. Masih ada yang lain!”

Kalimat itu saya ulangi berkali-kali setiap saya menengok Ade ke Darul Arqam, dan sesekali pula saya tegaskan kepadanya bahwa, “Kalau kamu hendak menyaingi Teteh dan Abangmu dalam matematika, fisika, biologi, kimia, dan bahasa Inggris, pasti kamu tidak akan bisa De… Karena itu, saingilah mereka dengan menguasai hal-hal yang tidak mereka miliki: Ilmu Agama Islam dan bahasa Arab. Kakak-kakakmu nggak ngerti itu,” tegas saya.

Rupanya Ade mengikuti nasehat saya. Ketika selesai mesantren tiga tahun, dan lulus Tsanawiyah (tingkat SMP) Ade saya tes membaca Kitab Gundul.
“De, kamu bisa membaca ini?” tanya saya sambil menyodorkan kitab “Tafsir Al-Manar” yang gundul itu.
“Bisa, Pak!”, jawabnya yakin.
Ternyata Ade memang bisa membaca kitab gundul itu dengan benar dan lancar.
“Ngerti artinya?” tanya saya pula.
“Ngerti, Pak!”, jawabnya yakin sekali.
Sesudah mendengar dia menjelaskan isi kitab yang dia baca, saya sangat gembira, dan bersorak dalam hati, “Kalau begini, jadi dia!”

Pesantren Darul Arqam ini benar-benar hebat! Dalam waktu tiga tahun saja, ia bisa mendidik Ade yang semula hanya bisa membaca Al-Qur’an dan bacaan-bacaan shalat, menjadi anak yang mampu membaca kitab gundul dengan benar.
Sesudah lulus tingkat Tsanawiyah di Pesantren Darul Arqam, beberapa orang kawan Ade melanjutkan sekolah ke SMA, tetapi Ade saya minta tetap meneruskan di situ. Tentu saja dengan misi yang masih sama, “Buang jauh-jauh matematika, fisika, biologi, kimia, dan bahasa Inggris”.

Ranking Ade di Madrasah Aliyah menggembirakan. Hampir selalu berada di 10 besar, sampai akhirnya, ketika lulus, hinggap di ranking 3. Tentu saja dia melanjutkan sekolahnya ke IAIN. Untuk itu, saya dan ibunya mempersilakan dia memilih sendiri IAIN mana yang dia suka. Dasar “rakus”, Ade ikut tes di 3 tempat: Jurusan Jinayah di IAIN Yogya, Dirasah Islamiah di IAIN Jakarta, dan Mu’amalah di IAIN Bandung. E…, ternyata lulus semua [dulu waktu tes di berbagai IAIN tidak berbarengan, sehingga sangat dimungkinkan ikut tes di beberapa IAIN].

Ketika hendak memilih mana yang akan dimasuki, ibunya menyarankan IAIN Bandung saja: “3 menit dari rumah”, katanya. Tetapi, saya sangat tidak setuju. “Kasian dia nantinya. Kalau nilainya bagus-bagus, pasti dikira karena bapaknya”. Itu alasan saya. Akhirnya, Ade memilih sekolah di Dirasah Islamiah, UIN Jakarta, karena jurusan ini menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam perkuliahannya. Ade suka sekali itu.

Sambil memulai sekolahnya di Dirasah, Ade menunggu hasil seleksi beasiswa ke Libya, yang dia ikuti beberapa waktu yang lalu. Eh, ternyata dia lulus. Ketika dia lapor kepada kami, ibunya dengan enteng menanggapi, “Sudah, di Jakarta saja. Ilmunya kan sama saja…”

Tetapi diam-diam Ade saya provokasi, “De, kalau ilmunya memang sama saja, bahkan di sini mungkin lebih bagus. Tetapi, pengalaman yang nantinya kamu dapatkan, nggak ternilai harganya De!”

Rupanya Ade termakan provokasi saya. Dia tinggalkan Dirasah Islamiyah, dan berangkat ke Libya. Sesudah sekolah 5 tahun di Lybia, Ade pulang. Tahun berikutnya, dia melanjutkan sekolah ke S2 Ulumul Qur’an di PTIQ Jakarta. Dua tahun selesai. Ketika ada penerimaan CPNS untuk dosen bidang Ilmu Agama Islam di IAIN Bandung, tempat saya bekerja, Ade saya minta ikut. Eh, ternyata tidak lolos. Ade pun jadi pengangguran, padahal di usianya yang 25 tahun itu, dia sudah menikah [karena ingin mengikuti Sunnah Rasul).

Tahun berikutnya, dia ikut tes di IAIN lagi, dan lagi-lagi gagal. Karena nganggur, iseng-iseng dia buka internet. Nyari lowongan kerja. Ada, di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Jakarta. Yang dia bidik lowongan menjadi Peneliti Politik Islam Timur Tengah.

Jujur, saya pesimis dengan niatnya. Lipi De…? Mana ada anak lulusan pesantren yang diterima di situ? Seleksinya juga pasti ekstra ketat! Tapi dia nekad saja. Sesudah menempuh tujuh tahap tes, e…, ternyata dia diterima. “Aneh,” kata saya dalam hati, “Di IAIN dua kali tes dia nggak lulus, kok malah diterima di Lipi…?”

Alhamdulillah…, Allah Swt memang Maha Pemurah terhadap hamba-hamba-Nya…
Sekarang Ade bekerja sebagai Peneliti Muda Bidang Politik Islam Timur Tengah di Lipi, Jakarta. Ya pasti gaya. Wong saya aja dulu sangat ingin bisa menjadi peneliti di situ. Tapi keinginan saya itu tidak pernah kesampaian. Lha wong mengirim lamaran saja saya gak berani…

Salam …

_____By Afif Muhammad______________

* Terimakasih dan salam ta’zhim untuk Pak Iyet, Pak Dadang Syarifuddin, serta semua Ustadzat dan Asatidz di PP Darul Arqam Muhammadiyah, Garut. Semoga amal bapak-bapak dan ibu-ibu menjadi jariah yang terus mengalir di dunia sampai akhirat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar